icon-category Travel

Maskapai Asing Bukan Solusi Pangkas Harga Tiket Pesawat

  • 11 Jun 2019 WIB
Bagikan :

Persoalan tarif tiket pesawat mahal memasuki babak baru. Pemerintah memang telah berupaya mengatasi masalah tersebut dengan menurunkan tarif batas atas (TBA).

Tapi, jurus itu masih belum ampuh menurunkan harga tiket pesawat. Tak ingin kegagalan dalam menurunkan harga tiket pesawat tersebut terus berlanjut, Presiden Joko Widodo (Jokowi) melemparkan ide, yakni mengundang maskapai asing untuk masuk ke pasar penerbangan di Indonesia.

Tujuannya, menambah jumlah pemain agar tercipta persaingan tarif tiket pesawat yang lebih kompetitif dan terjangkau bagi masyarakat.  Namun, pengamat penerbangan Alvin Lie menilai gagasan itu bakal 'jauh panggang dari api'.

Bahkan menurutnya, kalau diteruskan wacana tersebut bisa menjadi bumerang suatu saat ini. Bagaimana bisa?

Alvin mengatakan mengundang maskapai asing agar tiket pesawat turun bukan jurus efektif. "Kenapa pemerintah setiap ada masalah, solusinya dengan asing? Apa benar nanti maskapai asing hanya bawa modal? Apa benar ada maskapai asing yang mau masuk?" ungkap Alvin kepada CNNIndonesia.com, Selasa (11/6).

Alvin mengakui dari sisi industri, sekilas mengundang asing memang bisa menambah jumlah pemain di industri ini dan memang diperlukan. Tapi selain penambahan, prospek pemain itu ke depan juga harus dijamin.

Jangan sampai, pemain baru sudah susah payah diundang, tapi pada akhirnya mereka justru gulung tikar karena penyelesaian masalah yang diambil pemerintah hanya jalan pintas saja. Di luar kelangsungan bisnis, ia juga ragu bila keberadaan maskapai asing bisa membuat industri pendukung dan penyerapan tenaga kerja di dunia penerbangan bisa tumbuh.

Ambil contoh berkaitan dengan penyerapan tenaga kerja. Memang, saat ini ada syarat soal komponen lokal sebesar 51 persen di dalam negeri pada tubuh maskapai asing. Tapi syarat tersebut tidak bisa menjamin 100 persen bahwa pilot dan awak kabin yang digunakan bakal 'made in Indonesia'.

[Gambas:Video CNN]

Begitu juga dengan pertumbuhan jasa pemeliharaan dan perbaikan (Maintenace, Repair, and Overhaul/MRO) pesawat di dalam negeri. Bukan tidak mungkin maskapai asing nanti akan lebih memilih menggunakan jasa MRO pada jaringan bisnisnya, walaupun mereka ikut 'bermain' di Indonesia.

Perusahaan akan tetap menjalankan usaha mereka demi efisiensi tinggi dan peningkatan laba besar. Padahal, tujuan akhir mengundang maskapai asing ke Indonesia adalah selain menciptakan persaingan sehat dan harga tiket pesawat yang kompetitif bagi masyarakat juga memberikan dampak ekonomi bagi dalam negeri.

Alvin juga ragu keberadaan maskapai asing bisa menurunkan harga tiket pesawat. Sebab, bukan tidak mungkin maskapai asing yang masuk nanti juga mengatrol tarif tiket yang tak jauh berbeda dengan yang ditawarkan maskapai nasional saat ini.

Sekalipun tarif tiket yang ditawarkan lebih murah, seperti PT Indonesia AirAsia, salah satu maskapai nasional yang berafiliasi asing, namun belum tentu bisa memenuhi ekspektasi harga di semua kalangan penumpang. Apalagi, kualitas yang ditawarkan memang jelas berbeda; menyasar layanan berbiaya rendah (Low Cost Carrier/LCC).

"AirAsia memang bisa, tapi itu karena bisnisnya LCC. Tapi coba lihat keuangan mereka, mereka juga rugi kok gitu-gitu," ucapnya.

Berdasarkan laporan keuangan 2018, maskapai yang berafiliasi dengan AirAsia Berhad, perusahaan penerbangan yang berkantor pusat di Kuala Lumpur, Malaysia itu membukukan rugi senilai Rp998 miliar. Kerugian itu sudah terjadi dalam beberapa tahun sejak mengudara di langit Indonesia.

Padahal, maskapai ber-tagline 'Now Everyone Can Fly' itu cukup digandrungi karena menawarkan biaya murah dan terbukti cukup efisien di kalangan industri. Hal ini lantaran AirAsia hanya fokus melayani penerbangan ke destinasi populer saja dengan jaminan tingkat keterisian alias okupansi penumpang lebih tinggi dibanding rute penerbangan perintis yang juga dijalankan maskapai nasional lain.

Kembali ke persoalan mengundang maskapai asing, menurutnya, sekalipun maskapai itu bisa menghadirkan tarif tiket murah bagi masyarakat, namun belum tentu akan berdampak baik bagi persaingan dengan maskapai nasional. Misalnya, asing bisa memberi tarif yang lebih murah, maka bukan tidak mungkin maskapai nasional ingin bersaing dengan turut memberi tarif rendah.

Padahal, di lain pihak tingkat keefisienan maskapai nasional belum tentu mumpuni. Pada akhirnya, ketika maskapai nasional hanya terbawa ekspektasi tiket murah dari pasar, namun tidak siap, maka bisa bangkrut juga. Setidaknya, kata Alvin, itu yang sudah terjadi pada puluhan maskapai nasional yang pernah ada di Tanah Air.

"Sebelum pemerintah dengan mudah mengundang asing, maka lebih baik pemerintah membedah dan introspeksi lagi seperti apa akar masalah industri ini di dalam negeri? Solusinya harus terstruktur, tidak bisa yang instan saja," katanya.

Berbeda dengan Alvin yang lebih pesimis dengan maskapai asing, Ekonom Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Mohammad Faisal masih melihat ada sisi baik dari gagasan tersebut. Ia memang tidak bisa menjamin apakah benar kehadiran maskapai asing di pasar penerbangan Indonesia bisa menghadirkan tarif tiket pesawat yang pas bagi seluruh pihak.

Tapi, keberadaan maskapai asing ia yakini bisa mewujudkan mimpi tersebut. Pasalnya, keberadaan maskapai asing diperkirakan akan bisa menciptakan efisiensi bisnis di dunia penerbangan.

Sebab, menurut Faisal, dalam menjalankan bisnisnya biasanya perusahaan asing akan berafiliasi dengan induknya di luar supaya lebih efisien. Begitu juga dengan jaringan bisnis lainnya, misalnya MRO. Bila hal itu dilakukan, biaya operasional maskapai bisa ditekan dan lebih efisien. 

"Hasilnya, bukan tidak mungkin memberikan harga yang lebih terjangkau kepada masyarakat. Meski dari sisi keamanan jangan sampai diabaikan," ujarnya.

Faisal juga mengatakan 'pancingan' maskapai asing, sejatinya bisa menjadi titik awal bagi pemerintah untuk benar-benar membangun industri penerbangan secara lebih menyeluruh. Maklum saja, undangan biasanya disertai dengan insentif, terlebih bagi pelaku usaha yang bisa membangun industri dari hulu ke hilir.

Pembenahan Struktural

Daripada mengundang maskapai asing, Alvin menilai lebih baik pemerintah mengatasi persoalan yang berbuntut pada tingginya tarif tiket pesawat. Upaya tersebut bisa dilakukan dengan pembenahan secara struktural.

Namun, menurutnya, pembenahan lebih baik menyasar ke maskapai nasional yang saat ini masih jatuh bangun bertahan di industri ini. Pembenahan bisa dilakukan dengan berikan insentif untuk pengembangan industri penerbangan di dalam negeri berupa pembebasan pajak atas penggunaan bahan bakar pesawat berjenis avtur.

Insentif juga perlu diberikan terkait bea masuk atas impor suku cadang pesawat. Alvin mengatakan selama ini sejumlah maskapai lebih memilih untuk menggunakan jasa MRO di negara tetangga, seperti Malaysia dan Singapura.

Sebab, maskapai tak perlu membayar pajak suku cadang atas pergantian yang dilakukan ketika proses MRO di luar negeri. Sekilas, ini memberikan dampak efisien kepada maskapai, namun masalah tersebut membuat MRO di dalam negeri jadi tidak bisa bersaing.

"Maka seharusnya, menteri perhubungan lebih aktif lobi menteri keuangan untuk meminta insentif perpajakan yang mendukung industri ini," tuturnya.

Selain insentif, Alvin mengatakan pemerintah juga perlu mengembangkan industri dari hulu ke hilir. Tujuannya, agar semua kebutuhan bisa dipenuhi di dalam negeri dengan harga yang terjangkau.

Bila komponen pembentuk biaya operasional bisa ditekan dan maskapai jadi lebih efisien, toh, bukan tidak mungkin tarif tiket pesawat bisa lebih terjangkau.

Pemerintah perlu meningkatkan kontrol terhadap industri penerbangan. Ia mencontohkan, misalnya pembelian unit pesawat jor-joran oleh Lion Air beberapa waktu lalu.

Menurutnya, pembelian pesawat yang tidak disertai dengan peningkatan permintaan (demand) dari masyarakat hanya membuat bisnis yang mubazir. Sebab, harga sewa pesawat tetap harus dibayarkan. Pengeluaran untuk MRO tetap harus dianggarkan.

Kemudian, pilot dan awak kabin yang akan bertugas, tetap dibayarkan gajinya, meski tidak mengudara. "Selama ini ada fungsi kontrol yang miss, seharusnya pemerintah lebih cermat sampai ke hal ini," terangnya.

Selain itu, pemerintah juga perlu memikirkan kembali pembangunan infrastruktur. Pembangunan harus disertai dengan perhitungan yang matang dan tak perlu memaksa diri untuk membangun bandara bila permintaan penerbangan di sebuah daerah tidak benar-benar tinggi dan menguntungkan.

Sebab, katanya, yang sudah-sudah, akibat pemerintah gencar membangun bandara, para maskapai yang 'kena getahnya'. Mereka diminta membuka rute penerbangan dari/ke bandara tersebut, padahal  pasarnya belum ramai.

Pemerintah juga perlu mendongrak daya beli masyarakat dengan kebijakan-kebijakan ekonomi menyeluruh di semua sektor. Menurutnya, bila daya beli masyarakat bisa ditumbuhkan, bukan tidak mungkin masyarakat bisa menerima penyesuaian tarif berbagai moda transportasi.

"Jangan sampai masyarakat kita memang hanya mampu untuk membayar ketika 'banting-banting harga' saja, tapi ternyata harga itu semu karena masih promosi seperti halnya ojek online," ungkapnya.

Senada, Faisal mengatakan pembenahan industri secara struktural tetap perlu dilakukan. Kuncinya, mau tidak mau memang harus lebih dulu melalui insentif. Misalnya, minimalisir pajak-pajak yang tidak perlu.

"Bisa juga berikan bantuan investasi melalui perizinan, jangan justru dihambat. Lalu, bisa dengan beri tingkat kredit yang lebih terjangkau untuk mendukung pembiayaan ketika mereka sedang sulit," ucapnya.

Kemudian, pemerintah tidak bisa bergantung pada pelaku pasar saat ini untuk melakukan pengembangan industri sendiri. Maka, pemerintah perlu ikut 'turun tangan', misalnya melalui kawasan industri yang sudah banyak dibangun, namun khususnya untuk pembangunan industri ini.

Berita Terkait

Biar gak ketinggalan informasi menarik lainnya, ikuti kami di channel Google News dan Whatsapp berikut ini.

Tags : Tiket pesawat 

Bantu kami agar dapat mengenal kalian lebih baik dengan mengisi survei di sini