Matinya Baobab, Pohon Kehidupan di Afrika
Rasa senang memenuhi hati Pangeran Cilik saat ia mendengar domba suka memakan semak. Ia berpikir binatang tersebut bakal turut gemar menyantap pohon baobab. Tapi, tokoh “aku” buru-buru menjelaskan bahwa hal itu tidak mungkin terjadi. Baobab bukanlah semak melainkan pohon sebesar gereja dan gerombolan gajah pun tidak akan mampu menghabiskan tanaman tersebut.
Didorong rasa penasaran, tokoh “aku” lalu bertanya mengapa Pangeran Cilik ingin dombanya memakan pohon baobab. Ia berkata ada banyak benih pohon baobab di tempat tinggalnya, yakni Asteroid B 612 Apabila dibiarkan tumbuh dan tak dicabut, benih pohon baobab bakal membesar dan menutupi seluruh planet. Akarnya akan melubangi tanah dan bila ukuran planet dan jumlah pohon tak seimbang maka ada kemungkinan Asteroid B 612 akan hancur.
“Itu masalah disiplin,” ujar Pangeran Cilik. “Pagi-pagi sehabis mandi, planetnya harus dibersihkan baik-baik. Begitu bisa membedakannya dengan mawar –yang mirip sekali dengan baobab kalau masih muda –kita mesti memaksa diri untuk mencabutnya dengan teratur. Itu pekerjaan yang sangat membosankan, tetapi sangat mudah.”
Seperti yang dilaporkan The New York Times, pohon baobab yang muncul dalam novel La Petit Prince atau Pangeran Cilik karya Antoine de Saint-Exupéry tersebut adalah perumpamaan Naziisme, ideologi resmi Nazi, partai fasis Jerman yang berkuasa antara 1933 sampai 1945 di bawah Adolf Hitler.
Lewat baobab, ia ingin menyampaikan pesan bahwa Naziisme tak tampak bahaya sampai ajaran tersebut dipraktikkan. Salah satu buah ajaran itu adalah invasi Jerman terhadap Perancis yang membuat de Saint-Exupéry harus minggat ke New York, Amerika Serikat.
Tak hanya di La Petit Prince, pohon baobab juga muncul di kisah dongeng, mitos, bahkan film pendek. Tapi tanaman ini tak cuma ada dalam cerita bagi masyarakat Afrika. Pohon baobab berbaur menjadi satu dengan kehidupan masyarakat dalam ritual keagamaan, pemakaman, perburuan, dan lain sebagainya.
Gerald E. Wickens dan Pat Lome dalam The Baobabs: Pachycauls of Africa, Madagascar and Australia (2008) mengatakan bahwa suku Wolof yang hidup di Senegal menggunakan bubuk pulp baobab, kacang tanah, pala, dan air gula untuk hidangan kala upacara pembaptisan. Sajian tersebut juga disantap oleh masyarakat muslim saat Ramadhan berakhir dan keluarga Katolik menjelang Paskah.
Dalam ritual pemakaman orang Serer, sebuah kelompok etnoreligius di Afrika Barat, pohon baobab digunakan sebagai tempat menggantung griots. Griots adalah orang yang menempati strata terbawah dan struktur sosial grup orang Serer. Mereka yang tergolong griots, misalnya musisi dan sejarawan, dilarang dimakamkan di tanah atau dilarung ke laut untuk menghindari gagal panen dan polusi air. Tapi, praktik ini hanya dilakukan oleh orang Serer yang masih menganut animisme.
Baobab memang memiliki banyak manfaat bagi masyarakat lokal. Daun dan buahnya bisa dipakai untuk bahan obat herbal dan dijadikan makanan dan minuman. Serat dari kulit pohon Baobab dapat digunakan untuk tali dan pakaian. Batangnya yang berongga pun difungsikan sebagai tempat cadangan air, penjara, tempat pemakaman, dan lain-lain.
Menurut Encyclopædia Britannica, baobab merupakan nama lain pohon dari marga (genus) Adansonia. Terdapat sembilan spesies baobab yang tersebar di beberapa tempat, yakni Adansonia grandidieri, Adansonia madagascariensis, Adansonia perrieri, Adansonia rubrostipa, Adansonia suarezensis, dan Adansonia Za (Madagaskar), Adansonia digitata dan Adansonia kilima (Afrika dan Semenanjung Arab), dan Adansonia gregorii (Australia bagian barat laut).
Baobab mempunyai batang yang bentuknya menyerupai drum dan dikenal memiliki umur panjang dan kegunaan di bidang etnobotani. Di Afrika, Adansonia digitata merupakan tanaman berbunga (angiospermae) tertua yang diketahui hingga saat ini. Serupa dengan spesies baobab lain, umur Adansonia digitata bisa mencapai 1.000 tahun lebih sehingga dijuluki “Tree of Life” atau “Pohon Kehidupan”. Diameter batang tanaman tersebut bisa mencapai sembilan meter dengan ketinggian 18 meter.
Karena besarnya manfaat baobab bagi masyarakat dan ilmu pengetahuan, kematian beberapa Adansonia di Afrika pun menarik perhatian publik. Berdasarkan penelitian yang dilakukan Adrian Patrut, dkk yang dirilis jurnal Nature Plants pada Juni lalu, sembilan dari 13 pohon tertua dan lima dari enam pohon baobab terbesar mati dalam 12 tahun terakhir. Ada pula baobab yang bagian pohonnya jatuh lalu mati.
Riset yang diketuai Adrian Patrut dari Babes-Bolyai University di Romania tersebut pada awalnya dilakukan untuk mengetahui beberapa aspek yang belum dipahami dari usia, pertumbuhan, dan struktur baobab asal Afrika. Mereka menggunakan pendekatan penanggalan radiokarbon (radiocarbon dating) untuk mengetahui usia material bahan organik sampai sekitar 60.000 tahun sebelum tahun 1950.
Sejak 2005 hingga 2017, mereka meneliti 60 pohon baobab tua dan besar yang ada di Afrika utara hingga selatan, pulau-pulau di sekitar benua tersebut, dan Adansonia di luar Afrika. Dari penelitian tersebut diketahui bahwa sembilan dari 13 pohon tertua dan lima dari enam pohon baobab terbesar mati sejak tahun 2005.
Semua baobab tersebut berada di Afrika bagian selatan, yakni Afrika Selatan (lima pohon), Namibia (empat pohon), Zimbabwe (tiga pohon), Botswana (1 pohon), Mozambique (1 pohon), dan Zambia (satu pohon). Negara-negara tersebut merupakan tempat di mana pohon Adansonia Afrika tertua dan terbesar tumbuh.
Salah satu pohon baobab yang menjadi sorotan dalam penelitian Adrian Patrut dkk adalah Sunland baobab. Tanaman tersebut terletak di Provinsi Limpopo, Afrika Selatan dan termasuk pohon yang kerap dipromosikan dan dikunjungi oleh wisatawan. Hal ini dikarenakan adanya Baobab Tree Bar, sebuah bar yang menempati lubang pada batang Adansonia Afrika yang telah berumur sekitar 1.700 tahun tersebut.
Sunland adalah pohon baobab Afrika terbesar sebab volume kayunya mencapai 501 m3. Tapi, satu dari batang besar yang membentuk dinding bagian dalam retak dan roboh pada Agustus 2016. Kini, lima batang raksasa Sunland telah roboh serta mati. Hanya setengah bagian pohon yang masih hidup.
Adrian Patrut dkk berkata bahwa apa yang terjadi pada pohon baobab di Afrika selama 12 tahun terakhir merupakan peristiwa yang belum pernah terjadi. Menurut mereka, kematian spesies Adansonia tersebut tidak disebabkan oleh epidemi tertentu. Di samping itu, terjadi pula peningkatan kematian yang cepat pada pohon baobab dewasa.
Adrian Patrut dkk menduga maraknya kematian Adansonia digitata disebabkan oleh perubahan iklim yang memengaruhi flora di Afrika bagian selatan. Mereka menegaskan penelitian lanjutan perlu dilakukan untuk membuktikan dugaan tersebut.
David Baum, ahli botani dari University of Wisconsin, tak menampik bahwa pohon baobab saat ini sedang menderita. Ia menyebut kejadian ini menyedihkan sebab tanaman tersebut mempunyai keistimewaan masing-masing. “Setiap pohon [baobab] ini unik dan spesial,” katanya kepada Washington Post. “Mereka telah telah jadi saksi banyak sejarah, lebih dari yang biasa kita bayangkan.”
Baca juga artikel terkait BAOBAB atau tulisan menarik lainnya Nindias Nur Khalika