Home
/
News

Hari Ini 73 Tahun Silam, Sukarno Cetuskan Pancasila

Hari Ini 73 Tahun Silam, Sukarno Cetuskan Pancasila

Bimo Wiwoho01 June 2018
Bagikan :

Pancasila, dasar negara Indonesia, merupakan buah pikir dari seorang Sukarno. Dia mencetuskan Pancasila pertama kali pada hari ini, 73 tahun yang lalu atau pada 1 Juni 1945 di hadapan anggota Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI).

Merujuk dari Risalah Sidang BPUPKI, Sukarno mengumandangkan lima butir Pancasila dalam rapat besar sidang BPUPKI yang bertempat di gedung Chuo Sangi In (Sekarang kantor Kementerian Luar Negeri).

Agenda rapat saat itu yaitu lanjutan pembicaraan tentang dasar negara Indonesia. Rapat diketuai oleh Radjiman Wedyodiningrat.

"Namanya Bukan Panca Dharma, tetapi saya namakan ini dengan petunjuk seorang ahli bahasa namanya adalah Panca Sila. Sila artinya asas atau dasar dan di atas kelima dasar itulah kita mendirikan Negara Indonesia, kekal, dan abadi," tutur Sukarno yang disambut tepuk tangan riuh.

Sila pertama Pancasila yang dicetuskan Sukarno adalah 'kebangsaan'. Kebangsaan yang dimaksud Sukarno juga berarti nasionalisme. Sukarno terinspirasi dari pemikir Prancis abad 19, Ernest Renan mengenai hal itu.

Menurut Sukarno, merujuk dari pemikiran Ernest Renan, syarat untuk menjadi bangsa adalah ada kehendak untuk bersatu dari sekumpulan manusia.

Selain itu, Sukarno juga mengutip pemikiran Otto Bauer, seorang pemikir Austria. Menurut Bauer, kata Sukarno, bangsa adalah satu persatuan perangai yang timbul karena kesamaan nasib.

Dia lantas merujuk kepada keadaan masyarakat Indonesia yang terdiri atas berbagai suku seperti Minangkabau, Madura, Jawa, Sunda, Bugis, dan lain-lain.

Sukarno mengatakan bahwa Bangsa Indonesia bukanlah salah satu dari suku tersebut. Bangsa Indonesia, katanya, adalah seluruh masyarakat dari ujung Pulau Sumatra hingga ujung Papua.

"Bangsa Indonesia, umat Indonesia jumlah orangnya adalah 70 juta, tetapi 70 juta yang telah menjadi satu, satu, sekali lagi, satu!" pekik Sukarno disambut tepuk tangan seluruh anggota BPUPKI.

Internasionalisme

Poin kedua Pancasila yang dicetuskan Sukarno yakni 'internasionalisme'.

Berdasarkan penjelasan Sukarno, internasionalisme yang dimaksud yakni sikap bangga terhadap bangsa sendiri dan tetap menghormati bangsa lain. Rakyat Indonesia tidak boleh menganggap bangsanya lebih tinggi atau lebih mulia hingga merendahkan bangsa lain.

Rakyat Indonesia, katanya, tidak boleh menganut paham chauvinisme atau sikap mengagungkan bangsa sendiri secara berlebihan dan merendahkan bangsa lain. Justru masyarakat Indonesia harus bisa menciptakan persatuan dan persaudaraan bangsa-bangsa di seluruh dunia.

"Kita bukan saja harus mendirikan negara Indonesia merdeka, tetapi kita harus menuju pula kepada kekeluargaan bangsa-bangsa," tutur Sukarno.

Menurut Sukarno, poin pertama dan poin kedua berkaitan sangat erat. keduanya tidak dapat berdiri sendiri atau tidak akan sempurna.

Sukarno kemudian menjelaskan poin ketiga Pancasila, yakni mufakat atau demokrasi. Makna prinsip itu adalah Indonesia bukan satu negara untuk satu orang. Indonesia bukan satu negara untuk satu golongan.

Indonesia, lanjut Sukarno, adalah negara milik semua untuk semua, satu untuk semua, dan semua untuk satu. Nantinya, Indonesia harus memiliki suatu badan perwakilan rakyat sebagai lembaga legislatif dan permusyawaratan.

"Saya yakin bahwa syarat yang mutlak untuk kuatnya negara Indonesia ialah permusyawaratan, perwakilan," kata Sukarno.

"Saya tidak akan memilih monarki. Saya menghendaki mufakat. Maka saya minta supaya tiap-tiap kepala negara pun dipilih," lanjutnya.

Hari Ini 73 tahun Silam: Sukarno Cetuskan Pancasila Diiringi
Preview
Sukarno menyebut makna kesejahteraan dalam dasar negara Pancasila adalah bahwa Indonesia tak boleh membiarkan rakyatnya terjerat kemiskinan. (AFP PHOTO / INTERNATIONAL NEWS PHOTOS / DOUG CHEVALIER)

Dasar keempat yang dijelaskan Sukarno yaitu 'kesejahteraan'. Makna yang terkandung dalam prinsip tersebut adalah tidak boleh ada kemiskinan di dalam negara Indonesia yang merdeka.

Sukarno menegaskan bahwa Indonesia, jika sudah merdeka nanti, tidak boleh membiarkan rakyatnya kesusahan atau berkutat dalam kemiskinan. Seluruh masyarakat mesti mendapat makanan serta pakaian yang cukup dan hidup kesejahteraan.

"Prinsip kesejahteraan, prinsip tidak akan ada kemiskinan di dalam Indonesia merdeka," katanya.

Sukarno lalu menjelaskan bahwa kesejahteraan berkaitan dengan erat dengan sila sebelumnya, yakni mufakat atau demokrasi atau permusyawaratan.

Menurutnya demokrasi yang diterapkan di Indonesia mesti menitikberatkan kepada kesejahteraan sosial. Seluruh perwakilan masyarakat dalam badan permusyaratan rakyat harus mengutamakan kemakmuran yang merata. Bukan hanya untuk suatu golongan saja.

Sukarno tidak ingin demokrasi yang diterapkan Indonesia merdeka sama dengan yang diaplikasikan di negara-negara barat. Amerika Serikat, misalnya. Menurut Sukarno, kaum kapitalis merajalela di dunia barat. Hal itu merupakan implikasi dari penerapan demokrasi yang hanya mengedepankan kepentingan politik sehingga merujuk pada kepentingan kelompok saja. Padahal, kata Sukarno, demokrasi mesti memprioritaskan agenda kemakmuran dan kesejahteraan rakyat secara umum.

"Mewujudkan dua prinsip, politieke rechtvaardigheid (keadilan politik) dan sociale rechtvaardigheid (keadilan sosial)," kata Sukarno.

Kemudian, Sukarno mencetuskan prinsip 'ketuhanan yang berkebudayaan' sebagai asas yang kelima.

Bangsa Indonesia harus menjadi bangsa yang ber-Tuhan, kata Sukarno.

Setiap warga negara Indonesia harus ber-Tuhan sesuai dengan ajaran agama masing-masing. Setiap warga negara pun harus menghormati perbedaan agama yang dianut. Semua orang harus mendapat keleluasaan dalam beribadah. Menurutnya menjalankan ajaran agama yang berkeadaban adalah menghormati satu sama lain.

"Prinsip kelima daripada negara kita ialah Ketuhanan yang berkebudayaan, Ketuhanan yang berbudi pekerti luhur, Ketuhanan yang menghormati satu sama lain," kata Sukarno.

"Segenap rakyat hendaknya ber-Tuhan secara kebudayaan, yakni dengan tiada egoisme agama," lanjutnya.

Piagam Jakarta

BPUPKI lalu menyudahi rapatnya setelah Sukarno selesai mengusulkan lima dasar negara Indonesia merdeka. Kemudian, pada 22 Juni 1945, BPUPKI membentuk Panitia Sembilan. Panitia itu terdiri dari Sukarno sebagai ketua, diikuti anggota yakni Mohammad Hatta, Mohammad Yamin, Achmad Soebardjo, Abdul Wahid Hasyim, Abdul Kahar Muzakkir, Abikoesno Tjokrosoejoso, Agus Salim, dan A. A. Maramis. Mereka bertugas merangkum usulan yang muncul dalam rapat BPUPKI.

Panitia Sembilan lalu menghasilkan rumusan dasar negara yang disebut Piagam Jakarta. Piagam itu berisi lima prinsip. Satu, Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluknya. Dua, kemanusiaan yang adil dan beradab. Tiga, Persatuan Indonesia. Empat, kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan. Lima, keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Pada 10 Juli 1945, Panitia Perancang Undang-Uddang Dasar yang diketuai Sukarno menyetujui Piagam Jakarta menjadi rancangan Pembukaan UUD 1945.

BPUPKI kemudian dibubarkan karena dinilai telah menjalankan tugasnya menghasilkan rumusan dasar negara. Selanjutnya, dibentuklah Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI).

PPKI menghelat sidang pertama pada 18 Agustus 1945, atau sehari setelah proklamasi dibacakan oleh Sukarno dan Mohammad Hatta. Sebelum sidang dimulai, seluruh anggota PPKI sepakat sila pertama Piagam Jakarta diubah menjadi Ketuhanan Yang Maha Esa.

Berita Terkait

populerRelated Article