Melalui Hip Hop Remaja Palestina Melawan Serdadu Israel
Para remaja usia 13-an itu tampak menggotong sepasang pengeras suara dan MP3 Players menyusur lorong sempit di antara kamp pengungsi Dheisheh yang penuh grafiti dan mural warga Palestina yang dibunuh tentara Israel.
Setelah tiba di sebuah bangunan yang nyaris hancur, kaum belia itu menghidupkan alat musik. Selanjutnya terdengar dentuman musik rap, hip hop dari MP3 Player.
Peristiwa itu terjadi 10 tahun silam, ketika lima remaja tersebut berkumpul di Bethelehem membentuk kelompok musik hip-hop. Grup musik ini sengaja didirikan sebagai wadah perjuangan melawan Israel.
Baca juga:
50 Anak Palestina Hidup dalam Penjara di Israel
Gara-gara Pengeras Suara, Imam Palestina Didenda Rp 2,6 Juta
Dilanda Kebakaran Hebat, Israel Terima Bantuan Palestina
Sekarang mereka menginjak usia 20 tahunan. Grup musik yang mereka dirikan selanjutnya tenar dengan sebutan Palestine Street terdiri dari Mohammed Azmi, Soud Hefawi, Diya Milhem, Hisham al-Laham dan Ahmad Ramadan.
Mereka tinggal di kawasan berpenduduk padat di kamp Dheishe. Daerah ini kerap menjadi kawasan konflik antara pejuang hak asasi manusia dengan pasukan Israel melawan pemuda Palestina.
Tak jauh dari rumah mereka, ada sebuah bangunan kumuh di luar rumah Azmi. Di gedung penuh sampah dan pecahan beling itulah mereka mulai memainkan rap sebagai alat perjuangan.
"Semula, warga di sini tidak suka karena musik kami dianggap seperti dentuman senjata," kata Hefawi kepada Al Jazeera.
Remaja itu menambahkan, "Namun lambat laun mereka bisa menerima karena kami menggunakan seni untuk membicarakan masalah kehidupan kita sehari-hari."
"Melalui rap kami bisa bicara mengenai rasa frustasi, harapan, dan melihat diri mereka melalui kata-kata kami."
Azmi menuturkan, pembentukan kelompok musik yang mereka dirikan untuk membantu para pemuda Palestina pada 2008. Saat itu, seorang rekan mereka Qusay Afandi tewas dibedil serdadu Israel.
"Kami menggunakan permainan seperti yang dimainkan oleh semua anak Palestina," kata Azmi kepada Al Jazeera.
Kini, hip hop yang mereka mainkan mulai dikenal di hampir seluruh wilayah Palestina, termasuk di daerah penduduk Tepi Barat dan Yerusalem Timur.
Musik mereka difokuskan untuk mengajarkan kepada anak-anak muda Palestina agar tidak frustasi. "Musik hip hop sebagai saluran kemarahan dan frustasi."
Selain mengajak kaum muda Palestina, pada 2013, Azmi dan Milohem bekerja sama dengan sebuah LSM menjadi penyelia musik hip hop di kamp pengungsi Dheisheh.
Mereka juga mengajarkan seni berekspresi dan kepada gadis-gadis muda Palestina dan mendorong para mojang itu berbagi pengalaman dengan gadis remaja lainnya di kamp pengungsi Palestina.
Sebelum mengenal hip hop, para gadis itu mengaku kepada Al Jazeera bahwa mereka sesungguhya pemalu, "Namun setelah mengenal musik ini semuanya berubah menjadi kegembiraan. Musik membantu kami menjadi terbuka."
"Setelah kami bisa bersuara melalui hip-hop, kami mulai mengekspresikan diri dan berbicara tentang pengalaman sehari-hari yang kita miliki dalam kamp," kata Sophie Aissa, 15 tahun, salah satu anggota musik rap kepada Al Jazeera.
"Namun, kami sebelumnya mendapatkan tentangan dari masyarakat karena kami perempuan," imbuhnya.
Sekarang hampir semua gadis Palestina mulai gandrung musik hip hop, termasuk Sireen Khaled, 16 tahun, Fatoom Shaheen, 15 tahun.
"Kami sengaja mendorong gadis muda Palestina percaya diri, dan mereka harus sanggup melakukan banyak hal tampa kecuali. Mereka bisa bermain musik rap," kata Azmi.
Kini gadis-gadis Palestina itu berhasil menelurkan sebuah album hip hop untuk pertama kalinya.
AL JAZEERA | CHOIRUL AMINUDDIN