Markonah, Ponari, Ratna Sarumpaet: Mati Ketawa Ala Indonesia
Ada apa dengan Indonesia hari ini? Pertanyaan ini disampaikan sejarawan Anhar Gongong ketika menyikapi pengakuan bohong Ratna Sarumpaet. Suara dia mendesah seperti resah. Apalagi ketika ditanya soal sejarah lucu yang sejenis di zaman lalu. Anhar saya ingatkan soal kisah Markonah dan Raja Idrus di era zaman Sukarno.
''Ya lucu memang. Tapi ada apa dengan yang kali ini?,'' tukar Anhar Gonggong.
Apa yang dia katakan memang ada benarnya. Kalau dideretkan kisah dan kehebohan yang kini menimpa Ratna Sarumpaet, maka itu tak beda dengan berbagai kisah serupa di zaman lampau. Jejaknya selalu saja ada, bahkan hadir di setiap era dan kekuasaan.
Baiklah kita buka kisah 'lucuan' tersebut satu persatu.Awalnyaa, di mulai nun di tahun 1950-an saat muncul kehebohan nasional ketika ada sepasang suami isteri di terima Presiden Sukarno di Istana Negara. Orang itu adalah sejoli yang mengaku sebagai Raja dan Ratu dari Anak Dalam Jambi: Raja Idrus dan Ratu Markonah. Dia berhasil masuk ke Istana atas saran seorang pejabat agar Bung Karno berkenan menemuinya. Saran ini sangat muluk yakni karena raja dan ratu ini punya kekuatan tertentu yang bisa membantu pembebasan Irian Barat.
Tentu saja Soekarno yang lagi punya obsesi mengusir Belanda di Irian Barat (Papua saat ini) menyambutnya dengan gembira. Media massa kala itu terkena eforia dan antusias menyambutnya. Dua koran kala itu, yakni Masa Marhaen dan Duta Masyarakat memajang foto sang raja dan ratu bersama Bung Karno di halaman depan. Saran dari seorang pejabat terbukti. Di foto yang ada di koran itu dipasang keterangan:Raja Idrus dan Ratu Markonah akan membantu Indonesia membebaskan Irian Barat. Apalagi foto itu menarik karena keduanya mengenakan kaca mata hitam.
Laksana air bah, keterpesonaan kepada sosok Raja Idrus dan Ratu Markonah melimpah ruah. Pasangan ini menjadii pesohor baru dadakan. Para pejabat antusias menyalami. publik pun ikut terkesima. Apalagi sosok Ratu Markonah lumayan cantik meski punya sedikit cacat di bagian mata.
Sosok pasangan ini laku keras bak pisang goreng. Jurnalis pin sibuk meliput dan publik di mana-mana mengajaknya berfoto. Gosip (kalau hari ini disebut dengan Hoaxs) pun menyebar. Ada berita dan desas-desus bahwa keduanya diberi uang saku lumayan gede, menginap gratis di hotel mewah, hingga makan 'Free' di restoran elit. Bahkan dikabarkan mereka dijamu bukan hanya sehari dua hari saja, tapi sampai berpekan-pekan lamanya. Keren sekali!
Celakanya, nasib mujur Raja Idrus dan Ratu Markonah kemudian terbongkar. Kala itu kedua sejoli ini tengah asyik berpesiar dan 'shoping' barang mewah dan cindera mata di sebuah pusat belanja di Jakarta. Tampaknya tanpa mereka sadari kini datang hari sial. Ini akibat publik mengenali sosoknya sebagai imbas mereka menjadi seorang pesohor dadakan. Ada seorang tukang becak yang mengenali Raja Idrus di pasar. Ia katakan, bahwa dia itu adalah temannya yang juga sama-sama penarik becak.
Celakanya lagi, apa yang dikatakan sang penarik becak soal asal-usul Raja Idrus terendus wartawan. Galibnya seorang jurnalis dia mencoba menelusuri kebenaran itu. Alhasil, setelah mengurai kabar kusut, jejak Raja Idrus diketahui. Dia ternyata memang seorang tukang becak dan sang permasurinya adalah seorang pelacur kelas teri. Dan si perempuan bukan dari suku Anak Dalam di Jambi, melainkan 'wong Tegal'.
Nama Markonah ini kemudian abadi sebagai sosok pejoratiff karena disangdingkan dengan sebutan mengolok lelaki masa kini kurang gaul: "mukidi'. Selain itu nama dan kisah Raja Udrus dan Ratu Markonah juga berjejak pada lagu penyanyi tersohor kala itu, Teti Kadi yang bertajuk: Raja Idrus.
Pada kisah lain, Anhar juga menceritakan kisah serupa yang terjadi di era Presiden Suharto. Kali ini terjadi di tahun 1970-an kala ada cerita tentang seorang perempuan asal Aceh yang sedang hamil tidak biasa. Mengapa? Kala itu tersiar kabar sang bayi yang masih dalam perut perempuan bernama Cut Zahara Fona bisa bicara. Tak tanggung-tanggung, bahkan si jabang bayi itu yang belum berada di dunia, bisa mengaji. Ajaib sekali.
Kisah ini juga tersebar luas ke publik. Masyarakat geger. Apalagi banyak orang yang bersaksi bila sudah mendengar langsung suara bayi itu ketika menempelkan telinganya ke perut Zahara. Lagi-lagi media masa saat itu ikuan heboh. Dia memuat aneka berita soal mendengarkan suara bayi diperut seorang ibu dengan perut dililit kain itu.
Kegemparan makin menjadi ketika pejabat resmi ikut-ikutan. Orang penting setingkat Menteri Luar Negeri Adam Malik ikut mengundang Zahara ke kantornya. Sikap ini malah diikuti koleganya, Menteri Agama Mochammad Dahlan. Dia bahkan memberi komentar fantastis. Katanya,"Imam Syafe'i pun selama tiga tahun di dalam perut ibunya." Rupanya ia menyamakan fenomena ajaib bayi yang ada di dalam perut Cut Zahara dengan bayi ulama besar Imam Syafi'i.
Kisah ini makin fantastis ketika gaungnya pun digosipkan diberitakan media internasional. Bumbu ceritanya bahkan dikatakan sampai ke Pakistan. Ada media menulis bila pemerintah Pakistan mengundang Cut Zahara dan suaminya piknik ke Istambul. Hebatnya lagi, media tersebut mengolahnya dengan tambahan ramalan bila sang bayi yang ada dalam perut Cut Zahara manakala lahir nanti akan menjadi sosok suci, yakni Imam Mahdi.
Cut Zahara Fona yang dihebohkan mengandung bayi yang sudah bisa mengaji meski masih di dalam perut.
Kabar riuh ini akhirnya masuk ke dalam Istana. Kala itu pejabat penting negara sekelas Sekdalopbang (Sekretaris Pengendalian Pembangunan), Bardosono, sampai tergerak membawa Cut Zahara bertemu Presiden Suharto. Bukan hanya itu sang Presiden pun benar-benar bertemu di ruang tunggu Bandara Kemayoran. Ibu Tien pun turut mendampinginya
Untunglah, Ibu Tien waspada. Rupanya ia tak gampang percaya seraya meminta yang kini sering dikatakan sebagai bukti forensik dengan meminta Cut Zahara di bawa ke RS Cipto Mangunkusumo. Tak ayal lagi, Cut Zahara diperiksa. Dan ternyata ditemukan sebuah tape recorder kecil yang dililitkan diperutnya. Rahasia bayi ajaib pun terbongkar.
Berita Terkait
- Antara Sabun dan Darah: Jejak Merah di Batavia dan Banten
- Agitasi 1925, Stalin: Jalan Kaum Merah Menuju Revolusi
- Misbah, Cokro, Muhammadiyah: Akhir Kaum Merah Sarekat Islam