Lord Didi Kempot Boleh Jadi Fana, tapi Air Matanya akan Abadi
Publik tentu tak pernah membayangkan bila nama Didi Kempot mendadak populer kembali beberapa waktu belakangan. Lini masa media sosial riuh memanggil sosoknya dan menyebutnya sebagai "Godfather of Broken Heart". Yang bikin heran, ada anak-anak muda di belakang fenomena ini. Mereka dipersatukan satu keinginan: merayakan patah hati dengan jatmika.
'Renaissance' Didi Kempot bermula pada awal Juni lalu. Waktu itu, ia tengah melangsungkan konser di Taman Balekambang, Surakarta. Tak dinyana, banyak anak muda di barisan penonton. Mereka bernyanyi berjamaah—meluapkan kesedihan dan betapa nelangsanya hidup—bersama sang idola yang masih tampil prima, seakan tak tergerus usia. Video anak-anak muda yang nggrantes ini pun seketika viral di media sosial.
Sejak itu, pembicaraan akan Didi Kempot seolah tak berhenti berkumandang di ruang daring. Warganet beramai-ramai membagikan petikan lirik lagu ciptaan Didi Kempot yang mampu menggambarkan kesedihan mereka. Ada yang berupaya tetap optimistis, ada pula yang pasrah. Yang pasti: air mata membasahi jiwa mereka.
Karena Patah Hati Memang Laku
Didi Kempot—atau Anda bisa memanggilnya ‘Lord Didi’—adalah penyanyi campursari asal Surakarta. Gagrak campursari, sebagaimana namanya, merupakan jenis musik yang menggabungkan banyak warna: Barat, Timur, tradisi lokal, hingga dangdut. Di scene ini, nama Didi Kempot sudah setara dengan legenda.Membicarakan campursari tanpa menyebut Didi Kempot bisa jadi adalah kejahatan luar biasa. Didi Kempot adalah campursari—vice versa.
Darah kesenian mengalir deras di lingkungan keluarga Didi Kempot. Ayahnya, Ranto Edi Gudel, adalah pelawak. Sementara sang kakak, Mamiek Prakoso, merupakan salah satu pilar kelompok dagelan Srimulat.
Pada pertengahan 1980-an, Didi Kempot memutuskan untuk terjun ke dunia musik. Ia mengawali langkahnya di jalanan, dari Yogyakarta sampai Jakarta, sebagai seorang pengamen. Namanya yang semula Didi Prasetyo pun berubah jadi “Didi Kempot”—merujuk pada singkatan Kelompok Penyanyi Trotorar.
Seiring waktu, Didi Kempot ingin menyeriusi karier bermusiknya. Ia lantas memilih campursari. Alasannya, Didi Kempot prihatin dengan sedikitnya anak-anak muda yang tertarik akan musik ini.
“Kayaknya di situ saya lebih nyaman. Di situ saya melihat, waktu itu [di campursari] ada almarhum Mas Manthous, kalau keroncong dulu ada Waljinah, Mus Mulyadi. Makin ke belakang, kok, anak-anak muda kurang tertarik ke situ. Akhirnya, saya mencoba membuat lagu yang sekiranya anak-anak muda mau menerima gitu,” katanya kepada Warning Magz pada 2017.
Debutnya di kancah campursari ditandai dengan rilisnya nomor “We Cen Yu” pada akhir 1980-an. Sementara kesuksesan besarnya lahir ketika balada “Stasiun Balapan” dirilis.
“[...] Dalam intervalnya di tengah tak kasih sentuhan gitar yang tententeng [berdendang], ada Spanish-nya dikit. Ternyata mereka tertarik, dalam arti, dipasarkan dalam bentuk CD, ya, laku habis,” kenang penyanyi yang mirip Bruno Mars ini.
Perlahan, Didi Kempot semakin populer di kancah campursari. Total, Didi Kempot telah membikin puluhan album dan ratusan lagu. Saking banyaknya, ia sendiri kadang lupa pernah menulisnya.
Lagu-lagu Didi Kempot berkisah tentang orang-orang yang diombang-ambingkan dan dihempaskan cinta. Tentang mereka yang nelangsa sehabis diputus pacar. Tentang mereka yang susah melupakan mantan. Tentang mereka yang tak mudah merelakan. Tentang mereka yang menunggu tanpa kepastian. Tentang mereka yang pada akhirnya bisa mengikhlaskan.
Lagu-lagunya pusan pesan sederhana: patah hati merupakan bagian dari siklus kehidupan dan tak ada salahnya dirayakan. Patah hati bukan sekadar derai air mata, tapi juga tentang bagaimana manusia bertahan dan berdiri tegak setelahnya.
Di nomor “Layang Kangen,” sebagai contoh, Didi Kempot mengajak pendengarnya untuk sabar menanti kedatangan seorang kekasih. Ia bernyanyi dengan lirih:
“Umpomo tanganku dadi suwiwi,
Iki ugo aku mesti enggal bali
Ning kepiye maneh mergo kahananku
Cah ayu entenono tekanku.”
Dalam bahasa Indonesia kira-kira seperti ini liriknya:
“Kalau saja tanganku adalah sayap
Aku juga akan cepat pulang,
Tapi bagaimana lagi karena keadaanku,
Cah ayu tunggu kedatanganku.”
Sedangkan di “Suket Teki” Didi Kempot berupaya realistis dan tak berharap bahwa segala kenangan indah yang sempat terjadi dapat terulang kembali.
“Aku tak sing ngalah
Trimo mundur timbang loro ati
Tak oyako wong kowe wis lali
Ora bakal bali.”
Atau, dalam bahasa Indonesia berbunyi:
“Aku saja yang mengalah,
Lebih baik mundur daripada sakit hati,
Aku kejar pun kamu sudah lupa,
Tidak akan kembali.”
Yang tragis mungkin terdapat di lagu bertajuk “Dalan Anyar”. Didi Kempot menyanyikan lagu yang berkisah tentang mantan kekasih yang sudah punya pasangan baru ini dengan begitu remuknya. Mendengarkannya bikin hati terasa sesak dan ngilu tak karuan.
“Kembang tebu sing kabur kanginan,
Saksi bisu sing dadi kenangan,
Prasetyamu kui mung kiasan,
Tresnamu saiki wis ilang,
Neng dalan anyar kowe karo sopo,
Aku ngerti dhewe neng ngarepe moto.”
Versi bahasa Indonesianya:
“Bunga tebu yang terbang terbawa angin,
Saksi bisu yang jadi kenangan,
Janjimu hanya kiasan,
Cintamu sekarang sudah hilang,
Di jalan baru itu kamu bersama siapa,
Aku tahu sendiri karena aku melihatnya.”
Setiap lagu Didi Kempot punya tingkat kegalauan yang luar biasa. Setiap kata adalah kesedihan, setiap bait adalah ratapan. Dunia Didi Kempot merupakan dunia yang diselimuti awan kelabu. Dan cinta tak ubahnya belati yang bertubi-tubi menusuk ulu hati.
Hal menarik lainnya dari lagu-lagu Didi Kempot ialah banyaknya tempat yang digunakan sebagai latar cerita. Ada Stasiun Balapan, Pantai Klayar, Terminal Tirtonadi, sampai Tanjung Emas. Semuanya punya kisah masing-masing yang secara garis besar dapat dirangkum dalam narasi: “We fall in love with people we can’t have.”
Internet dan Pencarian Sesuatu yang Baru
Narasi yang diangkat Didi Kempot dalam karyanya dianggap punya korelasi kuat dengan realitas percintaan yang dihadapi anak-anak muda masa kini.
Siapa yang tak pernah menangis semalaman karena ditinggal tiba-tiba? Siapa yang tak pernah merasakan susahnya move on? Dan siapa yang tak pernah hidup dalam rimba ketidakpastian?
Hampir semua anak muda pernah mengalaminya. Sebab itulah (lagu-lagu) Didi Kempot akan terus relevan.
Selain faktor kedekatan emosional, penyebab booming-nya Didi Kempot juga tak luput dari internet. Dengan internet, lagu-lagu Didi Kempot, yang sebelumnya terbatas peredarannya, kini menjadi lebih mudah diakses. Anda tinggal buka YouTube atau Spotify dan ketik “Didi Kempot” di kolom pencarian, maka lagu-lagu milik Didi Kempot akan bermunculan.
Kontribusi para influencer rupanya turut pula mengerek popularitas Didi Kempot di kalangan anak muda. Ghofar Hilman, misalnya, mengajak Didi Kempot untuk jadi bintang tamu acara #NGOBAM (Ngobrol Bareng Musisi) di akun YouTube-nya. Video ini ditonton lebih dari 800 ribu kali. Akun YouTube Ghofar Hilman sendiri punya jumlah subscriber sebanyak 464 ribu.
Di luar tiga faktor di atas, ada satu yang tak kalah penting: keinginan para penikmat musik untuk bernostalgia.
Simon Reynolds dalam bukunya berjudul Retromania: Pop Culture's Addiction to Its Own Past (2010) berpendapat bahwa pada dasarnya budaya populer dan musik senantiasa mendaur ulang masa lalu. Mereka menengok ke belakang, mencari artefak yang ada, kemudian membawa ke masa depan dalam bungkusan baru. Apa yang jadi mediumnya? Tentu saja internet.
Taufiq Rahman, redaktur politik The Jakarta Post sekaligus penulis Lokasi Tidak Ditemukan (2012) dan Pop Kosong Berbunyi Nyaring (2017), menyatakan contoh daur ulang tersebut bisa dilihat dari kehadiran Daft Punk pada satu dekade silam.
“Musik disko punya riwayat sebagai musik yang pernah dimaki-maki di AS pada era 1980-an. Namun, saat Daft Punk merilis Random Access Memories (2013), masyarakat justru menyambut dan jadi tren musik global,” katanya ketika dihubungi Tirto.
“Ini juga terjadi pada musik lain seperti hip hop dan post punk revival. Karena, pada dasarnya, produk budaya populer itu homogen dan enggak ada yang baru.”
Musik, menurut Taufiq, tak punya apa yang disebutnya sebagai tangibility kendati terus diproduksi dari masa ke masa. Inilah yang lantas membikin para pendengarnya tidak punya keterikatan terhadap pakem musik tertentu. Pendeknya, audiens musik sangat fleksibel dan bebas dalam menikmati musik.
Tapi, kasus Didi Kempot memang bukanlah yang pertama. Sebelum sosok Didi Kempot meledak, anak-anak muda lebih dulu merayakan nama-nama seperti Rhoma Irama, Nasida Ria, hingga NDX AKA. Ketiganya memainkan musik yang sebelumnya, mungkin, dipandang ‘norak’ bagi para generasi kiwari: dangdut dan kasidah. Dari ruang daring, perayaan terhadap musik-musik ini bahkan menjalar sampai panggung festival musik macam Synchronize Festival.
Tak hanya itu, keinginan anak-anak muda mereproduksi musik masa lalu dan yang berada di luar pakem pada umumnya juga muncul lewat kelompok Feel Koplo. Seperti namanya, kelompok ini memainkan lagu-lagu terkini yang dikemas dengan remix koplo khas Pantura maupun Jawa Timur. Feel Koplo membikin keriaan di panggung-panggung kecil yang pengap, membakar penonton dengan joget dan karaoke massal.
Namun demikian, menurut Idhar Resmadi, pengajar di Telkom University dan penulis Jurnalisme Musik dan Selingkar Wilayahnya (2019), booming Didi Kempot tak lebih dari gejala semata. Hal tersebut merupakan manifestasi dari rasa penasaran dan keinginan untuk mencari bentuk yang baru anak-anak muda era sekarang.
“Aku pikir ini cuma tren saja. Belum sampai yang menciptakan market sendiri. Anak-anak muda melakukannya karena dipicu rasa penasaran saja,” tegasnya.
Memang betul. Didi Kempot bisa jadi mungkin hanya sebatas tren. Tapi, patah hati dan tangis air mata yang mengucur deras dari sadboi dan sadgerls tetap akan abadi, bukan?
Baca juga artikel terkait DIDI KEMPOT atau tulisan menarik lainnya Faisal Irfani