Kultur Baseball Korea yang Serupa Konser Rock N Roll
Setelah menunggu selama 8 tahun, SK Wyverns akhirnya kembali menjadi yang terbaik dalam jagad bisbol Korea Selatan. Dalam kejuaraan bisbol Korean Series yang berlangsung pada 4 hingga 12 November 2018 lalu, tim yang berstatus kuda hitam ini menang 4-2 saat menghadapi juara musim reguler, Doosan Bears.
Setelah kemenangan itu, setiap orang di dalam Wyverns bersuka cita, terutama Try Hillman, sang pelatih. Bagi Hillman keberhasilan tersebut jelas menjadi cara yang pas untuk berpisah dengan tim yang berbasis di kota Incheon itu. Jauh hari sebelumnya, pelatih asal Amerika Serikat tersebut memang sudah mengatakan bahwa 2018 adalah musim terakhirnya di Korea Selatan. Alasannya ia ingin lebih dekat dengan orang tuanya yang sedang sakit-sakitan. Namun, siapa mengira jika ia mampu menutup dua tahun kariernya di Korea Selatan dengan catatan manis.
“Ini adalah dua tahun yang luar biasa, tidak bisa dijelaskan dengan kata-kata,” tutur pelatih asing pertama yang berhasil meraih gelar Korean Series tersebut.
Orang-orang Incheon kemudian memberikan kado perpisahan tambahan menjelang Hillman pergi. Berbarengan dengan perayaan gelar juara yang dilakukan Wyverns, Hillman didaulat menjadi warga kehormatan Incheon. Yang menarik, prestasi Hillman tersebut bukan alasan utama mengapa penghargaan itu diberikan. Penghargaan itu sebetulnya mempunyai makna yang lebih luas: rasa cinta orang-orang Korea terhadap bisbol.
Pesona Bisbol di Korea Selatan
Korea Selatan memang mulai mengenal bisbol dari orang-orang Amerika, tapi mereka mendalami bisbol justru dari orang-orang Jepang yang menjajah mereka pada awal abad ke-20 silam.
Dalam Taking in a Game: A History Baseball in Asia, Joseph Reaves menjelaskan bahwa bisbol merupakan salah satu alat yang digunakan Jepang untuk menindas kebudayaan Korea. Namun, seiring berjalannya waktu, bisbol justru digunakan para pemuda Korea sebagai cara untuk menentang penjajahan Jepang. Saat mereka bertanding dengan orang-orang Jepang, kemenangan dalam bisbol dapat diartikan sebagai sebuah kebebasan.
Dari situ, bisbol terus berkembang di Korea Selatan. Puncaknya terjadi pada 1982 lalu, saat Korea membentuk liga bisbol yang diberi nama KBO League. Bermula dari 6 klub, KBO League kini sudah diikuti oleh 10 klub: Doosan Bears (Seoul), SK Wyverns (Incheo), Hanhwa Eagles (Daejeon), Nexen Heroes (Seoul), KIA Tigers (Gwangju), Samsung Lion (Daegu), Lotte Giants (Busan), LG Twins (Seoul), KT Wiz (Suwon), serta NC Dino (Dinos).
Semula, KBO League memang masih berada di bawah bayang-bayang bisbol Jepang. Hirarki bisbol yang dikenalkan Jepang masih sangat kentara, sehingga membuat hubungan para pemain dan pelatih tampak kaku sekaligus membuat para pemain tak berani menuntut hak mereka meski mereka tidak dihargai. Gaya permainannya pun sangat Jepang yang menekankan kontak fisik, kecepatan, juga repetisi.
Namun kini, semua itu telah berubah. Bisbol Korea Selatan sudah mempunyai kultur tersendiri. Bisbol negeri ginseng itu berubah menjadi bisbol paling riuh dibanding bisbol di negara lain. Setiap klub biasanya mempunyai cheermaster (selebritas ,girl band, boy band, hingga penyanyi), yang bertanggung jawab meramaikan suasana pertandingan. Lewat cheermaster itu, para penonton akan dipandu untuk berjoget, bernyanyi, hingga menabuh drum agar semangat tim kesayangannya tak mengendur saat pertandingan.
Suatu kali, The New York Times bahkan pernah melaporkan bahwa suasan pertandingan bisbol di Korea Selatan yang sangat kontras dengan bisbol di Amerika. Kala itu, tuan rumah Lotte Giants sedang bertandingan melawan SK Wyverns. Pada inning kesembilan, Lotte masih tertinggal 6-10 dari Wyverns. Dalam situasi seperti itu, para penonton bisbol di Amerika biasanya akan mulai meninggalkan pertandingan, tapi penggemar Giants justru melakukan hal sebaliknya.
“Di Stadion Sajik, rumah Lotte Giants, drum masih bergemuruh, terompet plastik terus ditiup dan para penggemar tak berhenti bernyanyi, memberikan pujian dan sorakan sampai suara mereka serak.”
Dan untuk semua itu, bisbol Korea Selatan harus berterima kasih kepada Yang Joon-hyuk. Seorang pembangun kultur bisbol di Korea Selatan.
Yang Joon-hyuk mulai berpetualang di KBO League pada awal dekade 90an silam. Ia adalah pemain bisbol berbakat, penghancur rekor slugging (total base yang berhasil diraih dari sebuah hit), hingga mendapatkan julukan “Tuhan”. Dan setiap berhasil melakukan home run, ia akan melakukan sesuatu yang tak pernah dilihat oleh penggemar bisbol Korea sebelumnya: kedua tangannya diangkat tinggi-tinggi dan bat akan ia lempar ke udara sehingga berputar-putar sedemikian rupa.
Dalam dunia bisbol, perilaku Yang saat melempar bat dan membuatnya berputar-putar di udara itu disebut dengan dengan istilah bat flip. Sedangkan orang Korea meyebutnya sebagai ppa-dun, yang merupakan kombinasi dari kata “bat” dan “lemparan”.
Karena reputasi besar Joon-hyuk, gaya tersebut kemudian diikuti oleh pemain-pemain bisbol lainnya. Mina Kimes menceritakan kisah Yang Jun-hyuk itu dalam tulisannya yang berjudul "The Art of Letting Go". Selain penasaran, alasan Kimes pun dapat dimengerti: di Major League Bisbol (MLB) bat flip tabu untuk dilakukan. Jika seorang pemain bisbol di Amerika melakukannya, ia dianggap sedang berbuat kasar dan memancing permusuhan. Singkat kata, itu adalah sebuah tindakan yang dinilai tidak hormat terhadap pemain lawan.
Di Korea Selatan, bat flip dinilai sebaliknya. Menurut Dan Kurtz, pendiri situs penggemar baseball Korea mykbo.net, bat flip justru sering dinantikan oleh para penggemar bisbol di Korea Selatan. Menurutnya, Korea adalah sebuah negara yang tahu betul caranya berlaku sopan dan terhormat dan “sebuah bat flip bukan perilaku kurang ajar di Korea”. Ia lalu menambahkan, “bat flip hanya bagian dari permainan”.
Melalui mykbo.net, Kurtz merupakan salah satu orang yang membuat bat flip viral di Amerika. Pada tahun 23 September 2013, ia mengunggah video Choi Jun-seok, pemain Doosan Bears, saat melakukan bat flip. Meski mendapatkan tanggapan beragam, video itu sempat muncul dalam salah satu program ESPN. Sejak saat itu, bat flip yang dilakukan pemain-pemain Korea hampir selalu mendapatkan perhatian khusus dari media Amerika.
Yang menarik, Jun-seok mempunyai alasan menarik menyoal bat flip ikonik tersebut. “Pose itu terjadi secara alamiah, dan tangan saya tiba-tiba bergerak seperti itu," ujarnya. “Aku rasa, jika aku bermain di Amerika dan melakukan itu, karena itu dilakukan secara alamiah, orang-orang akan memahaminya.”
Cho Gye-hyun, mantan pitcher di KBO, juga menyebut bahwa bat flip adalah sebuah kebiasaan. “Mereka tidak mempunyai waktu untuk berpikir tentang bat flip; mereka hanya berpikir bagaimana caranya dapat memukul bola,” tuturnya.
Sejak Yang Joon-hyuk memulainya, bat flip memang tak bisa dipisahkan dari bisbol Korea. Bat flip menjadi sebuah seni sekaligus ciri khas. Sebuah home run harus dirayakan dan para penggemar bisbol Korea membutuhkan perayaan untuk terus bersorak di sepanjang pertandingan. Meski itu sebuah tindakan kecil, bat flip jelas-jelas memberikan pesan mendalam: ini adalah bisbol Korea Selatan, bukan bisbol Amerika maupun Jepang.
Kalau kata Kerry Maher, seorang Amerika yang menjadi penggemar berat Lotte Giants, bat flip adalah salah satu alasan mengapa ia menggemari baseball Korea.
“MLB seperti sebuah opera, sedangkan KBO seperti sebuah konser rock n roll!"
Baca juga artikel terkait BISBOL atau tulisan menarik lainnya Renalto Setiawan