Home
/
News

Melunak Soal Arbitrase Freeport, Luhut: Kalau Ribut Semua Rugi

Melunak Soal Arbitrase Freeport, Luhut: Kalau Ribut Semua Rugi
Yura Syahrul06 March 2017
Bagikan :

Sikap Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman Luhut Binsar Pandjaitan berubah dan cenderung melunak terhadap kemungkinan rencana PT Freeport Indonesia menggugat Pemerintah Indonesia ke arbitrase internasional.  Alasannya, masalah tersebut hanya memicu keributan sehingga merugikan kedua belah pihak.

Salah satu persoalan terkait perubahan status Kontrak Karya (KK) Freeport menjadi Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) adalah kewajiban divestasi saham sebanyak 51 persen kepada pihak Indonesia. Hal itu tercantum dalam Peraturan Pemerintah Nomor 1 tahun 2017 yang terbit pada Januari lalu.

Luhut menekankan, kewajiban divestasi saham tersebut harus dilakukan oleh Freeport. Meskipun, hingga kini Freeport masih menolak menjalankan kewajiban itu. Karena itulah, dia meminta persoalan tersebut segera diselesaikan secara korporasi atau business to business dan tidak perlu melakukan upaya arbitrase.

"Saya pikir penyelesaiannya biarlah business to business, tidak perlu sampai ke yang lain," ujar Luhut di Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman, Jakarta, Senin (6/3).

(Baca: Hadapi Ancaman Arbitrase Freeport, Luhut: Masa Kita Diatur)

Namun, Luhut juga menegaskan, persoalan ini bukanlah akibat pemerintah melanggar kontrak karya Freeport. Ia memastikan, selama ini, pemerintah selalu menghormati kontrak yang dipegang oleh perusahaan asal Amerika Serikat tersebut. Sejak awal kontrak itu diteken, telah ada kewajiban Freeport untuk mendivestasikan sahamnya sebanyak 51 persen.

Berdasarkan pertimbangan itu, Luhut meminta polemik divestasi saham Freeport ini tidak perlu diramaikan. Ia optimistis pemerintah bersama Freeport akan segera menemukan jalan tengah sehingga tidak merugikan kedua belah pihak. "Kita tidak usah terlalu ramai. Kalau ribut, semua rugi tidak ada yang dapat untung," ujar Luhut.

Lebih lanjut, Luhut mengatakan, pemerintah tengah mencermati persoalan ini secara hati-hati. Pemerintah ingin mencari solusi saling untung alias win-win solution. Apalagi, setelah 50 tahun beroperasi di Indonesia, Freeport tetap harus melepaskan sebagian besar sahamnya kepada pihak Indonesia.

Pelepasan saham itu bisa dilakukan secara bertahap. "Karena divestasi sebesar 51 persen itu bukan dikerjakan dalam 3 tahun, tahapannya mungkin bisa 4 sampai 6 tahun," ujar Luhut. (Baca: Tantang Balik Freeport, Jonan: Mau Berbisnis atau Berperkara?)

Jika mengacu kepada pernyataan sebelumnya, sikap Luhut ini memang cenderung melunak terhadap Freeport. Pada Selasa dua pekan lalu (21/2), Luhut optimistis pemerintah akan memenangkan gugatan arbitrase jika diajukan oleh Freeport.

Bahkan, dia memprediksi, harga saham Freeport akan anjlok dan pemerintah bisa saja membeli mayoritas sahamnya dengan harga murah. "Banyak opsi begitu. Jangan dikira Indonesia bisa diatur-atur," ujarnya.

Optimisme itu bersandarkan kepada peraturan yang telah diberlakukan oleh pemerintah. "Kami tahu kan yang jelas undang-undang di kita, peraturan di kita, pengadilan di kita, masak tidak (menang)," ujar Luhut.  (Baca: Optimistis Menang Arbitrase, Luhut Sebut Freeport 'Kampungan')

Alasannya, Freeport sudah sekitar 50 tahun beroperasi di Indonesia. Jadi, perusahaan itu seharusnya menghormati dan menaati peraturan perundang-undangan yang berlaku di negara ini. Namun, menurut Luhut, kenyataannya saat ini Freeport belum bisa mematuhi aturan yang sudah ditetapkan pemerintah.

Ia juga menegaskan, jika Freeport tidak ingin mengubah status kontraknya menjadi IUPK maka pemerintah akan tetap menghormati KK yang masih berlaku hingga 2021. Namun, sesuai aturan, pemerintah tidak akan memberikan izin kepada Freeport untuk mengekspor hasil tambangnya.

Kalaupun Freeport tetap ngotot dan kalah di pengadilan arbitrase, Luhut secara tersirat menyatakan tidak akan memperpanjang kontrak pertambangannya di Indonesia. "Nanti (saham Freeport) bisa diambil pemerintah, bisa dengan menggandeng swasta," ujarnya.

Luhut pun yakin, jika Freeport hengkang dari Indonesia, akan ada banyak orang Indonesia yang sanggup mengelola tambangnya. Alasannya, saat ini pun, terdapat 500 lulusan Institut Teknologi Bandung (ITB) yang telah bekerja di Freeport.

Tags:
populerRelated Article