Sponsored
Home
/
News

Ketika Sukarno Kepincut Hartini

Ketika Sukarno Kepincut Hartini
Preview
Petrik Matanasi12 March 2018
Bagikan :

Suka tidak suka, Sukarno harus merelakan perginya Inggit Garnasih pada 1943. Setelah bertahun-tahun Inggit jadi istri dalam masa perjuangan bagi laki-laki yang biasa dipanggilnya Kusno itu. Rupanya, Kusno, yang sangat menginginkan punya anak kandung, jatuh cinta kepada mantan muridnya, Fatimah.

Setelah Kusno jadi orang terpandang di Jakarta, Fatimah yang masih gadis belia itu diboyong ke Pegangsaan Timur 56 untuk jadi istri Kusno. Nama Fatimah menghilang berganti Fatmawati. Inggit tentu saja sudah angkat kaki dari rumah itu.


Bertahun-tahun kemudian, waktu Fatmawati sudah memberi lima anak untuk Sukarno—dua di antaranya bahkan laki-laki, jenis kelamin anak yang paling diimpikan kebanyakan manusia Indonesia—Fatma ternyata belum cukup baginya. Pada 1953, malapetaka datang menimpa Fatma. Suatu kali, waktu umur anak bungsu mereka, Guruh, baru 2 hari, Sukarno dengan tenang bicara pada istrinya di tempat tidur.

“Fat, aku minta izinmu, aku akan kawin dengan Hartini."

Omongan itu jelas menyakitkan. Semua perempuan pada dasarnya tak mau diduakan. Fatmawati membalas, “Boleh saja, tapi Fat minta dikembalikan pada orangtua. Aku tak mau dimadu dan tetap anti poligami.”

Bukan Sukarno jika menyerah pada ancaman macam itu. Ia langsung mengeluarkan jurus mautnya: “Tetapi aku cinta padamu dan juga aku cinta pada Hartini.”

Fatmawati keukeuh dan membantah pada suaminya yang kasmaran itu. “Oo, tak bisa begitu!” katanya.

Begitulah kisah bagaimana Sukarno menduakan istrinya, seperti diakui Fatmawati dalam Catatan Kecil Bersama Bung Karno-Volume 1 (1978:80).

Di masa pergerakan nasional, Sukarno sebenarnya dikenal sebagai sosok yang anti-poligami. Ketika masa perjuangan telah lewat, ia berubah menjadi orang yang justru mempraktikkan poligami.

Debut Poligami Sukarno

Bung Besar, menurut Rosihan Anwar dalam In Memoriam: Mengenang Yang Wafat (2002), rupanya sedang kepincut, lalu berpacaran, dengan seorang janda ketika Fatma tengah mengandung Guruh Soekarnoputra (hlm. 391-394).

Sementara menurut Peter Kasenda dalam Bung Karno: Panglima Revolusi (2014), ada yang menyebut bahwa waktu mereka mulai dekat, Hartini masih berstatus istri orang. Namun, Hartini membantah hal itu (hlm. 264).

Sebelum berstatus janda, Hartini adalah istri seorang dokter bernama Soewondo. Suaminya adalah kenalan Kolonel Gatot Subroto. Hartini menikah dengan sang dokter dalam usia yang masih muda. Perkawinan yang membuahkan lima anak itu akhirnya bubar.  

Sukarno bertemu pertama kali dengan Hartini di Candi Prambanan. Gatot Subroto lah orang yang menjadi perantara perkenalan itu. Ketika berkenalan, Hartini tentu saja tahu jika Sukarno bukan laki-laki lajang.


Meski Fatma bersikeras menolak, Bung Karno pantang mundur untuk kawin dengan Hartini. Saat itu, umur Hartini masih 28, sementara Sukarno sudah kepala lima. Kecantikan Hartini amat tersohor di antara para penggede di Jawa Tengah.

Perempuan kelahiran Ponorogo, 20 September 1924 itu dinikahi Bung Karno pada 7 Juli 1953 di Istana Cipanas, Jawa Barat. Usia mereka terpaut 23 tahun. Bertindak sebagai wali nikah adalah kepala pasukan pangawal pribadi presiden, Mangil Martowidjojo. Perkawinan itu bikin geger. Kaum perempuan dari Kongres Wanita Indonesia (Kowani) menentang poligami Sukarno.

Fatmawati dongkol bukan kepalang, hingga ia memutuskan angkat kaki dari Istana Negara. Ia memilih tinggal di Jalan Sriwijaya, Jakarta Selatan.

Tapi ia tidak bisa mendapat hak cerai dari Sukarno yang sudah menikmati perkawinannya dengan Hartini. Bagaimanapun, Fatmawati adalah ibu dari lima anak pertama Sukarno. Apa yang terjadi setelahnya adalah Fatmawati tetap jadi first lady (ibu negara), meski istri Sukarno bertambah dan silih berganti.

Hartini diberi tempat tinggal di sebuah paviliun Istana Bogor. Sukarno tidak menempatkan Hartini di Istana Negara demi menjaga perasaan Fatmawati dan kelima anaknya. Hartini tahu, setelah Indonesia merdeka, dirinya adalah perempuan kedua setelah Fatmawati.

Cinta Sukarno belakangan pun tidak hanya terbagi dua, tapi lebih dari itu. Birahi laki-laki kelahiran Surabaya ini memang tak mengenal batas. "I need sex everyday," kata Sukarno pada suatu kali kepada Cindy Adams, penulis autobiografinya.  

Berkali-kali Sukarno tambah istri, termasuk dengan Ratna Sari Dewi. Hartini pun hanya bisa menyaksikan tanpa bisa membendung hasrat Bung Besar.



Infografik Mozaik Hartini
Preview

Ideal Perempuan ala Sukarno

Pada 6 Mei 1963, di lapangan terbang Kemayoran, ketika Sukarno pulang dari Irian barat, Hartini bertemu dengan perempuan lain yang dipuja suaminya. Perempuan itu bernama Haryati alias Pentul. Kata Rosihan Anwar, jika dalam istilah Belanda, Haryati adalah "Een verjongde uitgave van Hartini" (Suatu cetakan lebih muda dari Hartini).

Dalam perjalanan dari lapangan terbang ke Istana Merdeka, Hartini dan Haryati menaiki mobil yang berbeda. Namun keduanya harus menanggung apes.

“Tatkala Megawati dan putri-putri Presiden lainnya melihat Hartini dalam [rombongan] RI-1, maka mereka terus masuk ke dalam dan menutup pintu-pintu istana,” tulis Rosihan.


Esoknya, Hartini yang sedang hadir di Kongres Wanita Perti, buru-buru dijemput Sukarno. Konon, Sukarno hendak mencegah pernyataan Hartini sebagai ibu negara. Bukan anak-anak Fatmawati saja yang tak sudi bertemu dengannya, beberapa istri pejabat era Sukarno juga enggan bersua Hartini.

Bukan hanya insiden di Istana Merdeka itu yang memilukan Hartini, istri yang telah memberikan dua anak—Taufan dan Bayu—kepada Sukarno. Waktu musim demonstrasi mahasiswa 1965-1966, kelompok anti-Sukarno memberi Hartini sebuah "gelar" yang agak menyakitkan: Lonte Agung. Sukarno tentu saja marah.

“Pada 18 Januari 1966, 10 orang mahasiswa mewakili KAMI Pusat, KAMI Jaya dan KAMI UI, menghadap Presiden Sukarno. Dalam pertemuan tersebut Presiden memarahi para mahasiswa terutama dari PMKRI karena aksi corat-coret di tembok rumah istrinya, Hartini di Bogor dengan kata-kata kotor antara lain: Hartini Lonte Agung dan Hartini Gerwani Agung dan lain-lainnya,” tulis Benny G. Setiono dalam Tionghoa Dalam Pusaran Politik (2003: 916).


Di mata Sukarno, Hartini adalah perempuan ideal. Seperti dicatat Rosihan Anwar, presiden pertama itu pernah bilang pada Sudjatmoko, salah satu tokoh Partai Sosialis Indonesia (PSI) yang dibubarkan Sukarno, “Koko, kalau kamu menikah, ambillah orang yang kurang intelektuil.”

Hartini adalah seorang Jawa yang tidak cerewet, patuh, santun, dan tak suka membantah—tipikal perempuan yang sangat didambakan Sukarno. Tak heran jika dalam surat cintanya kepada Hartini, Sukarno pernah bilang, “Tin, kita memang ditakdirkan untuk bertemu. Engkau dan aku memang musti bersatu, cinta kita adalah takdir.”

Rayuan maut itu tak lain dimaksudkan agar Hartini, yang tidak tampak intelek itu, mau menerima pinangan sang presiden. Hartini lalu menjadi istri kedua yang harus rela makan hati, meski berpeluang hidup enak di istana.

Setelah Sukarno dilengserkan dari kursi kekuasaannya dan kemudian meninggal pada 1970, Hartini tinggal bersama ketujuh anaknya. Ia sempat membuka usaha kecil-kecilan untuk menghidupi mereka. Uang pensiun Sukarno baru diberikan pemerintah pada 1980, yang harus dibagi tiga dengan Fatmawati dan Ratna Sari Dewi.

Hartini meninggal di Jakarta pada 12 Maret 2002, tepat hari ini 16 tahun lalu. Jenazahnya dilepas oleh Megawati Soekarnoputri, anak tirinya, yang saat itu menjabat sebagai Presiden Republik Indonesia.
Baca juga artikel terkait SEJARAH INDONESIA atau tulisan menarik lainnya Petrik Matanasi

populerRelated Article