Ketika Sukarno dan Soeharto Ikut Antre dan Mencoblos di Pemilu
Mencoblos pada 1955 bukanlah hal mudah. Pilihannya terlalu banyak, karena kontestan yang ikut serta pun ada banyak. Untuk pemilihan anggota DPR, misalnya, diikuti oleh 29 partai politik dan individu. Karena banyaknya ini, pemilih harus mengantri lama.
Perdana Menteri Burhanuddin Harahap bahkan harus mengantri satu setengah jam di TPS Gedung Olahraga Ikada (kini Monas). Selain Burhanuddin, Wakil Presiden Mohammad Hatta dan mantan PM Ali Sastroamidjojo juga ikut antre dan mencoblos di sini.
Tak hanya mereka, bahkan Presiden Sukarno pun ikut antre. Kebetulan, TPS-nya tidak terletak di istana, karenanya Sukarno harus rela keluar ke TPS.
“Bung Karno sendiri ikut nyoblos di depan halaman kantor Kementerian Penerangan,” tulis Mangil Martowidjojo dalam Kesaksian tentang Bung Karno, 1945-1967 (1999:189).
Kantor itu berada di Jalan Merdeka Barat—kini kantor Kementerian Komunikasi dan Informasi (Keminfo)—tidak jauh dari istana. Sukarno, seingat Mangil bukan satu-satunya penghuni istana yang mencoblos. Seingat Mangil, “hampir semua penghuni istana mencoblosnya di TPS tersebut.”
Sebagai Presiden, tentu saja Sukarno dikawal dan jadi bahan perhatian. Sukarno tampak ingin bertatap muka dengan masyarakat sekaligus, karenanya Sukarno tidak naik mobil.
“Bung Karno jalan kaki dari istana dan terus antre, seperti layaknya orang yang akan mencoblos,” ingat Mangil.
Mereka yang mengantre urut-kacang bersama Presiden Sukarno cukup banyak. Alwi Shihab, dalam buku kumpulan ceritanya, Oey Tambahsia, Playboy Betawi (2007:63), mengutip cerita soal Sukarno dalam Pemilu 1955 dari harian Trompet Masyarakat (30/09/1955. Sukarno disebut-sebut antre dari belakang, tak meminta keistimewaan. Namun panitia di TPS cepat tanggap.
“Apakah saudara-saudara berkeberatan bila Bung Karno didahulukan karena tugas-tugas beliau?” tanya panitia pada para pengantre.
"Tidaaaak," yang ditanya serempak menjawab.
Namun Sukarno memilih tetap antre di barisan, dan terus jadi perhatian banyak orang.
Dalam pemilu yang kerap-kerap disebut sebagai yang terbaik dalam sepanjang sejarah Republik Indonesia itu, empat besarnya dihuni oleh Partai Nasional Indonesia (8,4 juta suara), Masyumi (7,9 juta), Nahdlatul Ulama (6,9 juta), dan Partai Komunis Indonesia (6,1 juta).
Jika Sukarno hanya sekali mengikuti Pemilu karena meninggal dunia pada 1970, maka presiden selanjutnya alias Soeharto berkali-kali ikut Pemilu hingga 2004, setelah lengser sebagai Presiden pada 1998.
Berbeda dengan pendahulunya, Soeharto tidak mencoblos di Kementerian Penerangan. Soeharto tinggal di Jalan Cendana, Menteng, Jakarta Pusat. Soeharto biasa mencoblos di TPS 02, Kelurahan Gondangdia Lama, Kecamatan Menteng yang berada tak jauh dari rumahnya.
Pemilu 1971 adalah Pemilu kedua dalam sejarah RI. Sebelum hajatan itu dimulai, Soeharto bersama Menteri Dalam Negeri Amirmachmud dan Gubernur DKI Jakarta Ali Sadikin, memeriksa persiapan di beberapa TPS di Jakarta.
TPS di RT tempat tinggal Soeharto berada Jalan Cendana Nomor 31, di halaman rumah sang ketua RT, Nyonya Yet Hansri Tando. Di sana Soeharto dan anggota keluarganya mencoblos.
Pada Pemilu 1977, rumah Nyonya Tando kembali jadi TPS. Di hari pencoblosan, pada 2 Mei 1977, seperti dicatat dalam buku Jejak Langkah Pak Harto: 27 Maret 1973-23 Maret 1978 (1991:487), petugas TPS memanggil Soeharto tepat pukul 10.00. Sebelumnya, Soeharto sudah mendapat surat suara berwarna kuning dan putih dari Ketua RT yang merangkap sebagai petugas TPS.
Presiden Soeharto tampak memperhatikan surat suara itu dengan sangat teliti sebelum memasuki bilik suara. ketika wartawan bertanya soal pilihan Soeharto dalam pemilu, sang Smiling General itu menjawab, "Wah sudah dua kali kok", mengisyaratkan pilihannya tetap sama.
Selesai mencoblos, pada pukul 10.45 Presiden Soeharto dan istri serta para wartawan berkeliling melihat pelaksanaan pemilihan umum pada beberapa TPS di Ibukota.
Pada 1987, seperti dirilis Antara (14/04/1987), terdapat 420 pemilih di TPS Soeharto. Sang Presiden dapat nomor antrean 293, dan Nyonya Tien dapat nomor 337. Pada 1992, RT di TPS tempat Soeharto mencoblos tetap sama: Nyonya Tando. Kala itu, seperti diberitakan Angkatan Bersenjata (09/06/1992), Soeharto dan istri sudah pegang KTP seumur hidup, jadi mereka akan datang memilih dengan membawa formulir model C.
Dalam Pemilu 1997, Pemilu terakhirnya sebagai Presiden RI, Soeharto lagi-lagi memilih di TPS yang sama. Namun Pemilu bertanggal 29 Mei 1997 itu terasa berbeda bagi Soeharto: tak ada lagi Nyonya Tien, yang tutup usia pada 28 April setahun sebelumnya.
Dan setahun kemudian, Soeharto pun lengser dari tampuk kekuasannya. Namun Soeharto masih terus ikut Pemilu hingga 2004, sebelum meninggal pada 2008.
Baca juga artikel terkait SEJARAH atau tulisan menarik lainnya Petrik Matanasi