Liverpool Memang Lebih Pantas Jadi Juara Liga Champions
Glenn Hoddle, Rio Ferdinand, Jammie Caragher, dan Gary Lineker tidak banyak berdebat ketika partai final Liga Champions antara Tottenham vs Liverpool di Stadion Wanda Metropolitano, Minggu (2/6/2019) dini hari memasuki jeda paruh waktu. Selama 10 menit, keempat komentator di BT Sport itu cuma bicara satu hal: pro-kontra tembakan penalti yang diberikan wasit Damir Skomina untuk Liverpool.
Bukan tidak menyimak, keempatnya tak bicara banyak karena memang hampir tidak ada peluang berarti dalam 45 menit pertama. Menurut hitung-hitungan Whoscored, hanya ada dua tembakan tepat sasaran yang semuanya diperoleh Liverpool.
Singkat kata, keunggulan Liverpool pada babak pertama murni karena keberuntungan: gol penalti Mohamed Salah.
Pada separuh awal babak kedua, keseruan pun tak kunjung datang. Dari menit 46 sampai 70, kedua kesebelasan tak menciptakan satu pun tembakan tepat sasaran.
Harapan sempat muncul sesudahnya. Pada 20 menit terakhir, Tottenham melepaskan delapan tembakan tepat sasaran yang sayang tak berarti apa-apa lantaran tak ada satu pun gol bersarang. Di sisi lain, Liverpool membalas dengan satu tembakan lewat kaki Divock Origi untuk mencetak gol tambahan.
The Reds unggul 2-0 hingga akhir dan keluar sebagai juara Liga Champions.
Terlepas dari keberhasilan Liverpool, satu pertanyaan besar tebersit: mengapa Tottenham gagal membuat kejutan, atau setidaknya memberi perlawanan berarti, sebagaimana yang mereka lakukan saat menghadapi Manchester City dan Ajax?
Blunder Pochettino
Blunder pelatih Mauricio Pochettino, yang terendus sejak awal laga, adalah salah satu penyebabnya.
Juru taktik asal Argentina itu sebenarnya memainkan formasi yang tepat. Tampil dengan skema 4-2-3-1 (dan 4-4-2 saat bertahan), Tottenham bermain relatif disiplin. Seolah belajar dari kekalahan atas Liverpool di EPL, Pochettino tidak lagi menginstruksikan dua fullback-nya naik bersamaan, sehingga bisa menghindari terisolaisnya bek tengah Toby Alderweireld dan Jan Vertonghen.
Akan tetapi, terlepas dari langkah tepat itu, Pochettino mengambil dua perjudian besar: langsung memainkan Harry Kane dan Harry Winks, dua pemain yang baru pulih dari cedera panjang sejak menit pertama.
Pochettino sempat marah ketika dikritik atas kebijakan ini.
"Anda hanya ingin menciptakan drama yang sebenarnya tidak ada. Itu [memainkan Kane dan Winks] adalah pilihan dan, buat saya setelah lama absen, Kane bermain dengan bugar. Dia tidak mencetak gol, itu biasa. Tapi keputusan saya, saya jamin, sangat didasari analisis atas berbagai informasi. Saya tak menyesal akan itu," tutur Pochettino kepada wartawan setelah pertandingan, dikutip dari The Times.
Pochettino barangkali memang punya pertimbangan yang tak bisa dimengerti orang-orang di luar staf kepelatihannya. Namun mengatakan tampilnya Kane dan Winks sejak menit pertama sebagai blunder punya dasar kuat.
90 menit penuh bermain, Kane seolah menyia-nyiakan aksi berani Danny Rose dan Son Heung-min sepanjang pertandingan. Kerap menyerang dari sayap kiri--posisi Rose dan Son--Kane nyaris tak terlihat memberi dukungan yang cukup.
Dia gagal menempatkan diri sebagai seorang target-man, sehingga Son serta Rose lebih banyak memaksakan diri melakukan penetrasi. Menurut data Whoscored Son melakukannya tiga kali, sementara Rose empat kali.
Kegagalan Kane juga terlihat dari serangan lain di sayap kanan. Beberapa kali fullback kanan Spurs, Kieran Trippier, mendapat momen kunci menguasai bola dari umpan-umpan panjang pemain tengah. Namun, momen-momen kunci itu acap tak berujung umpan silang karena Kane selalu gagal menempatkan diri di posisi menguntungkan.
Untuk kasus Winks, walau hanya bermain 66 menit, dia juga gagal berkontribusi terhadap tim. Saat para pemain belakang Spurs kesulitan membangun serangan karena pressing ketat Liverpool, Winks kerap terlambat turun.
Alhasil, arah serangan Spurs tidak terbangun dengan efisien. Waktu banyak terbuang untuk sekadar melepaskan diri dari tekanan lawan.
Mantan pemain MU yang juga seorang pandit di BT Sport, Rio Ferdinand, sepakat 100 persen bahwa memang Kane dan Winks tak banyak membantu timnya.
"Itu adalah perjudian besar, terlalu besar. Saya rasa dia bisa bermain, tapi seharusnya dari bench [sebagai pemain pengganti]," ucap Ferdinand.
"Tapi bagaimanapun dia adalah Harry Kane, selama dia bugar pelatih jelas akan memprioritaskannya," imbuhnya dengan nada sinis.
Liverpool Tahu Tujuan Pressing
Kegagalan Spurs menguasai ritme sepanjang dua per tiga awal laga bukan karena blunder Pochettino saja. Perlawanan Liverpool punya andil tidak kalah besar terhadap kegagalan Spurs.
The Reds barangkali tidak agresif menciptakan peluang seperti sebuah tim yang lapar gol. Namun mereka tetap beraksi sebagai tim yang cerdas--terlihat begitu mereka unggul cepat lewat tembakan penalti Mohamed Salah di menit pertama.
Setelah gol itu tercipta, pelatih Liverpool Jürgen Klopp menyadari dua hal. Pertama, Liverpool tak perlu ngotot membombardir gawang lawan karena toh sudah unggul. Kedua, Liverpool tidak boleh lengah menghadapi serangan Spurs meski sudah unggul.
Pada titik inilah Klopp mengambil keputusan cemerlang. Alih-alih melakukan pressing untuk mengacaukan pertahanan lawan, Klopp menginstruksikan para pemainnya untuk mem-pressing lawan dengan satu tujuan: mencegah Spurs bermain nyaman.
Karena tertinggal, Spurs jelas ingin mencetak gol sebanyak mungkin. Langkah ini akan lebih efektif dilakukan dengan umpan-umpan vertikal dan penetrasi. Pochettino tahu hal itu, namun Klopp juga tak kalah memahami dan menegasikannya.
Guna mencegah bek Spurs melakukan operan vertikal yang efektif, begitu kiper Hugo Lloris mengumpan bola ke salah satu bek, trisula penyerang Liverpool (Salah-Firmino-Mané) akan naik melakukan pressing dengan sejajar, diikuti Henderson, Wijnaldum, dan Fabinho yang berjaga mengamankan lini kedua.
Situasi ini bikin bek Spurs dipaksa mengirim bola ke samping.
Setelah skenario ini berhasil memaksa bola tiba di kaki fullback Spurs, para pemain Liverpool tidak berhenti mengintimidasi. Mereka akan memperluas jangkauan pressing untuk mencegah Spurs mengumpan ke depan atau melakukan switch-play.
Inilah penyebab mengapa sepanjang pertandingan Spurs banyak mengutak-atik bola di pertahanan sendiri. Mereka kebingungan karena begitu bola sampai ke kaki Danny Rose atau Kieran Trippier, opsi-opsi serangan mereka (switch-play maupun umpan vertikal) ditutup sangat rapat.
Alhasil, Spurs cuma punya opsi: mengembalikan bola ke belakang untuk mencari celah lain, atau melambungkan bola dengan umpan panjang.
Kecerdasan lain juga ditunjukkan Liverpool setiap Spurs sudah berhasil memompa bola mendekati lini ketiga.
Menurut hitung-hitungan Whoscored, musim ini 63 persen tembakan para pemain Tottenham dilepaskan dari sisi tengah. Angka ini sangat timpang dibandingkan tembakan dari sisi kiri (20 persen) atau sisi kanan (17 persen).
Klopp membacanya dengan baik. Dia lantas menginstruksikan para pemain tengah dan belakang untuk tak melepaskan penjagaan di sisi tengah. Buntutnya, Spurs yang selalu kesulitan menembak dari tepi lapangan pun kewalahan mengancam gawang kiper Alisson Becke--yang tampil prima--hingga 70 menit berlalu.
Adaptasi Pochettino Tak Bekerja
Disulitkan oleh pressing lawan sebenarnya bukan hal baru bagi Spurs. Mereka mengalami momen serupa pada leg kedua semifinal melawan Ajax. Saat itu, Spurs punya solusi dalam diri Fernando Llorente dan Lucas Moura. Masuknya Llorente yang punya kelebihan di duel udara bikin Spurs bermain direct dan menyulitkan Ajax dengan umpan-umpan lambung. Lucas Moura menyempurnakan pendekatan itu karena dia jadi sosok yang paling rajin memaksimalkan rebound.
Langkah serupa hendak ditempuh Pochettino saat sudah kehilangan akal menghadapi pressing Liverpool. Didasari keputusan Liverpool bermain lebih ke dalam akibat kelelahan, pada momen-momen sepertiga terakhir laga Pochettino memasukkan Llorente untuk merotasi Dele Alli dan Lucas Moura sebagai pengganti Harry Winks.
Kendati demikian, Pochettino harus gigit jari karena di saat bersamaan Liverpool punya pemain-pemain bertahan dengan atribut lebih baik ketimbang Ajax dalam berbagai jenis duel. Ketika berhadapan dengan bola udara, duet bek Liverpool Joel Matip dan Virgil van Dijk sukses bikin Spurs kelimpungan.
Peran tak kalah besar ditunjukkan oleh penjaga gawang Liverpool, Alisson Becker. Di menit 80, Lucas Moura nyaris mengulangi keajaibannya. Memaksimalkan rebound hasil sepakan Son, Moura melepaskan tendangan akurat dari jarak dekat.
Alisson, yang baru saja berjibaku menghentikan sepakan Son, langsung bangkit dan menghentikan aksi Moura. Gawang Liverpool selamat.
Momen penyelamatan Alisson tersebut dianggap sangat penting, setidaknya oleh Jürgen Klopp.
"Apa Anda pernah melihat tim seperti kami? Bertarung sampai akhir seperti tangki bensin yang tak pernah kering. Dan kami punya kiper yang membuat segala hal sulit terlihat mudah," kata Klopp setelah pertandingan, mengutip The Guardian.
Pujian Klopp tidak berlebihan. Karena peran vitalnya, Whoscored bahkan mengganjar Alisson dengan gelar pemain terbaik dengan rating 8,7/10. Meski sempat nganggur di menit-menit awal, sepanjang laga dia menyelamatkan gawang delapan kali.
Aksi Alisson menjinakkan tembakan Son dan Moura, disusul serangan mengejutkan Liverpool yang berujung gol pemain pengganti Divock Origi, membuktikan bahwa dalam berbagai aspek The Reds memang layak mengalahkan Spurs di final.
"Kami harus menjadikan kekalahan ini sebagai pelajaran, sebagaimana Liverpool belajar dari kekalahan final musim lalu [...] Selamat atas Liverpool karena mereka melakukan hal yang luar biasa musim ini," kata Pochettino mengakui kekalahannya.
Adegan Pochettino memeluk Klopp setelah wasit meniup peluit akhir laga seolah menutup episode pertarungan Tottenham dan Liverpool. Perjuangan Mohammed Salah dan kawan-kawan, yang musim lalu murung karena kekalahan tragis di Kiev, akhirnya terbayar lunas dengan trofi Liga Champions keenam.
Baca juga artikel terkait TOTTENHAM VS LIVERPOOL atau tulisan menarik lainnya Herdanang Ahmad Fauzan