Melihat Gunung Es Raksasa 1 Triliun Ton yang Lepas dari Antartika
Ditukip dari situs MIDAS Project, proyek untuk meneliti dampak pemanasan global terhadap beting es Larsen C di Antartika Barat, gunung es bernama A68 itu memiliki berat lebih dari 1 triliun ton dan luas sekitar 5.800 kilometer persegi.
Area tersebut lebih luas ketimbang ukuran banyak pulau di Indonesia, misalnya saja Pulau Bali yang berukuran 5.780 kilometer persegi, Pulau Lombok 4.725 kilometer persegi, Pulau Madura 4.250 kilometer persegi, dan pulau-pulau lain yang lebih kecil.
Bahkan, luas gunung es A68 itu juga lebih besar dari gabungan sejumlah negara di dunia. Negara-negara yang dikelilingi perairan seperti Singapura, Maladewa, dan Malta saja memiliki luas lebih kecil ketimbang gunung es itu, yakni masing-masing hanya sebesar 719 kilometer persegi, 316 kilometer persegi, dan 298 kilometer persegi.
Luas A68 juga tak jauh beda dengan luas negarnegara kepulauan lainnya, seperti Puerto Riko yang berukuran 9.104 kilometer persegi, Siprus 9.251 kilometer persegi, dan Jamaika 10.991 kilometer persegi.
Dengan berat lebih dari 1 triliun ton, A68 memiliki volume sekitar dua kali dari volume Danau Erie, salah satu danau terbesar di dunia. Maka tak heran jika A68 disebut-sebut sebagai salah satu bongkahan es terbesar yang pernah lepas dari Antartika--setidaknya dalam catatan sejarah berdasarkan rekaman yang dibuat manusia.
Proses ablasi atau lepasnya gunung es A68 dari beting es Larsen C terdeteksi oleh satelit Aqua MODIS milik NASA.
Pada tahun-tahun sebelumnya, peristiwa ablasi besar semacam ini juga pernah terjadi di Peninsula, Antartika. Peninsula, bagian paling utara dari benua Antartika, merupakan lokasi beting es Larsen C terletak.
Tahun 1995, beting es Larsen A lepas; disusul tahun 2002 beting es Larsen B terpisah secara tiba-tiba dari Peninsula. Menindaklanjuti kedua kejadian itulah sejumlah peneliti kemudian membentuk MIDAS Project untuk memantau beting es Larsen C.
Jadi, sejak jauh-jauh hari para ilmuwan sebenarnya telah memprediksi lepasnya bagian dari beting es Larsen C dari daratan Antartika.
Keretakan yang terjadi pada beting es Larsen C telah mereka pantau melalui Sentinel-1, satelit yang dibuat oleh Uni Eropa dan diluncurkan oleh European Space Agency (ESA) melalui program Copernicus--yang menurut ESA merupakan program observasi bumi paling ambisius yang pernah ada.
Makalah Brief Communication: Newly developing rift in Larsen C Ice Shelf presents significant risk to stability yang diterbitkan dalam jurnal The Cryosphere pada 15 Juni 2015 menyebutkan bahwa tanda pertama dari retakan yang meluas di Larsen C telah tampak pada 2010, dan terus berlanjut.
Sebuah foto retakan besar di Larsen C diperoleh para peneliti pada 10 November 2016 melalui Operation IceBridge--sebuah survei atas es kutub dari udara yang digagas NASA.
Perkembangan panjang retakan pada beting es Larsen C diketahui tampak begitu signifikan sejak awal tahun ini. Pada Januari, Mei, dan Juni 2017, para peneliti MIDAS Project sempat melaporkan kemajuan retakan di Larsen C yang meningkat hingga sepanjang lebih dari 200 kilometer dan hanya menyisakan jarak 4,5 kilometer lagi untuk terlepas.
Meski telah mengetahui perkembangan retakan tersebut, Profesor Adrian Luckman dari Swansea University yang memimpin MIDAS Project mengatakan, “Kami (...) terkejut dengan lama waktu retakan untuk mencapai bagian akhir bongkahan es sekian kilometer tersebut.”
Para peneliti tak menyangka gunung es A68 akan patah dan terpisah dari Larsen C secepat itu.
Menilik persitiwa-peristiwa sebelumnya, proses runtuhnya Larsen A dan B dikaitkan dengan pemanasan regional. Namun lepasnya gunung es A68 dari Larsen C, menurut para peneliti, terlalu sederhana jika dikaitkan dengan perubahan iklim.
Berdasarkan citra satelit, sejak 1980-an rekahan pada Larsen C telah terbentuk jelas dan tidak ada bukti langsung antara perkembangan rekahan itu dengan pemanasan atmosfer di dalam lapisan es, ataupun pemanasan laut yang tak mungkin menjadi sumber penyebab terjadinya penebalan pada sebagian besar lapisan es Larsen C.
Intinya, terlalu dini untuk menyalahkan perubahan iklim sebagai sebab peristiwa ablasi A68.
Dr. Martin O’Leary, seorang glasiologis di Swansea University yang juga anggota tim MIDAS Project, mengatakan, “Meskipun ini adalah peristiwa alamiah, dan kami tidak mengetahui adanya kaitan dengan perubahan iklim akibat ulah manusia, hal ini menunjukkan lapisan es (di dunia) berada dalam posisi yang sangat rentan.”
Profesor Adrian Luckman menjelaskan, “Pada bulan-bulan dan tahun-tahun berikutnya (sebelum A68 lepas), lapisan es itu bisa berangsur menebal kembali, atau mungkin mengalami kejadian ablasi lebih lanjut yang pada akhirnya dapat menyebabkan keruntuhan--pendapat dalam komunitas ilmiah terbagi-bagi (soal ini).”
Luckman menyatakan, gunung es yang terlepas dari Antartika ini merupakan salah satu yang terbesar yang pernah terekam, dan perkembangannya di masa depan sulit diprediksi.
“Gunung es ini mungkin akan tetap dalam satu kesatuan, tetapi cenderung pecah menjadi beberapa fragmen. Beberapa es itu mungkin akan tetap berada di daerah tersebut selama beberapa dekade ke depan, sementara bagian-bagian lain dari gunung es itu mungkin hanyut ke utara, ke perairan yang lebih hangat,” tutur Luckman.
Berdasarkan prediksi dari model yang dibuat oleh tim peneliti Luckman, kondisi gunung es A68 bakal menjadi kurang stabil. Namun keruntuhan terhadap lapisan es A68 diprediksi baru akan terjadi setelah bertahun-tahun atau berpuluh tahun lagi di masa depan.
“Kami akan terus memantau dampak kejadian ablasi beting es Larsen C dan nasib gunung es A68 yang telah terpisah ini,” ujar Luckman.