Ketika Ejakulasi dan Orgasme Tak Membawa Kesenangan
Ada yang beranggapan bahwa saat pasangan berejakulasi atau mendapat orgasme, artinya ia berhasil mendapat kesenangan. Padahal, ini semua adalah hal terpisah, tidak serta-merta yang satu menyebabkan yang lainnya.
Ejakulasi pada laki-laki dan perempuan ditandai dengan keluarnya cairan dari alat kelamin saat beraktivitas seksual, baik sendiri maupun dengan pasangan. Lain dengan ejakulasi yang dapat dengan lebih mudah dideskripsikan, pengertian dan deskripsi orgasme masih mendatangkan variasi pendapat.
Dikutip dari buku The Orgasm Answer Guide (2009), secara kebahasaan, orgasme berasal dari kata dalam bahasa Yunani, orgasmos. Hal ini diartikan dalam Oxford English Dictionary sebagai klimaks kesenangan seksual yang ditandai dengan rasa nikmat pada bagian alat kelamin dan pada laki-laki, diiringi dengan ejakulasi.
Menurut Kinsey Report, orgasme merupakan kondisi pelepasan ketegangan otot saraf pada puncak respons seksual. Sedangkan seksolog kelahiran Selandia Baru, John Money, menjabarkan orgasme sebagai puncak pengalaman seksual laki-laki dan perempuan yang ditandai dengan luapan gairah atau ekstase.
Sebagian dari pakar medis bersepaham bahwa orgasme ditandai dengan terjadinya kontraksi otot pada bagian genitalia ketika mencapai klimaks aktivitas seksual. Selain itu, orgasme juga memicu keluarnya senyawa-senyawa kimia di otak yang berhubungan dengan kesenangan dan memacu detak jantung.
Sehubungan dengan anggapan bahwa orgasme dan ejakulasi datang beriringan, ada orang-orang yang memang merasakan hal seperti ini, tetapi ada pula yang sama sekali tidak berejakulasi ketika mencapai orgasme. Mayo Clinic mencantumkan terminologi dry orgasm yang mengacu pada keadaan saat seorang laki-laki mencapai klimaks seksual, tapi tidak mengeluarkan semen dari penis alias berejakulasi. Perempuan pun dapat merasakan hal serupa: mendapat orgasme tetapi tidak mengeluarkan cairan dari vagina.
Meskipun dalam beberapa definisi orgasme sering disamakan dengan pencapaian kesenangan atau kenikmatan, ada pandangan alternatif yang menyatakan bahwa dua hal ini tidak melulu datang bersamaan. Bisa saja seseorang mencapai kesenangan seksual kendati tidak sampai orgasme dan sebaliknya, ada orang yang sekalipun berkali-kali merasakan orgasme tetap tidak bisa mengantongi kesenangan.
Bisa Klimaks, Tapi Gagal Meraih Kesenangan
Kondisi saat seseorang bisa mencapai klimaks tetapi gagal meraih kesenangan disebut dengan sexual/orgasmic anhedonia. Anhedonia sendiri merujuk pada ketidakmampuan seseorang untuk merasakan kesenangan dari hal-hal yang pada umumnya dianggap menyenangkan seperti ketika mendapat apresiasi, mencapai prestasi, diterima atau dikenal orang lain. Dalam konteks seksual, anhedonia dikenal pula dengan sebutan pleasure dissociative orgasmic dysfunction (PDOD).
Dalam situs International Society for Sexual Medicine dikatakan, PDOD tidak berkaitan dengan dorongan seksual. Laki-laki atau perempuan yang mengalami hal ini masih bisa merasakan dorongan seksual, masih dapat berejakulasi atau meraih orgasme, tetapi tidak kunjung merasakan kesenangan.
Orgasme yang tidak sama dengan mendapat kesenangan juga diperteguh lewat definisi female orgasm disorder dari International Society for the Study of Women’s Sexual Health yang tercantum di jurnal karya Parish et.al. (2016). Di dalamnya dikatakan, female orgasm disorder yang berkaitan dengan kesenangan terlihat dari ketiadaan atau minimnya kesenangan yang didapat saat terjadi orgasme.
Ada beberapa hal yang bisa memicu anhedonia. Dari aspek fisik, gangguan senyawa kimia pada otak seperti dopamin bisa menyebabkan kondisi ini. Pengidap PDOD masih dapat menerima rangsangan seksual, tetapi tidak bisa merasakan kesenangan karena bagian otak yang menangkap rangsangan tersebut gagal memprosesnya menjadi perasaan senang.
Dalam buku The Textbook of Clinical Sexual Medicine (2017) tercantum, PDOD bisa juga diakibatkan dari konsumsi obat-obatan tertentu semacam antidepresan atau kontrasepsi oral. Tingginya level prolaktin dan rendahnya level testosteron, riwayat mengalami cedera sumsum tulang belakang dan masalah medis kronis lainnya merupakan faktor fisiologis lain yang berpengaruh terhadap kondisi anhedonia.
Di samping aspek fisik, faktor psikis juga dapat berdampak terhadap kegagalan merasa senang saat beraktivitas seksual. Dalam DSM V, anhedonia disebut sebagai salah satu gejala utama yang tampak dari pengidap major depressive disorder.
Mereka yang mengalami PDOD bisa saja pernah merasakan kesenangan saat bersenggama di masa lalu. Namun, hal-hal yang menekan tombol kesenangan pada otak bisa bergeser seiring waktu sehingga seks tidak lagi menjadi bagian darinya.
Archibald Hart, penulis Thrilled to Death: How the Endless Pursuit of Pleasure Is Leaving Us Numb (2007) memberikan sebuah ilustrasi, ketika seorang laki-laki begitu tenggelam dalam pekerjaan dan menikmatinya, aktivitas seksual bisa saja tak lagi membawa kesenangan untuknya. Pikirannya dapat didominasi oleh bayangan kesuksesan-kesuksesan di kantor, seolah-olah urusan pekerjaan membajak pusat kesenangan di otaknya. Alhasil, orgasme tak lagi membuahkan sukacita dalam diri orang tersebut.
Relasi dengan Pasangan dan Orgasme Palsu
Perkara sulitnya merasakan kesenangan dari aktivitas seksual dengan pasangan bisa menimbulkan problem relasi tersendiri. Pada beberapa pasangan pengidap PDOD, dapat muncul perasaan kecil hati karena berpikir tidak mampu menyenangkan lawan mainnya di ranjang. Jikapun sang pasangan tidak mengetahui bahwa teman senggamanya tidak mencapai kesenangan, pengidap PDOD dapat saja menutupi kondisi psikisnya dengan berpura-pura orgasme atau senang. Kebanyakan yang memalsukan orgasme adalah perempuan.
Alasan mereka memalsukan orgasme adalah karena mereka tidak ingin merusak situasi atau menyinggung perasaan pasangan bila sampai kedapatan mengalami PDOD, demikian hasil survei Erin B. Cooper, profesor Psikologi dari Temple University, Philadelphia, terhadap 1.500 perempuan. Ia juga menambahkan, orgasme palsu ini bisa juga terjadi karena perempuan merasa tak nyaman atau kesulitan mencari cara berdiskusi perkara seks dengan pasangannya.
Sebagai tambahan, menurut Charlene Muehlenhard, Ph.D., profesor Psikologi dari University of Kansas, pemalsuan orgasme mungkin pula dilakukan bila seseorang merasa senggama yang dilakukannya dengan pasangan tak kunjung selesai dan kadung keletihan.
Di samping itu, keadaan tak kunjung orgasme atau ‘tampak senang’ dari beraktivitas seksual bisa terjadi karena pasangan tidak mengetahui pada bagian mana seseorang merasakan sensasi seksual yang kuat. Bila seorang laki-laki terus menstimulasi vagina sementara si perempuan sebenarnya hanya dapat mencapai orgasme lewat stimulasi klitoral atau bagian tubuh lainnya, pemalsuan orgasme oleh si perempuan semakin mungkin dilakukan.
Dicatat dalam situs American Psychological Association, saat ekspektasi dan realitas tidak sejalan, orang-orang memalsukannya (orgasme), baik perempuan maupun laki-laki.
Orgasme palsu yang dilakukan seseorang ini juga tak lepas dari anggapan bahwa aktivitas seks ibarat misi yang punya gol jelas: ejakulasi atau orgasme. Proses bersenggama yang sebenarnya mengeluarkan percikan kesenangan belum dianggap paripurna bila dua hal ini belum tercapai.
Anggapan macam ini bisa tumbuh subur saat seseorang menggeneralisasi orgasme dari definisi konvensional dan mengabaikan temuan-temuan lain di lapangan bahwa ada orang yang mencapai kesenangan atau kenikmatan seksual di luar indikator-indikator segelintir pakar medis.
Baca juga artikel terkait ORGASME atau tulisan menarik lainnya Patresia Kirnandita