Sponsored
Home
/
Lifestyle

Karier Macet Bukanlah Alasan Buat Resign

Karier Macet Bukanlah Alasan Buat Resign
Preview
Suara07 December 2016
Bagikan :
Preview


Nggak ada orang yang mau kariernya terhambat. Tapi kadang hambatan ini mesti dihadapi, bukan ditinggal lari.

Yang sering menjadi kebiasaan adalah orang memutuskan resign setelah merasa kariernya macet. Padahal mentoknya perjalanan kerja ini bisa jadi bukanlah alasan yang pas buat mengundurkan diri.

Masalah kerja bukanlah problem individu. Di lingkungan kerja, banyak pihak yang punya andil dalam menciptakan masalah, termasuk kita sendiri.

Namun kerap kali jari menunjuk ke orang lain ketika karier macet. Bos yang aroganlah. Rekan kerja yang gak bisa diajak kerja samalah. Beban kerja gak sebanding dengan penghasilanlah.

Padahal, ketika telunjuk mengarah ke orang lain, empat jari di tangan menunjuk ke diri sendiri. Barangkali ada yang salah pada diri sendiri?

Makanya, sebelum memutuskan resign lantaran karier macet, perlu introspeksi dulu.

Berikut ini 3 tahap yang bisa kita jalani sebelum mengambil keputusan mengundurkan diri.

1. Berdiskusi dengan atasan

Utarakan masalah yang kita hadapi di tempat kerja kepada bos. Atasan yang baik akan selalu terbuka menerima keluhan bawahannya.

Seringnya kita menutup diri dari diskusi dengan mereka jika menghadapi masalah karier. Lebih baik terbuka saja, biar plong rasanya.

Tanyakan mekanisme kenaikan jenjang karier secara langsung, ini lebih jelas ketimbang membaca perjanjian kerja bersama perusahaan. Bukan mustahil dari diskusi ini ditemukan titik temu yang sama-sama menguntungkan.

Pasti atasan akan berupaya mempertahankan jika memang kinerja kita bagus. Jika sebaliknya, pertanyaan kenapa karier macet nggak perlu jawaban lagi, bukan?

2. Terus mau apa?

Setelah resign, aktivitas selanjutnya apa? Ini yang mesti diperhatikan. Dalam beberapa kasus, keinginan resign nggak diikuti rencana matang ke depan.

Yang penting resign dulu, begitu mereka bilang. Ini langkah bunuh diri namanya. Sebelum resign, paling nggak kita sudah punya acuan mau kerja di perusahaan mana.

Selidiki kondisi internal perusahaan itu, termasuk gaji dan jenjang karier. Kalau tempat kerja yang baru lebih memprihatinkan, sama saja keluar dari mulut singa masuk ke mulut buaya.

Yang lebih baik, sudah diterima kerja di perusahaan lain sebelum resign. Jadi, nggak perlu galau menanti panggilan kerja saat sudah berstatus penganggur.

Bila memutuskan mau jadi wiraswasta, lihat dulu modalnya. Tentukan mau buka usaha apa. Ketahui syarat dan perizinannya. Intinya, langkah berikutnya memerlukan rencana.

3. Jangan-jangan emosi semata

Bukan gak mungkin keinginan untuk resign itu hanya didasari emosi sesaat. Misalnya melihat rekan kerja dapat promosi, sementara kita nggak. Padahal kita merasa kinerjanya lebih bagus.

Keputusan promosi itu ada di tangan pemegang jabatan. Yang menilai adalah mereka sebagai atasan, bukan rekan sejawat. Bila kita merasa keputusan itu nggak adil, lihat poin 1 di atas.

Segalanya akan lebih mudah jika kita mau terbuka. Bukan nggerundel di belakang dan bikin gosip saat makan siang.

Resign karena karier macet itu boleh-boleh saja, bahkan sangat disarankan. Daripada selamanya jadi staf di tempat kerja itu, mending cari kesempatan menjadi direktur di kantor lain.

Namun alasan yang mendasari keputusan itu mestilah kuat. Jika keputusan resign diambil sembarangan, siap-siap saja menerima dampak kerugiannya.

Preview


Berita Terkait:


populerRelated Article