Home
/
Lifestyle

Keluh Kesah Para Single Mom di Indonesia

Keluh Kesah Para <i>Single Mom</i> di Indonesia
Tabloid Bintang28 August 2016
Bagikan :
Preview


Menjadi seorang wanita tidak pernah mudah. Menjadi seorang single mom, lebih tidak mudah lagi. Setidaknya itulah pengakuan beberapa single mom yang tergabung dalam komunitas Single Moms Indonesia (SMI).

Single mom tidak sendirian

Seorang single mom menuturkan, situasi yang pelik sebenarnya sudah mulai timbul sejak gugatan cerai dilayangkan ke meja hijau. Di masa itu, hujatan dan penghakiman kerap dialamatkan pada pihak perempuan. “Mereka bilang, ‘Mbok ya diperbaiki dulu rumah tangganya.’ Padahal mereka tahu apa, sih tentang rumah tangga saya?”

Yang terjadi kemudian, para wanita ini merasa tersudutkan. Mereka juga acap kali merasa sendirian. Seperti dialami Maureen Hitipew, salah satu pendiri SMI. Ketika proses penceraiannya bergulir pada 2010 silam, ia merasa teman-temannya tak benar-benar memahami perasaannya. Itu terjadi karena mereka tidak mengalami masalah yang sama dengan Maureen. “Saat itu saya sadar, saya butuh social support. Saya butuh orang-orang dengan pengalaman sama yang akan membuat saya tidak merasa sendirian,” buka Maureen.

Pada 2014, Maureen mendirikan SMI. Semata hanya karena ia  tidak ingin ada wanita lain merasakan kegundahan serupa. Lewat komunitas ini, para single mom bisa berbagi cerita, berbagi pengalaman, saling memberi masukan, tanpa tendensi apa pun. “Tapi, sebetulnya tidak cuma para ibu yang tidak lagi merasa sendiri, lo. Anak-anak kami juga,” Laila Sofianty, salah seorang pengurus SMI menambahkan. “Saya pernah mendapat pertanyaan dari anak, ‘Si Anu (anak dari anggota SMI lain) tidak punya ayah?’ Saya bilang iya, dan dia kemudian diam. Tapi, saya tahu, dia tidak lagi merasa sendirian,” imbuhnya.

Single mom bisa bahagia

SMI rutin menggelar pertemuan. Menghadiri pertemuan, para single mom hampir pasti membawa perasaan yang tidak mengenakkan. Terutama jika ia anggota yang baru bergabung. Dalam penggambaran Maureen, “pemula” biasanya masih emosional. Mereka masih mempertanyakan kenapa bisa menjadi single mom.

Dalam pertemuan Minggu (14/8) yang kami datangi, hadir pakar Art Psychotherapy Mutia Ribowo, Sds, MA. Sebuah pertanyaan diajukan olehnya membuka banyak keresahan. “Ibu-ibu yang datang ke sini, kira-kira punya kondisi psikologis yang seperti apa?” tanya Mutia. Sedih, down, putus asa, trauma, hopeless, satu persatu terucap sebagai jawaban.

Berdasarkan hal tersebut, Mutia menyimpulkan bahwa semua orang yang hadir dalam pertemuan masih butuh release, sebuah proses healing. Kumpul-kumpul dan berbagi cerita cukup memberi kekuatan, namun tidak cukup untuk menyembuhkan. “Seorang konselor atau ahli tetap dibutuhkan,” ujar Mutia yang pada kesempatan hari itu mengajak para single mom me-release perasaannya lewat dua buah gambar telapak tangan berjudul past dan future. Masing-masing gambar diisi cerita-cerita pengalaman masa lalu dan harapan di masa depan setiap single mom.

Setelah proses release menghasilkan kelegaan, single mom bisa melakukan sesi konseling khusus untuk mencapai healing yang diinginkan. Maureen menyebut hal ini kelak sebagai prestasi cum laude anggotanya. “Bisa dibilang, ia telah lulus,” bilang Maureen. Apa kelulusan ini termasuk pilihan untuk menikah lagi dan berhenti menjadi single mom? Singkat Maureen berkata, mengapa tidak? “Namun, goal kami yang paling utama di SMI adalah menjadi single mom yang bahagia dulu. Sudah sembuh dari luka-lukannya dan berbangga dengan dirinya. Kalau jodoh, kan di tangan Tuhan?” pungkas Maureen.

(wida/gur)
populerRelated Article