icon-category Health

Imunoterapi, Pengobatan yang Sembuhkan Kanker Jimmy Carter

  • 07 Apr 2019 WIB
Bagikan :

Imunoterapi kian menjadi perbincangan hangat dalam lingkup pengobatan kanker. Dalam tiga tahun terakhir ini, euforia terhadap imunoterapi sangat besar sekali.

Terutama ketika mantan presiden Amerika Serikat ke-39, Jimmy Carter sembuh dari melanoma setelah mendapat PD-1 inhibitor. Sejak itu, obat ini mulai dicobakan ke berbagai jenis kanker.

Disampaikan dr. Jeffry B. Tenggara, Sp.PD, KHOM, konsultan Hematologi dan Onkologi Medik dari MRCCC Siloam Hospitals, imunoterapi merupakan terobosan terbaru dalam pengobatan kanker. Terapi ini menggunakan sistem kekebalan tubuh sendiri untuk melawan sel-sel kanker.

“Tubuh memiliki sel T yang merupakan bagian dari darah putih. Darah putih ini tugasnya melawan musuh, inilah tentara dalam tubuh, tentara yang kita miliki,” ujar dr Jeffry.

Sel darah putih menurutnya punya banyak komponen seperti limfosit, basofil, fagosit, dll. Komponen yang berperan dalam melawan kanker adalah sel limfosit T dan NK cell. Tetapi, terkadang kekebalan tubuh tidak cukup kuat untuk melawan kanker.

"Jadi, prinsip imunoterapi ini memanfaatkan mekanisme kekebalan sel-sel tubuh kita sendiri untuk melawan kankernya," imbuhnya.

Ia melanjutkan ada beberapa macam metode imunoterapi, yaitu Checkpoint Inhibitors, Cytokine Induced Killer Cell (CIK), dan Vaksin. Saat ini immunoterapi yang sudah banyak dipakai adalah check point inhibitor yang salah satunya adalah anti PD-1. Mekanisme kerja dari anti-PD1 ini adalah mencegah kematian sel limfosit T akibat proses pengrusakan oleh kanker.

Secara alamiah, tubuh memiliki mekanisme untuk meredakan PD-1 karena bila aktivitasnya berlebihan, justru bisa menimbulkan dampak buruk bagi tubuh. Itu sebabnya, beberapa sel tubuh dirancang memiliki PD-L1 dan PD-L2. Bila PD-1 berikatan dengan ligan PD-L1 atau PD-L2, sel T menjadi tidak aktif, sehingga tidak muncul reaksi berlebihan yang tidak diperlukan.

Sayangnya, mekanisme ini berhasil ditiru oleh sel kanker tertentu. Beberapa jenis kanker juga mengembangkan ligan PD-L1 dan/atau PD-L2 pada permukaannya, sehingga mampu meredam aktivitas sel T.

"Sel kanker memang sangat pintar ini adalah salah satu caranya menyembunyikan diri dari kejaran sistem imun," imbuhnya.

Meski demikian tidak semua kanker memiliki PD-L1. Karenanya pula, tidak semua kanker bisa diterapi dengan anti PD-1. Kanker paru jenis karsinoma bukan sel kecil (KPKBSK) atau non-small cell lung cancer (NSCLC), kanker kulit jenis melanoma maligna, dan kanker ginjal termasuk yang memilikinya, sehingga bisa diterapi dengan anti PD-1.

"Hadirnya anti PD-1 memberikan pilihan terapi yang lebih banyak bagi pasien kanker paru, dengan efikasi yang baik. Pemberian obat ini meningkatkan progression-free survival hingga enam bulan," sambung spesialis onkologi medik Dr. dr. Andhika Rachman, Sp.PD-KHOM dari FKUI/RSCM, Jakarta.

Untuk beberapa kasus lain seperti kanker ginjal dan melanoma maligna, imunoterapi bisa digunakan tanpa tes PDL-1 lagi karena berdasarkan penelitian terbukti hasilnya baik. Ditengarai, hampir 100% melanoma mengekspresikan PD-L1.

Di Indonesia, anti PD-1 disetujui oleh BPOM untuk pengobatan kanker paru dan kanker kulit jenis melanoma maligna yakni jenis kanker kulit yang paling ganas, yang menjangkiti Jimmy Carter.

Kini penggunaannya tidak sebatas pada kedua kanker tersebut. Di penelitian maupun di tempat praktik, imunoterapi anti PD-1 juga digunakan untuk berbagai kanker lain, yang telah dibuktikan mengekspresikan PD-L1.

Bahkan Dr. dr. Andhika telah menggunakan obat ini untuk pasien kanker pankreas, kanker payudara, kanker empedu, hingga kanker kepala dan leher. Anti PD-1 biasa diberikannya pada pasien dengan status performa fisik yang kurang baik.

“Obat yang diberikan untuk terapi sistemik haruslah yang tidak menurunkan status performa pasien. Hasilnya cukup baik dan tanpa efek samping, meski efikasinya tidak sebaik pada kanker paru dan melanoma," tandasnya.

Meski demikian dr Andhika mengatakan bahwa kendala utama pemberian immunoterapi adalah biaya yang sangat mahal hingga mencapai ratusan juta rupiah. Dengan demikian, pemberiannya terbatas pada pasien dengan tingkat ekonomi menengah ke atas.

"Penggunaan imunoterapi harus mengacu pada guideline yang baku, dan tidak boleh digunakan di luar itu kecuali dalam kerangka penelitian medis, dan dokter harus mengikuti standar prosedur yang baku," imbuh dr. Jeffry.

Dr Andhika menambahkan bahwa “Kanker adalah never ending story.” Belum ada obat yang bisa memusnahkan kanker 100 persen. Sedemikian canggih obat yang sudah ditemukan, tapi kemungkinan kanker kambuh atau bermetastasis tetap ada.

“Namun bagaimanapun, imunoterapi tetap menjanjikan. Perlu dukungan dari pemerintah, agar penelitian mengenai imunoterapi terus berkembang,” pungkasnya.

 

Berita Terkait:

Biar gak ketinggalan informasi menarik lainnya, ikuti kami di channel Google News dan Whatsapp berikut ini.

Tags : Kanker 

Bantu kami agar dapat mengenal kalian lebih baik dengan mengisi survei di sini