"Lost in Translation": Kultus Film Kesendirian setelah 15 Tahun
“Apa yang dibisikkan Bill Murray ke kuping Scarlett Johannson?” tanya saya.
“Kan enggak dikasih tahu filmnya.”
“Iya. Itu aku tahu. Maksudnya, menurutmu teori yang paling laris apa?”
“Ha?”
“Mana mungkin fans Lost in Translation enggak pernah bikin teori tentang itu?”
“Oh,” ada jeda sebelum Senja menjawab panjang pertanyaan itu.
Senja adalah penggemar Lost in Translation kelas berat. Buatnya, Bill Murray dan Scarlett Johannson—yang jadi pemeran utama dalam film itu—semacam Romeo dan Juliet bagi penggemar Shakespeare, atau Cinta dan Rangga bagi remaja Indonesia awal 2000-an. Mungkin lebih. Kisah cinta Bob (yang diperankan Murray) dan Charlotte (yang diperankan Johannson) lebih pahit dari akhir kisah Romeo dan Juliet, sekaligus lebih manis daripada cinta pertama milik Cinta dan Rangga.
“Ini jenis film yang punya visual amat kuat. Tidak banjir dialog, bahkan punya banyak momen sepi—yang bikin kita larut dalam perenungan tokohnya. Bukan cuma terpapar emosi mereka,” kata Senja di lain waktu.
Saya langsung teringat puluhan adegan senyap itu. Baik Bob, apalagi Charlotte, memang punya banyak sekali adegan menatap jendela. Lost in Translation dibuka dengan tampang Bob yang menatap keluar jendela taksi, langsung menghadap gedung-gedung penuh pariwara khas Tokyo. Jendela-jendela itu adalah metafora dari masa kontemplatif kedua tokoh utamanya—metafora dari refleksi yang mereka lakukan di negeri sakura.
Bob adalah pria baya yang umurnya lebih tua tiga dekade dari Charlotte. Namun, keduanya tengah dilanda krisis hidup—Bob dilanda midlife crisis, sementara Charlotte dilanda quarter-life crisis.
Tampang Bob seringkali kelihatan lelah dan sedih, meski sesekali juga bisa melucu dengan humornya yang gelap. Tak jauh beda dari Charlotte, yang juga lebih sering terlihat linglung dan kesepian. Bob yang seorang artis senja pergi ke Jepang untuk syuting iklan wiski. Sementara Charlotte ikut suaminya, seorang fotografer yang sedang ada proyek motret.
Diam-diam, keduanya memelihara kesepian di hiruk-pikuk Tokyo.
Mereka sering berpapasan, tapi baru benar-benar “bertemu” di sepotong malam yang bikin susah tidur. Percakapan pertama keduanya terjadi di bar hotel—sebuah tempat yang cocok jadi simbol kesementaraan. Sebab semanis apa pun sebuah kamar di hotel, ia cuma jadi tempat singgah, tak pernah jadi rumah.
Bob dan Charlotte jadi akrab. Tapi, tak instan. Proses itu yang disebut Senja sebagai “bagian yang paling relate buatku, mungkin juga mereka—orang lain yang juga suka film ini.” Ada proses tarik-menarik duluan yang harus dilewati Bob dan Charlotte. Keduanya asing satu sama lain. Namun, Tokyo membuat dua orang asing ini tak cuma jadi saling menemani, tapi juga mengikat emosi. Kesendirian dalam menjadi orang asing yang akhirnya membuat mereka saling menemukan.
Ujungnya? Kita semua sudah tahu. Bob memang tak bisa bersama Charlotte.
Keduanya sempat bertukar ciuman, sebelum berpisah. Dalam adegan dramatis nan manis itu, Bob membisikkan sesuatu yang sampai sekarang masih jadi misteri. Ia memeluk Charlotte yang sedang mengisak, lalu berkata sesuatu yang sengaja tak direkam Sofia Coppola, sang sutradara.
“Yang dibisikkan Bill ke Scarlett tidak pernah sengaja diniatkan jadi sesuatu. Saya mau mencari tahu apa kira-kira yang bisa ditambahkan ke adegan itu, tapi pada akhirnya kami tidak pernah melakukan itu,” katanya pada IndieWire, akhir Agustus kemarin. Zach Sharf mewawancarai putri Francis Ford Coppola, sang pencipta trilogi The Godfather itu, dalam rangka merayakan satu setengah dasawarsa Lost in Translation. Film ini dirilis pada 12 September 2003, tepat hari ini 15 tahun lalu.
Sentuhan Personal Coppola
Lost in Translation adalah film panjang kedua Coppola setelah The Virgin Suicides (1999). Meski lahir dalam nama besar Coppola, ia memutuskan film keduanya diproduksi secara indie. Coppola pada mulanya menulis naskah Lost in Translation sebagai cerpen, yang kemudian dikembangkan selama enam bulan jadi 70 halaman naskah film. Draf itu benar-benar personal buatnya. Ia sendiri sejak awal memang sudah membayangkan Bill Murray sebagai Bob, dan Park Hyatt Tokyo Hotel sebagai lokasi pengambilan gambar.Saking personalnya, Coppola benar-benar detail mempersiapkan semua adegan. Ia ingin para penonton benar-benar merasakan hubungan Bob dan Charlotte seperti apa yang ia visikan. Bahkan ketika ayahnya menyarankan untuk mengambil semua gambar di Lost in Translation dengan digital, Sofia menolak. Ia lebih memilih mengambil gambar dengan film.
“Benar yang dijawab Sofia. Shoot on film bikin looks filmnya ‘melancholic, romantic feeling’, dan aku sepakat,” kata Senja.
“Selalu mengerikan untuk membuat sesuatu yang personal, karena kau meletakkan siapa dirimu sebenarnya di sana,” kata Sofia pada IndieWire.
Tapi, ia tak pernah menyangka bahwa film itu dapat banyak apresiasi. Dan punya basis penggemar yang besar. Secara angka, film indie yang dibikin dengan bujet 4 juta dolar AS ini berhasil meraup keuntungan sampai 119 juta dolar AS. Bahkan jadi satu-satunya karya Sofia yang pernah dapat Oscar.
Sampai sekarang, Sofia masih sering terkejut dengan reaksi para penggemar film ini. Mungkin ia juga kan terkejut jika bertemu Senja—yang baru berusia 8 ketika film itu dirilis. Saya sendiri masih 9 tahun waktu itu. Tentu saja kami berdua tidak kenal Bob dan Charlotte pada tahun yang sama ketika mereka muncul di bioskop.
Lost in Translation berhasil sampai ke generasi kami, tentu saja lewat cerita para penggemarnya yang terus abadi di sudut-sudut literasi dan internet.
Salah satu yang paling diingat dan dibicarakan dari film itu memanglah adegan terakhirnya. Dalam naskah aslinya, kalimat misterius yang dibisikkan Bob pada Charlotte adalah: “I know, I’m going to miss you too.” Tapi, Murray melakukan improvisasi, dan Coppola menyetujuinya.
“Untungnya, aku membuat film itu tanpa studio, jadi aku bisa membuatnya persis seperti bagaimana aku ingin membuatnya.”
Tentang ujung film yang misterius itu, Sofia bilang, “Biarkan itu di antara mereka saja. Kita cukup perlu tahu bahwa minggu itu berarti sesuatu buat mereka berdua dan itu memengaruhi mereka ketika kembali ke kehidupan masing-masing. Orang-orang selalu bertanya kepada saya apa yang dikatakan? Saya selalu menyukai jawaban Bill: bahwa itu di antara kekasih itu saja—jadi saya akan berhenti di situ.”
Saya jadi teringat jawaban Senja.
Katanya, “Bill, kira-kira bilang, apa yang diucapkan enggak penting. Justru begitu jadi lebih bagus sih. Biarkan jadi simbol kalau dua tokoh itu sudah sedekat itu, seintim itu: memiliki rahasia yang cuma mereka saja yang tahu.”
Baca juga artikel terkait FILM LEGENDARIS atau tulisan menarik lainnya Aulia Adam