Kala Ojol Gamang dengan Tarif Baru
Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 12 Tahun 2019 tentang Perlindungan Keselamatan Pengguna Sepeda Motor yang Digunakan untuk Kepentingan Masyarakat dan Keputusan Menteri Perhubungan RI Nomor KP 348 Tahun 2019 tentang Pedoman Perhitungan Biaya Jasa Penggunaan Sepeda Motor yang Digunakan untuk Kepentingan Masyarakat yang Dilakukan dengan Aplikasi mulai berlaku 1 Mei 2019.
Salah satu isu yang masih menjadi perdebatan dari aturan yang dikenal mengatur Ojek Online (Ojol) ini adalah masalah tarif.Dalam aturan ini besaran tarif terbagi menjadi 3 zona, yaitu: zona 1 untuk wilayah Sumatera, Jawa (tanpa Jabodetabek), dan Bali. Untuk zona 2 adalah Jabodetabek. Sementara untuk zona 3 adalah Kalimantan, Sulawesi, NTT, Maluku, dan lainnya.
Adapun besaran tarif nett untuk Zona I batas bawah Rp1.850 dan batas atas Rp2.300, dengan biaya jasa minimal Rp7.000-Rp10.000. Sementara Zona II batas bawah Rp2.000 dengan batas atas Rp2.500, dan biaya jasa minimal Rp8.000-Rp10.000. Untuk Zona III batas bawah Rp2.100 dan batas atas Rp2.600 dengan biaya jasa minimal Rp7.000- Rp10.000.
Penetapan Biaya Jasa batas bawah, batas atas, maupun biaya jasa minimal ini merupakan biaya jasa yang telah mendapatkan potongan biaya tidak langsung berupa biaya sewa penggunaan aplikasi.
Biaya tidak langsung adalah biaya jasa yang ada di dalam pihak aplikator sebanyak maksimal 20%. Kemudian yang 80% adalah menjadi hak pengemudi. Selain biaya langsung dan tidak langsung, ada pula biaya jasa minimal (flag fall) yaitu biaya jasa yang dibayarkan oleh penumpang untuk jarak tempuh paling jauh 4 kilometer.
Dampak
Grab dalam laporannya ke Kementerian Perhubungan (Kemenhub) pada Rabu 8 Mei 2019 menyatakan skema tarif ini meningkatkan pendapatan driver 20%-30%, sementara order dari pengguna cenderung stabil.
Sedangkan GOJEK menyatakan hasil monitoring dan evaluasi selama tiga hari pertama pemberlakuan tarif uji coba, melihat adanya penurunan permintaan (order) layanan Go-Ride yang cukup signifikan sehingga berdampak pada penghasilan mitra drivernya.
Alhasil, Gojek sempat mengubah kembali kebijakan tarifnya ke sebelum regulasi diberlakukan.
Terakhir, GOJEK kembali menggunakan tarif uji coba layanan Go-Ride sesuai dengan peraturan Kepmenhub serta memakai strategi diskon tarif.
Tarif yang diberlakukan Gojek sebelum potongan adalah Rp 10.000 per order sebagai tarif minimum untuk 4 kilometer pertama dan tarif dasar setelahnya sebesar Rp 2.500 per km. Tarif ini berlaku mulai 6 Mei 2019 pukul 00.00 WIB.
Tarif sebelum regulasi adalah Rp 9.000 per order sebagai tarif minimum dan tarif dasar Rp 1.900/km sampai 9 km dan Rp 3.000/km setelah 9 km.
GOJEK pun mengingatkan subsidi berlebihan untuk promosi (diskon tarif) memberikan kesan harga murah, namun hal ini semu karena promosi tidak dapat berlaku permanen.
Menurut GOJEK, dalam jangka panjang, subsidi berlebihan akan mengancam keberlangsungan industri, menciptakan monopoli dan menurunkan kualitas layanan dari industri itu sendiri. Ancaman terhadap keberlangsungan industri dapat mengakibatkan hilangnya peluang pendapatan bagi para mitra driver.
Keberatan
Bagaimana dari sisi konsumen? Research Institute of Socio-Economic Development (RISED) menemukan, 75% tarif ojol ditolak oleh konsumen.
Kenaikan tarif ojol yang signifikan paling besar ditolak oleh masyarakat Jabodetabek.
Berdasarkan hasil riset yang melibatkan 3.000 pengguna ojol, 67% masyarakat menolak dalam zona I (non-Jabo, Bali dan Sumatera), 82% masyarakat menolak dalam zona II (Jabodetabek), dan 66 persen masyarakat menolak di zona III (wilayah sisanya).
Penolakan ini terjadi karena 72% pengguna berpendapatan menengah ke bawah, terutama yang berdomisili di Jabodetabek, Bandung, dan Surabaya.
Apalagi rata-rata kesediaan konsumen untuk mengalokasikan pengeluaran tambahan hanya sebesar Rp 5.200 per hari untuk warga Jabodetabek dan Rp 4.900 per hari untuk non-Jabodetabek. Di sisi lain, kenaikan tarif bisa mencapai Rp 6.000 hingga Rp 15.000 per hari.
Suara keberatan dari aplikator dan konsumen ini ternyata membuat gamang Kemenhub.
Kemenhub akan melakukan survei di 5 kota untuk mengevaluasi penerapan aturan biaya jasa ojol yang telah diimplementasikan pada 1 Mei 2019 lalu.
Survei dilakukan dengan penyebaran kuesioner di 5 kota : Jakarta, Yogyakarta, Bandung, Makassar, dan Surabaya.
Cara ini dianggap efektif untuk mengevaluasi uji coba pemberlakuan tarif ojek online yang baru, karena pihak Kementerian Perhubungan tidak hanya mendapatkan masukan dari aplikator dan asosiasi pengemudi ojek dan taksi online namun juga dari masyarakat sebagai konsumen. Sehingga hasilnya dapat membaca daya beli masyarakat beserta keinginan para pengendara.
Membingungkan
Langkah yang diambil Kemenhub ini tentu membingungkan karena regulasi sudah tahapan pemberlakuan penuh.
Jika ternyata hasil dari evaluasi menunjukkan beleid yang dibuat Kemenhub ternyata tak sesuai harapan konsumen, apakah akan dilakukan revisi?
Jika demikian adanya, bagaimana dengan aplikator yang sudah menjalankan regulasi sesuai dengan ketentuan?
Bagaimana dengan moda transportasi lainnya yang selama ini sudah memenuhi kewajiban yang ada di regulasi?
Harap diingat, di mata hukum, kehadiran ojol di Indonesia masih abu-abu. Roda dua bukanlah angkutan umum resmi sesuai Peraturan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.
Keluarnya Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 12 Tahun 2019 yang merupakan diskresi dari Menhub mengatur Ojol lebih dilihat sebagai upaya pemerintah "menyelamatkan" ekosistem yang ada di bisnis ride-hailing itu.
Kabarnya, ada 17 sektor kunci di belakang ride-hailing seperti sektor angkutan jalan raya, jasa reparasi mobil dan motor, restoran, industri sepeda motor, jasa komunikasi dan informasi, jasa perusahaan, serta jasa penunjang angkutan.
Ojol juga berperan mendongkrak pertumbuhan bisnis Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM).
Melihat kompleksitas yang terkuak pasca keluarnya Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 12 Tahun 2019, wajar saja yang empunya regulasi menjadi gamang sendiri atas aturan yang dibuatnya.
Kalau sudah begini, cukupkan bisnis Ojol diatur hanya ditataran Peraturan menteri atau butuh payung hukum lebih tinggi agar semua masalah bisa terjawab?
@IndoTelko