Hadapi Facebook, Google cs, Operator Tagih Regulasi OTT ke Pemerintah
-
(Ilustrasi foto: Kyra / Unsplash)
Uzone.id -- Sebagai bukti dari perkembangan teknologi digital, industri kedatangan pemain dari luar negeri yang layanannya begitu masif seperti Facebook, Google, Instagram, Netflix, dan lain-lain. Hubungan para layanan over-the-top (OTT) ini pun dianggap bagai pepatah “benci tapi rindu.”Hal tersebut diucapkan oleh Presiden Direktur 3 Indonesia, Danny Buldansyah. Menurutnya, kehadiran layanan OTT memang menjadi pelengkap bagi penyedia jaringan seperti operator seluler agar layanannya dipakai oleh konsumen.
“OTT ini bagi operator jaringan, hubungannya seperti benci tapi rindu. Kami sebagai penyedia jalan tolnya ingin mendapat bagi hasil dari pendapatan mereka yang layanannya berjalan di infrastruktur kita, tapi kalau tidak ada OTT, jaringan yang kita bangun tidak dipakai, pelanggan sepi,” ungkap Danny saat webinar i-comM yang bertajuk Pancasila Sakti: Berkolaborasi Memaksimalkan Peluang OTT untuk NKRI, Kamis (1/10).
Menurut Danny, OTT asing sering dianggap menumpang bagi infrastruktur telekomunikasi karena operator tidak mendapatkan bagian dari keuntungan mereka. Dari sini, menurutnya pemerintah harus segera menggodok regulasi.
Baca juga: Facebook, TikTok Sampai Netlix Harus Bayar Pajak ke RI per 1 September
“Regulasi OTT ya agar semuanya adil, mendapatkan manfaat yang dapat kita rasakan bersama. Campur tangan pemerintah itu perlu, dan jika ada keberpihakan, lebih baik mengutamakan pengembangan OTT lokal agar bisa jadi pemain besar di negara sendiri,” lanjutnya.
Hal yang sama juga diutarakan Dian Rachmawan selaku Direktur Wholesale & International Service Telkom. Dia mengatakan, kemunculan OTT bermula sejak Steve Jobs memperkenalkan iPhone pertama kali. Dari sini, kebangkitan aplikasi bermunculan, namun menurutnya, ironi yang muncul adalah orang tidak menggunakan kuota mobile, melainkan akses internet fixed broadband yang unlimited.
“Stakeholder dari terdiri dari perusahaan telko, non-telko seperti media massa, perbankan, dan yang kena dampak disruptif, lalu pemerintah hingga pelaku OTT itu sendiri wajib berkolaborasi secara sehat. Pihak Kominfo pada dasarnya setuju untuk membuat regulasi OTT ini agar tidak absen, semua harus tertulis,” kata Dian di tempat yang sama.
Sementara menurut Chief Business Officer Indosat Ooredoo, Bayu Hanantasena, layanan OTT asing di Indonesia memang harus segera diatur agar menghindari hal-hal negatif terjadi.
“Kalau tidak ada aturan dan dilepas begitu saja, yang terjadi malah perusahaan besar makan yang kecil, karena perusahaan besar punya predatory power. Jadi menurut saya industri telko harus membina kolaborasi yang bagus dengan OTT, sebab OTT itu sebenarnya hal baik jika kita menyikapinya dengan benar,” ungkap Bayu.
Hal yang sama juga disampaikan oleh Direktur Jaringan Telkomsel, Hendri Mulya Sjam. Baginya, peran OTT sangat penting dalam pengisian trafik operator seluler. Namun, memang seringkali terlihat tidak adil apabila semua beban harus ditanggung pihak operator.
Hendri menyinggung kewajiban operator soal pembayaran dana USO misalnya yang dipungut dari tiap operator sekitar 1,25 persen, atau pembayaran BHP Telekomunikasi.
“Menurut saya selain regulasi, mungkin bisa juga dipikirkan kewajiban seperti dana USO itu diberatkan juga ke OTT asing seperti halnya yang dilakukan operator seluler jika kita terus-menerus yang diberatkan,” imbuh Hendri.
Baca juga: Mulai Ditarik Pajak, Ini Tanggapan Facebook dan Google Indonesia
Solusi lainnya diungkapkan oleh Marwan O. Baasir selaku VP XL Axiata, selain dia mendorong pemerintah soal regulasi, dia menganggap perusahaan OTT asing sebaiknya dilibatkan untuk berinvestasi di jaringan dukungan operator.
Menurut Marwan, melalui kerja sama dengan penyedia jasa internet dan membuat keuntungan bagi industri telekomunikasi, OTT asing ini membawa pendanaan mereka yang dapat digunakan di dalam bentuk kerja sama ini.
“Misalnya, ada broadband plan pada 2024 yang membutuhkan miliaran dollar, ada celah di situ yang harus dilakukan telko, nah menurut saya gap seperti ini yang bisa diisi oleh para OTT agar mereka bisa masuk dan kontribusi. Investasi di jaringan support saja, seperti fiber optic atau data center,” tutur Marwan.
Selain menagih soal regulasi OTT, Merza Fachys selaku Presiden Direktur Smartfren yang juga menjabat sebagai Wakil Ketua Asosiasi Penyelenggara Telekomunikasi Indonesia (ATSI) justru mengajak para pelaku operator untuk berkumpul dan merancang bersama soal regulasi ini untuk diajukan ke pemerintah.
Merza meyakini, apabila menunggu pemerintah, prosesnya akan cukup lama sebab akan ada banyak sekali aspek yang harus dipikirkan.
“Lebih baik kita yang mengonsepkan, lalu kita usulkan ke pemerintah melalui jalur asosiasi, baru targetkan kapan harus ditandatangan. Mari kita kaji bersama, mulai dari apa saja bentuk OTT, apa saja pemainnya, dan kalau mau kompak, kita tentukan mana OTT yang perlu dimanjakan, mana yang perlu dipersulit,” tutur Merza.