icon-category Travel

Jejak Kartosoewirjo di Gunung Rakutak

  • 29 Jul 2017 WIB
Bagikan :

INGATAN Agus Syaefurohman terantuk pada cerita–cerita orangtuanya di masa itu. Sejumlah warga di kampung orangtua Agus di Desa Sukarame, Kecamatan Pacet, Kabupaten Bandung bergabung dalam Organisasi Keamanan Desa (OKB). Organisasi itu dibentuk guna membantu TNI mengepung anggota Darul Islam/Tentara Islam Indonesia yang berada kawasan Gunung Rakutak.

Pengepungan dilakukan mengitari gunung tersebut guna memutus jalur logistik DI/TII. “Selama tiga hari warga baru turun diganti yang lain,” ucap Agus. Setiap lima meter, dibangun sebuah sawung untuk berjaga. Alhasil, posisi anggota DI/TII semakin terjepit dan kelaparan.

Agus menuturkan, sejumlah anggota DI pun memilih menyerah dan turun gunung. Imam DI/TII SM Kartosoewirjo akhirnya ditangkap Kompi C Batalyon 328 Kujang II/Siliwangi yang dipimpin Komandan Kompi Letnan Dua Suhanda, 4 Juli 1962. Penangkapan dilakukan di sekitar area Gunung Geber yang berbatasan dengan Rakutak. Tertangkapnya Kartosowirjo mengakhiri pemberontakan DI yang berlangsung belasan tahun.

Pemberontakan dan aktivitas penumpasannya berimbas pada warga yang bermukim di kaki Rakutak. Jika membantu pemberontak, warga akan berhadapan dengan TNI. Begitu pula sebaliknya. Tak ayal, rasa takut menjalar dalam diri warga.

Hal tersebut disampaikan kerabat Agus, Iin. Seperti Agus, kondisi warga masa itu didengarnya dari cerita orangtua. Agar selamat, lanjut Iin, warga memilih lolondokan atau menjadi bunglon. Siapa pun yang baik kepada kedua belah pihak akan selamat.

Jejak kawasan Rakutak dan Geber sebagai basis pemberontakan DI/TII hingga kini masih bisa ditemui. Iin menuturkan, warga kerap menemukan sejumlah alat masak jaman dahulu di Rakutak. Alat tersebut diduga peninggalan DI/TII saat bergerilya di kawasan tersebut.

Baru-baru ini, Iin pun mengaku menemukan gua persembunyian DI/TII di tempat sama. Kepada “PR”, Iin memperlihatkan foto gua yang berada di kawasan Kiara Lawang. Di dalam gua itu, Agus menemukan cangkir dan peralatan dapur lainnya. Sayangnya, benda –benda bersejarahtersebut justru terabaikan pemerintah. Wargalah yang menyimpan benda – benda yang ditemukannya.

alt-img

Jembatan Shirathal Mustaqim

Jembatan alam itu memisahkan dua puncak gunung. Memisahkan, tetapi juga menautkan para pendaki menggapai kedua puncaknya. Jembatan Shirathal Mustaqim. Begitu panggilan lengkungan medan terjal yang memisahkan dua puncak Gunung Rakutak, Kabupaten Bandung.

Kami melintasinya setelah dihajar medan menanjak pendakian selama hampir empat jam. Gelap malam telah menutupi pandangan mata kami saat tiba di puncak dua. Beberapa tenda telah didirikan  pendaki di puncak itu. Didekatnya, puncak satu yang menjadi puncak utama berdiri tegak disapu kabut dan muram malam.

“Di sana lebih dingin,” kata seorang pendaki yang kami temui setiba di puncak dua. Dia menyarankan kami tak mendirikan tenda di puncak utama. Selain lebih dingin, jembatan pemisah kedua puncak juga berbahaya dilalui malam hari.

Kami berembuk dan memutuskan terus melanjutkan perjalanan. Mendaki gunung pun sudah berisiko, jadi kenapa harus berhenti, sedangkan puncak utama di depan mata. Untuk tahu potensi bahaya itu, kami harus mencoba dahulu guna memperkirakan tingkat kesulitannya. 

Maka, langkah kami mulai menapaki lengkungan Shirathal Mustaqim. Debu mengepul dari tanah yang telah lama tak tersentuh hujan. Tak butuh lama untuk merasakan adrenalin mulai terpompa. Di kanan kiri, jembatan jurang menganga. Kami tak bisa menaksir berapa kedalamannya karena gelap malam. Tak ayal, langkah diayun dengan pelan sembari menajamkan pandangan mata. Sedikit kesalahan, gravitasi akan menarik tubuh kami menghantam dasar jurang.

Di beberapa titik, jembatan semakin menyempit dan hanya dipisahkan bebatuan. Butuh konsentrasi ekstra guna melintasinya. Pijakan kaki harus disertai pegangan tangan pada akar maupun ceruk batu. Dengan demikian, langkah kami tetap seimbang melintasi titik ekstrem tersebut.

Medan mulai menanjak saat kami mendekati puncak utama. Di sini bahaya mengintai para pendaki karena pasir dan kerikil yang memenuhi jalur jalan. Bila tak hati – hati, pendaki bisa tergelincir dan terempas ke jurang. Lagi, kami berkonsetrasi melintasinya dengan napas yang tersengal-sengal.

alt-img

Berkonsentrasi dengan tubuh yang kecapekan menjadi tantangan tersendiri bagi. Apalagi bila angin kencang menerpa. Tenaga akan lebih cepat terkuras dengan konsentrasi yang tak lagi awas. 

Untungnya, pendakian kami direstui alam. Tiupan angin tak terlalu kencang dan dengan bintang–bintang menggelayuti langit. Padahal sebelum menapak puncak dua, gerimis sempat turun. Kami ragu meneruskan perjalanan karena khawatir hujan semakin membesar. 

Namun gerimis justru reda. Kami kembali disambut gemerlap bintang dan sunyi ketinggian.

Akhir jejak kaki sampai di puncak utama. Pendar cahaya lampu kawasan Pacet, Ciparay Kabupaten Bandung terlihat jelas dari puncak Gunung Rakutak. Sebagian lahan di lereng Rakutak menjadi area pertanian warga. Sedangkan hutan menghampar di area yang berbatasan dengan Kabupaten Garut.

Di area hutan itu, Danau Ciharus berada. Dalam kegelapan malam, pandangan mata kami terhalang menyaksikan Ciharus. Bayangan gunung lain yang berhadapan dengan Rakutak malah menyita pandangan mata. Masyarakat menyebutnya Gunung Malang. Tetapi, masyarakat pun mengenalnya dengan nama Gunung Geber. Di lembah antara Rakutak dan Geber itu, Imam Darul Islam/Tentara Islam Indonesia Sekar Maridjan Kartosoewirjo ditangkap TNI.

Ingatan ini menemani api unggun menyala selepas mendirikan tenda. Tinggi Rakutak hanya 1.957 Mdpl. Ketinggiannya jauh berada di bawah ketinggian Gunung Ciremai3.078 Mdpl yang didaulat tertinggi se-Jawa Barat. Kendati demikian, medan terjal dan curam menghadang kami setelah memulai pendakian dari Sekretariat Himpala Rakutak, Desa Sukarame, Kecamatan Pacet, Kabupaten Bandung.

Kami harus rela mengeluarkan jurus monyet dengan berpegangan pada akar dan jurus macan mencengkram tanah ketika melintasi jalur curam. Sumber mata air juga terbilang minim di jalur pendakian Rakutak.  Satu-satunya mata air yang bisa ditemui hanya berada di pos satu. Mata air itu dialirkan selang yang dialirkan penduduk.

Alhasil, mendaki Rakutak butuh kesiapan fisik dan mental yang kuat. Bernyali lemah dan penggerutu, lebih baik berwisata ke mal atau taman hiburan.  Di sini, keyakinan dan daya tahan fisik diuji.

Ujian itu sepadan dengan apa yang kami dapatkan saat membuka mata pagi hari. Sinar lembut matahari menembus kabut dan tenda yang menaungi mimpi semalaman. Hamparan hutan berselimut kabut terhampar selepas kami terjaga. Nun jauh di sana, Puncak Gunung Cikuray dan Papandayan membelah awan. Pagi itu, Dua cangkir kopi tandas menemani kami menikmati keindahan Rakutak.***

Biar gak ketinggalan informasi menarik lainnya, ikuti kami di channel Google News dan Whatsapp berikut ini.

Tags : gunung rakutak 

Bantu kami agar dapat mengenal kalian lebih baik dengan mengisi survei di sini