Menembus Atap Jawa di Mahameru
Di tahun 2015, saat saya masih sangat amatir dengan pengalaman naik gunung, saya punya cita-cita untuk mencapai puncak Mahameru, di Gunung Semeru. Alasannya sederhana, menurut saya gunung ini memiliki paket komplit untuk berbagi rasa bersama kawan perjalanan yang seru.
Selain dikenal dengan banyaknya pemandangan indah yang tidak biasa di setiap jalurnya, Semeru juga memiliki nilai sejarah baik di negeri sendiri atau pun di dunia pendakian. Seperti yang kita tahu, puncak Mahameru merupakan tempat kematian Soe Hok Gie, salah satu pendiri MAPALA UI yang juga seorang tokoh nasional. Semeru juga terkenal sebagai gunung yang cukup ekstrim karena rawan terjadi kecelakaan, seperti maraknya berita di media beberapa tahun terakhir ini, mulai dari kasus pendaki yang menghilang, cidera, hingga meregang nyawa.Adanya berita negatif tersebut sama sekali tidak pernah mengurangi niat saya untuk ke ‘puncak para dewa’ ini. Meski dalam istilah pendakian, kita seringkali mendengar “puncak itu bonus, pulang itu harus” karena prioritas dari apa yang kita lakukan dalam mendaki gunung adalah mengutamakan keselamatan, namun bagi saya pribadi kalimat tersebut memiliki makna yang luas dan masih dapat dimodifikasi karena motivasi setiap orang untuk mendaki gunung berbeda-beda.
Sama halnya seperti menjalani kehidupan sehari-hari, yang terpenting motivasi tersebut tidak merugikan pihak manapun. Jadi, menurut saya puncak itu bukan suatu bonus, melainkan sesuatu yang dapat diusahakan dan didoakan.
Terlebih lagi, ketika rencana saya pernah gagal untuk mendaki Semeru di bulan Mei tahun 2016 lalu. Rasanya saya semakin termotivasi untuk tidak menyia-nyiakan kesempatan ini yang kedua kalinya. Pada waktu itu, rasanya semua sudah tepat karena jadwal tanggal merah yang berturut-turut membuat saya hanya perlu cuti untuk tiga hari saja, tiket kereta sudah dibeli, itinerary dan list perlengkapan sudah tersusun rapi.
Namun, karena Semeru yang masih terkena ‘batuk’ akibat erupsi, akhirnya semua terasa gambling. Hingga akhirnya pembukaan jalur pendakian Semeru yang sudah resmi diumumkan. Sayangnya, dua dari empat kawan perjalanan saya harus mengundurkan diri, tepat tujuh hari sebelum keberangkatan. Saya pun harus mengikhlaskan keputusan ini karena kita tidak bisa memaksakan pergi bertiga saja dengan membawa logistik untuk empat hari.
Menunggu waktu yang tepat untuk kembali merencanakan sesuatu yang hampir terlaksana bukan hal yang mudah, karena dalam waktu satu tahun semua hal dapat berubah begitu saja. Sama seperti waktu awal saya membuka trip ke Semeru sebagai bentuk share cost, formasi tim sudah berubah beberapa kali sampai hari H. Di mana atas ijin Tuhan, akhirnya saya dapat merasakan pengalaman naik kereta Matarmaja pulang dan pergi.
Meskipun sebelum perjalanan, saya juga terus dibanjiri informasi bahwa Malang masih dalam keadaan hujan deras setiap harinya. Namun, dengan modal doa bahwa “Tuhan akan bersama para pendaki”, akhirnya sekarang saya dapat membagi pengalaman ini semua bagi kalian yang ingin melakukan persiapan yang akan dilakukan untuk menembus atap jawa di Mahameru.
Bukan hal yang mustahil jika semua pendaki bisa mencapai puncak tertinggi keempat di Indonesia ini, karena buktinya dua orang dari kawan perjalanan saya yang berjumlah enam orang, merupakan pendaki yang belum pernah punya pengalaman camping di gunung, apalagi mencapai puncak atau summit. Itu semua kembali lagi pada bagaimana kita melakukan persiapan dengan matang dan tentunya sekali lagi, atas ijin Tuhan.
Semeru, Gunung Milik Bersama
Tidak perlu jauh-jauh untuk melakukan research sampai ke Lumajang untuk memahami hal ini, karena ketika sudah mendengar gunung Semeru di media pun rasanya sudah tidak asing lagi. Apalagi setelah meledaknya jumlah peminat yang ingin ‘main’ ke sana akibat film 5cm ataupun agenda kepentingan update konten travelling di sosial media.
Maka dari itu, penting sekali untuk mengenali berbagai jenis medan, estimasi jumlah logistik perbekalan, baju hangat, hingga tata cara mengurus SIMAKSI (Surat Izin Masuk Ke Kawasan Konservasi) yang berlaku di Semeru karena banyaknya peminat membuat kebijakan di sana sering kali berubah. Khususnya jadwal buka dan tutup jalur pendakian yang biasanya dilakukan dari akhir tahun hingga sekitar bulan April atau Mei untuk konservasi alam.
Berdasarkan pengalaman terakhir saya yang mengambil cuti untuk ke Semeru di sekitar tanggal merah, jumlah pendaki biasanya akan benar-benar meningkat drastis hingga menimbulkan kemacetan di jalur untuk bergantian jalan naik dan turun.
Bayangkan, untuk gunung dengan trek sepanjang Semeru, berapa lama saya harus menunggu. Namun, karena saya dan tim berada di waktu yang cukup tepat, kami hanya merasakan macet saat di jalur turun menuju Ranu Pane, ya meskipun tetap terasa menyebalkan. Tapi yang jelas, harus pandai-pandai memilih jadwal pendakian karena hal ini akan berdampak pada saat melakukan summit ke Mahameru. Semakin banyak jumlah pendaki, semakin sulit dan rawan terjadi kecelakaan di trek tanpa vegetasi tersebut.
Menguji Suhu Tubuh di Ranu Pane
Waktu kedatangan di basecamp Ranu Pane memang berbeda-beda bagi setiap tim, namun alangkah baiknya jika kita meluangkan waktu untuk melakukan aklimatisasi semalam di sini, demi hasil summit ke Mahameru yang lebih maksimal.
Sensasi tidur dengan hanya bermodal matras dan sleeping bag di dalam pos Ranu Pane yang setengah terbuka akan terasa menjadi malam yang sangat panjang karena tubuh yang terbiasa dengan suhu 32°C harus berjuang melawan dinginnya semilir angin malam di dataran tinggi. Tapi percaya lah, bahwa hal ini akan sangat membantu kita terbiasa dengan iklim yang ada di Kalimati nanti.
Perlu diketahui bahwa untuk mendapatkan SIMAKSI menuju ke gerbang Semeru, kita wajib mengikuti briefing yang durasinya agak memakan waktu jika ingin melakukan pendakian di pagi hari.
Jadi, jika memungkinkan ikutilah briefing di waktu terdekat ketika sesampainya di Ranu Pane karena biasanya ranger baru akan memulainya kalau pendaki-pendaki sudah berkumpul dan terlihat ramai. Sehingga, keesokannya tim hanya tinggal membayar tiket SIMAKSI dan dapat memulai perjalanan dari Ranu Pane. Selain itu, materi yang disampaikan oleh ranger di sana juga ternyata sangat bermanfaat jika kita benar-benar menyimak karena jadi semakin mengenali medan tempur dengan baik.
Wahana Bermain Ranu Kumbolo
Seperti yang dikatakan pendaki lainnya, jalur naik hingga ke Ranu Kumbolo memang sangat bersahabat, bahkan bagi pemula sekalipun karena terbilang landai, dengan tekstur tanah yang cukup solid untuk dipijak. Tidak heran, jika banyak sekali wisatawan yang hanya ingin sekadar mampir pulang pergi atau camping hanya sampai Ranu Kumbolo.
Di kawasan ini juga, terkadang kita perlu banyak-banyak bersabar melihat beberapa pengunjung dengan manner penikmat alam suka menghiraukan peraturan-peraturan yang sudah dijelaskan saat briefing, misalnya tata cara mengambil air ataupun keberadaan sampah yang ditinggalkan begitu saja di area camping ground.
Keindahan Ranu Kumbolo akan lebih maksimal jika dilengkapi dengan jadwal kedatangan tim yang lebih awal karena jadi memiliki waktu yang lebih banyak untuk mengeksplor danau ini dari berbagai sisi.
Namun, jangan berkecil hati bagi tim yang datang agak terlambat karena selama matahari belum terbenam, angle terbaik Ranu Kumbolo bisa didapatkan dari pos empat. Di mana spot tersebut memberikan kemanjaan secara eksplisit, tempat penginapan terbaik untuk kita yang sudah tidak sabar untuk bersantai mendirikan tenda, makan, dan beristirahat untuk menghabiskan sisa waktu sebelum menuju ke arah Kalimati.
Mekarnya Oro-oro Ombo
Pemandangan menuju Kalimati akan sangat menghibur setelah melewati Tanjakan Cinta dari jalur Ranu Kumbolo karena jika berada di waktu yang tepat, kita akan disambut oleh sebuah ladang semak berwarna ungu yang sangat luas, disebut sebagai Oro-oro Ombo.
Fenomena mekarnya ladang dengan tumbuhan berwarna ungu bernama Verbena brasiliensis Vell atau biasa disebut verbena, hanya akan ditemukan setelah musim hujan. Biasanya memasuki musim kemarau, ladang ini kembali menjadi gersang dan berwarna cokelat.
Tumbuhan verbena ini termasuk salah satu jenis parasit sehingga ketika sedang tumbuh kita diperbolehkan untuk memetiknya untuk dibawa pulang ke rumah atau pun menjadi properti saat foto karena spot ini sangat instagram-able dan tidak akan ditemukan di gunung lainnya. Berbeda jenisnya dengan tumbuhan edelweis yang bisa ditemukan di gunung lainnya dan tidak boleh dipetik karena dapat menyebabkan kerusakan eksosistem.
Bonus Tambahan Menuju Kalimati
Jika pernah mendaki beberapa gunung yang ada di Jawa Tengah ataupun Jawa Barat dengan ketinggian lebih dari 2500 meter di atas permukaan laut, tentu jalur menuju Kalimati ini akan menjadi jalur yang paling menyenangkan. Setelah puas panas-panasan melewati Oro-oro Ombo, kita akan menemukan warung yang menjual semangka dan beberapa jenis minuman.
Di sini juga kita akan memasuki kawasan Cemoro Kandang, yang sesuai dengan namanya yaitu merupakan kandang pepohonan Cemara. Udara di sini cukup sejuk, rasanya mirip seperti sedang bermain di hutan-hutan pinus yang hits, meski treknya sedikit menanjak. Tapi percaya lah, menanjak di sini tidak akan membuat betis terasa pedih seperti di jalur Linggasana, Gunung Ciremai.
Hanya perlu sedikit kesabaran untuk melewati Cemoro Kandang karena setelah itu kita akan bertemu dengan pos Jambangan. Di mana terdapat area sabana yang tidak begitu luas namun dilengkapi trek yang mendatar, sambil sesekali memasuki area pepohonan dan kembali bertemu sabana, sampai akhirnya memasuki lagi area vegetasi pepohonan dengan trek yang terus menurun sampai akhirnya tiba di Kalimati.
Di tempat ini lah kalian sebaiknya mulai mengumpulkan energi untuk summit dengan tidur lebih awal agar bisa memulai perjalanan dari jam 12 malam. Tidak akan ada yang tahu, apa yang akan terjadi saat summit. Maka, semakin awal untuk tiba di puncak Mahameru, akan semakin baik karena mulai jam 9 pagi, Mahameru biasanya mulai mengeluarkan gas beracun.
Menuju Puncak Para Dewa
Sebelum memulai summit ada baiknya kita mengisi energi dengan makanan hangat yang ringan namun mengandung karbohidrat, seperti cream soup dan roti. Efeknya akan terasa saat berada di perjalanan, tubuh jadi tidak merasa kelaparan dan tentunya akan lebih kuat untuk menahan dingin.
Diawali dengan trek yang masih dikelilingi pepohonan hingga Arcopodo, perjalanan menuju Mahameru akan terasa ringan dan fokus. Setibanya kita di batas vegetasi yang hanya beralas kerikil dan bebatuan lainnya, kita akan merasa seperti sedang melakukan pilgrim di atas awan karena perjalanan ini hanya akan terjadi dan berhasil jika diiringi oleh niat, tekad, dan doa yang kuat selama kaki melangkah.
Godaan untuk duduk beristirahat dan sekadar minum memang acapkali terjadi. Namun, saya pribadi tidak tertarik untuk beristirahat lama-lama, selain karena tubuh akan kedinginan, saya juga tidak tahu caranya untuk berdiri di tempat yang memiliki kemiringan hingga 70 derajat itu. Namun, banyak sekali ditemukan pendaki-pendaki yang terlena untuk beristirahat hingga akhirnya terlelap di jalur.
Hal ini sangat berbahaya dan seharusnya tidak boleh sampai terjadi karena benar, dapat memakan korban. Jadi, suatu ketika saya sedang menanjak, tiba-tiba dari atas terdengar orang-orang yang berteriak “Batu… Batu…” dan teriakan ini harus dilanjutkan sampai bawah untuk dihindari oleh pendaki-daki lain. Batu di sini bisa sebesar tas daypack 25 liter, yang tergelincir akibat pendaki yang menginjaknya sehingga terlepas dari pijakan sebelumnya.
Jika tidak ada yang berhasil menghentikan batu akan mengenai pendaki di bawah, apalagi pendaki yang tidak tahu kalau ada batu dari atas yang tergelincir. Korban yang terkena batu ini adalah pendaki yang memang sedang tertidur. Bersyukur, dia masih hidup meskipun beberapa tulangnya patah dan baru tiba dievakuasi ke Ranu Pane dua hari kemudian.
Seperti itu trek menuju Mahameru, yang paling membahayakan nyawa karena medan terjal dan bebatuannya memang akan selalu jadi pertimbangan untuk melakukan summit. Namun, sudut puncaknya yang masih dapat dipantau oleh mata yang membuat kita terus semangat untuk berjuang. Berbeda dengan puncak Rinjani, seakan kita akan segera tiba, namun nyatanya masih banyak tanjakan berkelok yang menunggu.
Kesabaran selangkah demi selangkah yang diuji, akhirnya mulai berubah menjadi sumber pemacu saat fajar terbit, di mana kita masih juga belum sampai puncak. Namun, percayalah, setibanya di Mahameru, semua usaha dan perjuangan akan terbayar lunas.
Pemandangan langit biru yang tak terbatas, lautan awan, komplek Bromo Tengger Semeru yang terlihat komplit, dan masih banyak lagi hal-hal yang sebaiknya disaksikan oleh mata sendiri akan menjadi saksi yang tidak bisa ditangkap oleh kamera karena setiap gunung pasti memiliki sisi ‘for our eyes only’.
Di momen itu saya mengucap rasa syukur yang sebesar-besarnya, karena apa yang saya dambakan mulai dari puncak Mahameru yang cerah dengan trek yang bersahabat, pulang dalam keadaan selamat, bertemu dengan Oro-oro Ombo yang mekar, dan masih banyak lagi, akhirnya dapat terkabul di tahun ini.
Perjalanan yang tertunda sejak bulan Mei di tahun 2016 memberikan saya pesan, “everything happens for a reason”. Mungkin jika saya ke Semeru tahun lalu, pengalaman seluruhnya tidak akan sebaik ini, misalnya karena jumlah pendaki yang membludak di puncak karena Semeru yang baru dibuka.
Maka dari itu, kegagalan jangan pernah membuat kita berhenti untuk bermimpi, karena jika kita masih mau mencobanya lebih baik di waktu selanjutnya, segala sesuatu menjadi tidak ada yang mustahil. Jadi, prinsip saya kepada puncak apapun itu bukan hanya soal mengharapkan bonus, karena bonus tidak akan datang begitu saja pada orang yang tidak berusaha.
Baca juga artikel:
Petualangan di Nepal (1): Tiba di Kathmandu
Petualangan di Nepal (2): Berburu Berkat Kumari
TEKS: DIGGA HILLARY
FOTO: DIGGA HILLARY