Komunal dan Agama Rock N Roll yang Selamanya Absurd
“Band ini bukan mesin duit.
Malam itu saya dan Doddy Hamson bertemu di perempatan Jalan Juanda, Bandung. Rambut Hamson, vokalis band heavy metal Komunal, lepek tertiup angin malam. Beberapa helainya kemudian diselipkan ke balik telinga sambil melanjutkan bicara tentang jarangnya Komunal naik panggung dalam kurun waktu setahun terakhir.
Sepanjang 2017 mereka hanya main sekali, itupun di Liga Musik Nasional, acara yang notabene diinisiasi oleh Hamson sendiri. Tahun 2018 ini rada mending: 3 kali. Satu di Pekanbaru dan dua pertunjukan tunggal di Bandung dan Jakarta.
Angka-angka tersebut belum mampu mencapai hitungan rata-rata panggung Komunal sejak keluarnya Gemuruh Musik Pertiwi (2012): empat kali dalam setahun.
Menurut Hamson, bandnya telah menempuh semua usaha yang dibutuhkan agar jadwal panggungnya bertambah. Belum sampai membuat vlog memang, tetapi cukup sadar perlunya berpose di media sosial dan memasang album di Spotify. Termasuk juga membenahi manajemen. Para manajer, diakui Hamson, telah beberapa kali mencoba jemput bola mendekati para organizer acara. Sampai di situ dia masih merasa heran kenapa Komunal masih saja tidak mampu bermain sebanyak band lain.
“Karena kalau target bikin lagu cuma buat mendongkrak (popularitas), gue juga bingung, kami enggak bisa jalan dengan formula seperti itu. Gue selalu yakin album yang sudah gue buat itu bagus semua. Dan gue akan tetap bilang, Komunal adalah band yang paling keren. Gitaris terbaik di dunia adalah Muhammad Anwar Sadat, dan drummer terbaik, ya Rezha (Ai) H.K. Bukan cuma buat gue, tapi semua orang. Hanya mungkin belum pada sampai saja,” cetus Hamson.
Edo Gordo, manajer yang telah 10 tahun mengurusi Komunal dan sempat menjadi bassis temporer di sana, sebenarnya punya jawaban atas keheranan Hamson. Ada banyak panggung yang sengaja mereka tampik. Biasanya karena kesibukan kantoran para personelnya.
Sadat dan H.K, bekerja dengan jadwal padat sebagai pegawai, Arie ‘Koko’ Khomaini, bassis asli mereka, malah sudah lama cabut pulang kampung ke Pekanbaru. Hanya Hamson yang relatif punya waktu santai. Ketika Komunal keseringan libur, dia akan mudah ditemui sedang mengurusi Janger, bisnis sablonnya atau berkeliling mengisi vokal tamu untuk band teman-teman di Bandung, di antaranya: Rajasinga, Haul, Taring, Sigmun, dan Taruk Lebam.
Memang cerita di atas itu menyedihkan. Langkah Komunal tersendat kenyataan hidup – pejuang heavy metal kita terpaksa harus menyaring panggung-panggungnya sebab para pendekarnya pada sibuk ngantor. Ironis, tapi cukup wajar, karena biar bagaimanapun juga asap dapur harus tetap mengebul.
Dan ini bahayanya: rock n roll adalah gairah yang menuntut pengorbanan, fantasi misterius yang membuat Hamson tidak juga bergelimang harta setelah 20 tahun bersimbah di dalamnya.
“Itu salah satu pengaruh buruk rock n roll,” ujar Hamson terkekeh. “Gue enggak akan pernah kaya dari sana.”
Tak Ada yang Mengundang? Bikin Konser Sendiri
Sejak muncul pertama kali, kepercayaan diri Komunal memang kelas wahid dan diimbangi tingkat narsistik yang pantang goyah. Jika tidak ada yang mengundang: ya bikin sendiri. Dan itulah yang mereka kerjakan. Dua buah pertunjukan terjadi di ujung 2018. Di Spasial, Bandung, sekitar 300 fans datang menyanyikan himne pujian atas eksistensi purbakala dan sisa-sisa era 80. Di Jakarta, pertunjukannya dipersembahkan De La Show di bar bergaya Inggris kuno bernama Eastern Promise.Di sanalah saya bertemu Anwar Sadat pada pitcher bir yang ketiga. Hello Benji and The Cobra, aksi Batak psyche-rock asli Medan baru saja menyelesaikan tugas sebagai band pembuka bersama adik-adik grunge dari Hentaai. Malam itu jatuh di angka 11 bulan 11.
Sadat tengah berjalan menuju panggung ketika saya menyapanya dan dia menyempatkan diri untuk berhenti di meja saya yang terletak di seberang meja biliar. Kami pun berbincang sejenak. Sebagai penghormatan satu gelas penuh ditunggingkan terlebih dahulu untuknya. Lalu terhantam di tengah.
Belum sampai tandas gelasnya, Sadat sudah minta permisi untuk berlalu. Hitungan mundur menuju pertunjukan utama hampir sampai pada puncaknya. Tampak para kru panggung Komunal telah selesai melakukan tugasnya, dan Edo Gordo mulai meminta anak-anaknya untuk bersiap.
Sementara saya bersama tiga kawan semeja, kami masih punya pekerjaan yang harus ditunaikan sebelum ikhlas merangsek ke depan: setengah isi pitcher yang menuntut untuk dihabiskan. Alhasil kami menuang dan menenggakinya dengan terburu bagai orang kena cambuk ketika intro drum dan bass “Bakar Kibar” mulai dilancarkan sebagai genderang pertama.
Buat Komunal, musik keras berhenti di gerbang milenium dan mereka tidak peduli apa yang terjadi setelahnya. Rock n roll setelah 2000 adalah plastik, tidak ada lagi yang orisinal menurut Hamson, yang mengakui Korn sebagai band terakhir yang didengarkannya secara saksama.
Komunal tahu siapa mereka, lantas memplot diri sebagai penyelamat generasi setelah Slank tobat dan Puppen bubar. Sesumbar dan bermulut besar, seperti halnya juga kami semua: penonton yang berada di geliat lembah testoteron panggung De La Show malam itu. Darah-darah muda nan keras dan bersemangat, lubuk bagi lagu-lagu heroik Komunal.
“Rock n roll telah mati, dan kamilah yang (harus) menyelamatkan,” pekik Hamson.
Di akhir lagu “Manusia Baja” itu, Hamson menyulut rokok pertamanya. Lalu menyambar mikrofon. Suaranya keluar dengan berat, memancarkan kharisma yang, meski terkesan dibuat-dibuat tapi, mampu membuat rocker paling macho di tongkronganmu berdehem bangga.
Sudah 21 tahun berlalu sejak Hamson, seorang anak hard rock udik dari Pekanbaru, Riau memutuskan untuk pindah melanjutkan studi ke Bandung. Di sana, sejumlah band rock idolanya bermukim.
“Pas Band, Puppen, Koil, Pure Saturday. Bandung saat itu gue anggap sebagai barometer perkembangan rock nasional. Mereka adalah para pionir. Close Minded, Jeruji,” ujarnya.
Pada 2002 dia memulai bandnya sendiri yang dinamakan Ragadub bersama tiga mahasiswa perantau lainnya: Sadat, Koko dan Ai. Ragadub diakui Hamson hanya dianggap sebagai upaya seleksinya menemukan formasi Komunal yang pas – formasi yang tidak pernah dicabut hingga hari ini, bahkan ketika Koko tidak pernah menampakkan batang hidungnya. Posisinya sesekali diisi oleh Arief Snik, mantan bassis grup Gondrong Kribo Bersaudara.
Meski sempat menelurkan sebuah album, Ragadub ditamatkan pada tahun 2004, tahun yang sama ketika Komunal langsung menulis lagu-lagunya dan melepas debut kaset bertajuk Panorama via Hamson Killer Records.
Sadat mengingat kelahiran Panorama dengan istilah, “emosi tinggi, penuh amarah, berontak”. Empat aligator yang tidak hanya buas tapi juga polos tanpa dosa. Mereka memajang bendera Konfederasi sebagai sampul album dan memajang tampang Ai mengepit rokok jiplakan Yesus Mariyuana dari NOLA milik Down. Eksistensi dipertegas kemudian dengan cantuman dua tulisan sederhana yang terbaca angkuh: Hell yeah, we are fucking big mouth; dan Heavy Metal.
Ketika saat itu cetak biru blues-metal masih gagap diraba oleh kancah lokal, Sadat keluar dengan definisi mentahnya tentang mengoplos groove pada gitar listrik. Blues ditempatkan di atas segalanya. Kemudian dicampur dengan mortalitas hardcore, cikal bakal sludge berdistorsi anggur Southern – stoner rock hasil dari keimanan fanatik terhadap Pantera.
Bersama EP pertama dari Seringai, Panorama sangat sah bila dikultuskan sebagai standar baptis stoner metal lokal. Ia adalah album sophomore yang berjasa menanjakkan status Komunal dari samar menjadi dikenal. Mereka makin menjadi-jadi di Hitam Semesta, empat anak muda yang melihat terangnya dunia dari kegelapan.
“Lalu jatuh tanpa tahu arah dan tujuan,” kata Sadat.
“Taruh saja gue dan Sadat selama seminggu di satu kamar, pasti bakal tercipta banyak lagu. Itulah yang kejadian di Hitam Semesta,” tukas Hamson.
Total ada 18 nomor masuk album Hitam Semesta, termasuk mars tempur kebanggaan suku gagak, “Pasukan Perang Dari Rawa" yang biasanya selalu disuguhkan sebagai penutup setiap kali main. Hamson menuliskan liriknya sebagai (sekali lagi) penegasan, “bahwa Komunal adalah band heavy metal paling mantap yang pernah ada di muka bumi ini.”
“Musik Komunal adalah heavy metal, enggak ada lagi yang lebih tepat. Kami tidak butuh embel-embel,” tegas Hamson sekali lagi.
Butuh empat tahun berikutnya sampai cap sebagai band stoner akhirnya tersingkir secara alamiah. Dirilisnya Gemuruh Musik Pertiwi (2012) memberikan validasi bentuk kesejatian karakter Komunal. Pure rock & roll. Sadat mengeringkan suara distorsinya dan kembali berkiblat pada rock klasik: kaset album Raksasa-nya God Bless yang disetel terus menerus hingga kusut. Kemudian Zeppelin dan Sabbath. The Flowers. Black Crowes. Andy Liany. Juga Boomerang era Hard N Heavy (1999).
Ketika Gemuruh Musik Pertiwi dirilis, rock Indonesia sedang membutuhkan album itu, mengingat kita tidak bisa lagi menyebut siapa jagoan hard rock lokal yang layak dibanggakan saat itu. Album ketiga Komunal ini juga dianggap penting karena tidak ada band rock lain yang menulis musik seperti yang terdengar di sana. Saya menyandingkannya sebagai album hard rock lokal terbaik setelah Jabrik-nya Edane.
Upaya Tetap Membakar
Ketika berbincang dengan Hamson di Bandung tempo hari itu, saya memuji kemampuan olah katanya dalam menulis syair. Mengatakan padanya bahwa dia memiliki bakat besar seorang copy writer. Syair-syairnya meskipun dipenuhi ambiguitas punya kekuatan batin bara yang terhunus. Menjadi lebih gagah kemudian ketika dinyanyikannya dengan suara parau yang serak terbakar.
Hamson mengakui sebagian besar syair bikinannya tidak memiliki arti khusus. Semuanya terjadi karena semata-mata permainan kata saja, dan dia cenderung memasang-masangkannya seperti puzzle, bukan karena maknanya tapi sekadar ambiguitas dan nilai estetis rima belaka.
“Kadang gue enggak mengerti arti dari lirik yang gue tulis. Itu semua hanya alat untuk membakar semangat kami berempat, seperti, ‘tenang saja, Komunal adalah band yang paling hebat. Paling mantap. Paling keren',” ungkap Hamson.
Baiklah. Mendengar pernyataan barusan membuat saya menganggap Komunal sebagai band dengan tingkat kepercayaan diri tinggi bak penakluk negeri, namun kurang punya ambisi. Persis band medioker. Sangat disayangkan. Apalagi jika sampai berimbas pada kualitas penampilan panggung mereka. Jarang main juga bisa disimpulkan jarang latihan. Akibatnya tercatat dua kali kesalahan yang terjadi di panggung De La Show kemarin.
Di luar itu jelas ada sesuatu yang harus dibenahi serius di sini: band sekultus Komunal tidak sepatutnya terjerumus dalam kecerobohan teknis sepele macam hilang tempo atau senar fals. Ketika ditanya mengenai hal itu, Sadat mengakui bahwa Komunal harus lebih sering memiliki waktu berkumpul bersama.
Atau mungkin lagu-lagu baru memang sudah diperlukan. Karena ternyata meskipun jarang tampil, dalam sekejap saya langsung dapat mencium risiko kebosanan yang disebabkan repertoar stagnan. Terlebih ketika “Gemuruh Musik Pertiwi”, “Budaya Purba” dan “Ngarbone” dimainkan untuk kedua kalinya malam itu demi memuaskan berahi penonton yang belum tuntas.
Menurut Sadat, Komunal sudah menyelesaikan proses penulisan beberapa lagu baru. Belum semua dan belum direkam, tapi secara pribadi dia menginginkannya terdengar seperti 10.000 Days-nya Tool. Sedangkan Hamson menyebut nama Van Halen ketika ditanyakan hal yang sama.
Apapun itu dan kapanpun albumnya akan rampung nanti, Edo Gordo selaiknya manajer yang baik, memberikan keterangan optimis perihal masa depan Komunal.
“(Album baru) kami targetkan awal 2019 sudah keluar. Tidak ingin muluk-muluk sebenarnya, yang pasti kami ingin kembali ke masa awal dulu, mengeluarkan karya yang spektakuler dan gigs yang tidak berhenti. Mungkin bisa tur lagi atau bikin showcase di setiap daerah di Indonesia supaya gue bisa dengan lantang menyuruh anak-anak untuk berhenti bekerja di perusahaan masing-masing.”
Saya yakin Gordo pasti sedang bercanda ketika dia mengatakan personel Komunal kelak bisa berhenti bekerja untuk fokus di band. Jikapun berpikir positif, saya tidak yakin itu bakal kejadian dalam waktu tiga tahun ke depan.
Rock n roll memang selamanya akan selalu menjadi pilihan religi yang absurd.
Baca juga artikel terkait KOMUNAL atau tulisan menarik lainnya Rio Tantomo