Hubungan Intim Mobil Pribadi dan Manusia: Berkah atau Musibah?
Henry Ford pernah berujar ihwal hasrat manusia terhadap kendaraan roda empat. "Bila saya tanya kepada orang-orang apa yang mereka inginkan, mereka bilang sesuatu yang lebih cepat dari kuda."
Mobil dalam perkembangannya tak hanya sebagai kebutuhan sarana transportasi, tapi melaju lebih jauh. Saat seorang membeli dan memiliki mobil, ia dapat mempertunjukkan kenaikan status sosial dan capaian kesuksesan, setidaknya survei menunjukkan demikian. Tak bisa dipungkiri hubungan manusia dengan mobil memiliki ketergantungan.
Baru-baru ini, survei terbaru di 2018 menunjukkan tingkat ketergantungan masyarakat Inggris terhadap penggunaan mobil pribadi semakin meningkat. Mengutip data survei dari RAC—perusahaan penyedia jasa perawatan dan asuransi kendaraan—intensitas penggunaan mobil oleh setiap satu dari tiga orang di Inggris meningkat dibanding tahun lalu.
Para pemilik mobil mengemukakan sejumlah alasan mereka mengendarai mobil pribadi secara rutin. Argumen yang paling sering muncul, yakni menurunnya kualitas pelayanan transportasi umum. Termasuk juga kenaikan tarif angkutan umum yang membebani kantong.
Fenomena peningkatan ketergantungan pada mobil pribadi, seperti dicatat Motoring Research, merupakan dampak dari penyusutan jumlah trayek bus. Dalam delapan tahun terakhir, ada pengurangan sekitar 45 persen rute perjalanan bus. Laporan dari Campaign for Better Transport, ada 3.000 rute bus yang dialihkan, dikurangi armadanya, dan ada juga yang ditiadakan. Sehingga pilihan moda transportasi umum pun menjadi terbatas.
“Ini sesuatu yang mengkhawatirkan bahwa ketergantungan (masyarakat) terhadap mobil pribadi merupakan rekor tertinggi yang pernah kita lihat,” ujar RAC Chief Engineering David Bizley, dikutip Motoring Research. “Riset kami jelas menunjukkan banyak orang yang menganggap pilihan transportasi umum tidak dapat menjadi alternatif selain mobil pribadi,” timpal Bizley.
RAC menegaskan, masalah ketergantungan pada mobil pribadi ini bisa terus berlanjut. Sebab, cukup banyak orang-orang berusia 17-24 tahun yang sudah mengalami ketergantungan berpergian dengan mobil. Jika tidak dicegah, mereka akan terus membawa kebiasaan itu sampai dewasa dan perilaku ini akan diturunkan kepada generasi berikutnya.
Mobil pribadi juga menjadi pilihan utama dari sebagian besar karyawan kantoran. Sekiranya Dua per tiga pekerja mengendarai mobilnya setiap hari menuju kantor. Mengendarai mobil dianggap lebih efisien, terlebih bagi para orangtua yang bisa mengantar anaknya ke sekolah sebelum berangkat kerja. Rutinitas demikian akan sulit dilakukan dengan transportasi umum atau berjalan kaki, karena butuh waktu lebih lama dan ongkosnya relatif lebih tinggi.
“Melihat data yang menunjukkan tingginya proporsi penggunaan mobil untuk mengantar ke sekolah, yang jadi faktor kunci sepertinya adalah tujuan selanjutnya dari orangtua: Jika mereka hendak berangkat kerja atau pergi berbelanja, mungkin lebih masuk akal jika menggunakan mobil dibandingkan jalan kaki,” ujar Kepala Divisi Statistik Jalan Raya dan Angkutan Umum Departemen Transportasi Inggris Gemma Brand.
Riset dari DMEautomotive—perusahaan konsultan marketing di Amerika Serikat pada 2014 punya perspektif lain soal hubungan seseorang dengan mobil pribadi. Riset ini memaparkan hubungan intim antara manusia dengan mobilnya, layaknya sahabat. Berdasarkan observasi DMEautomotive terhadap 2.000 pemilik mobil di Florida, Amerika Serikat, seperti dilaporkan Drive, 49 persen dari mereka mempersonifikasi mobilnya sebagai seorang laki-laki atau perempuan. Uniknya, para pemilik mobil memberikan nama panggilan khusus untuk mobilnya.
Melalui riset tersebut, DMEautomotive juga mematahkan anggapan bahwa para pria lah yang paling banyak pertalian emosional dengan mobil. Namun, lebih banyak wanita yang memberi julukan atau nama panggilan untuk mobilnya. Kaum hawa seolah menjalin persahabatan dengan mobil miliknya. Segala faktor yang membuat seseorang memiliki kendaraan hingga bergantung pada mobil secara langsung menambah populasi kendaraan roda empat di jalan raya termasuk Indonesia.
Ketergantungan Mobil di Indonesia
Populasi mobil di Indonesia juga terbilang gemuk. Mengacu pada data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2016, populasi mobil penumpang lebih dari 14,5 juta unit. Jakarta menjadi provinsi paling padat kendaraan. Rasio kendaraan dengan panjang jalan di Jakarta pun sudah sangat tak seimbang. Mencuplik data Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat tahun 2015, setiap 1 Km jalan di Jakarta dijejali 2.077 kendaraan. Ada 3,5 juta mobil terdaftar di DKI Jakarta pada tahun tersebut.
Mantan Gubernur DKI Jakarta Djarot Syaiful Hidayat pernah menyebut, pertumbuhan jumlah mobil baru di ibu kota 300-an unit per hari. Maka tidak heran jika jalanan di Jakarta macet, atau bahkan sangat ruwet di hari kerja karena dijejali kendaraan pribadi dari dalam Jakarta maupun daerah penyangga, seperti Bogor, Depok, Bekasi, dan Tangerang. Berdasarkan riset yang dihimpun perusahaan konsultan Frost & Sullivan pada 2014, ada 62 persen masyarakat Jakarta menggunakan mobil untuk beraktivitas harian.
Di saat jalanan perkotaan sudah sumpek dengan deru mesin kendaraan bermotor, produksi dan penjualan mobil di dalam negeri malah terus digenjot. Pada 2018 ini, Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (Gaikindo) menargetkan bisa menjual 1,1 juta unit mobil.
Di samping itu, kehadiran “mobil murah” atau disebut low cost green car (LCGC) memperbesar peluang masyarakat untuk membeli mobil. Belum lagi adu program kredit dari perusahaan pembiayaan yang membuat pembelian mobil lebih mudah dan “seolah” terjangkau.
Pemerintah turut mendukung. Melalui surat edaran Otoritas Jasa Keuangan (OJK) NOMOR 47 /SEOJK.05/2016, perusahaan pembiayaan yang memiliki rasio non performing finance (NPF) atau pinjaman bermasalah sama dengan atau di bawah satu persen, diperbolehkan menetapkan uang muka lima persen untuk pembelian kendaraan bermotor roda empat. Dengan adanya regulasi tersebut, daya beli dan minat masyarakat diupayakan meningkat.
Memiliki mobil seakan menjadi "kewajiban" buat orang Indonesia. Hasil survei Nielsen tahun 2014 menyebut, 95 persen pemilik mobil di Indonesia berniat mengganti mobil jika keadaan keuangan semakin membaik. Selain itu, empat dari lima orang Indonesia, catat Nielsen, menyimpan angan untuk memiliki mobil pribadi.
Masyarakat Indonesia juga memiliki penafsiran berbeda soal manfaat memiliki mobil. Ada yang menggunakan mobil sebatas alat transportasi. Namun, tidak jarang ditemukan orang-orang yang menjadikan mobil sebagai simbol kesuksesan. Ada saja orang-orang yang menjadikan kepemilikan mobil sebagai target dalam kehidupan. Tidak punya mobil bisa jadi adalah hal memalukan.
Orientasi kepemilikan mobil dapat direpresentasikan dari jenis mobil yang digunakan. Dalam laporan studi bertajuk “Correlation Among Car dependency, Social Status and Car Use in Jakarta” yang dibuat oleh Ayu Kharizsa dari Pusat Teknologi Informasi dan Data Kementerian Perhubungan, dkk, terbitan Journal of Civil Engineering Volume 1 (2015), mengungkap orang yang membeli mobil murah yang dapat memuat banyak penumpang menganggap mobil hanya sebagai alat mobilitas.
Berbeda dengan pemilik mobil sport atau sedan elegan ingin terlihat berbeda dan menunjukkan gengsi. Ada pula pengguna city car yang tetap ingin menunjukkan gaya walaupun dengan budget ala kadarnya. Ketergantungan terhadap penggunaan mobil pribadi memang bukan sebuah pelanggaran. Namun, perlu dipertimbangkan soal efektivitas penggunaannya agar tak menambah volume kendaraan pribadi di jalan raya.
Baca juga artikel terkait MOBIL atau tulisan menarik lainnya Yudistira Perdana Imandiar