Mengapa Dunia Menggilai Kesatria Perempuan Nan Seksi?
Ketika film Wonder Woman dirilis pada Juni 2017, film itu langsung masuk daftar film laris lain yang sama-sama terinspirasi dari cerita komik, misalnya Batman, Superman, Spiderman, dan X-Men.
Tapi alasannya bukan hanya karena di situ ada Gal Gadot yang mengayun-ayunkan pedang, mengenakan korset logam dan sepatu bot selutut.
Wonder Woman telah lama laris-manis. Karakter ini diciptakan oleh psikolog William Moulton Marston, dan filmnya mengikuti sebagian alur cerita utama yang dikembangkan dalam komik.
Wonder Woman seorang kesatria perempuan super yang bernama Diana, putri Amazon, yang dilatih menjadi seorang pejuang tangguh. Ketika seorang pilot Amerika, Steve Trevor, terdampar di pantai di pulau terpencil tempat Diana tinggal dan menceritakan konflik masif yang terjadi di mana-mana, Diana pun ingin meninggalkan rumah untuk menghentikan ancaman perang tersebut.
Meski Wonder Woman digambarkan sebagai ikon feminis pada 1940-an, ia juga karakter yang sangat menarik secara seksual.
Kita hanya bisa penasaran mengapa ada hubungan khayali antara perang dan seksualitas perempuan. Yang jelas, Wonder Woman bukanlah satu-satunya kesatria seksi nan garang. Sepanjang sejarah, berbagai peradaban di seluruh dunia telah membayangkan dan memuja femme fatale, dari kucing pembunuh, dewi sensual, hingga penjelajah gua yang lancang.
“Perempuan menakjubkan” dari Sumeria
Pada 3000 SM, di kota kuno Sumeria bernama Uruk di Mesopotamia, raja-raja pertama dalam sejarah manusia memerintah di bagian selatan Irak modern. Mereka dilindungi oleh Ishtar, seorang mahadewi perang dan cinta, yang kerap diasosiasikan dengan singa.
Ishtar akan menguak musuh para raja dan menemani para raja ke medan perang. Dikisahkan, ia bertarung bak singa betina yang tengah melindungi anak-anaknya (dalam hal ini, orang-orang Sumeria). Seperti Wonder Woman, tugas suci Ishtar adalah melindungi dunia.
Ishtar juga bisa jadi sensual. Bukan hanya memuja sang dewi, para raja Uruk mengaku sebagai kekasih Ishtar. Menurut himne kerajaan di masa itu, raja akan memasuki tempat tidur Ishtar dan “menyuburkan rahim sang dewi”.
Bagi seorang raja, memiliki dukungan militer dan seks dari seorang dewi adalah bermanfaat bagi agenda politiknya, melegitimasi rezimnya dan membuatnya menjadi pahlawan yang istimewa di mata rakyat.
Dalam film Wonder Woman, peran ini jatuh ke tangan pilot Amerika.
Referensi untuk dewi yang bercinta juga ditemukan pada rakyat Palestina kuno, Babilonia, meski akademisi tidak bisa menegaskan apa yang sebenarnya terjadi dalam kuil-kuil itu.
Gadis-gadis kucing dari Sekhmet
Apa yang lebih seksi daripada perempuan yang berkuasa? Menjinakkannya, tentu saja.
Kebudayaan Mesir kuno memiliki dewi yang paling ditakuti bernama Sekhmet. Seperti Ishtar, ia memiliki dua sisi—binatang buas dan teman yang penuh kasih sayang.
Sekhmet kerap digambarkan sebagai singa betina yang garang, pembantai musuh-musuh Firaun. Tapi terkadang, dia bisa berubah bentuk menjadi kucing imut bernama Bastet.
Dan di masa modern, kucing masih menjadi simbol seksualitas perempuan.
Catwoman, yang lahir beberapa bulan sebelum Wonder Woman, merupakan avatar perempuan kucing paling kontemporer. Dengan lekuk tubuhnya, dan keinginan seksual untuk dikekang (bondage fetish), Catwoman selalu amat sangat menarik secara seksual. Beberapa kritik menyesalkan bahwa aset terbesar Catwoman justru seksualitasnya—bukan kecerdasan.
Amazon, mimpi para pelaut yang kesepian
Kesatria perempuan dengan bawaan seksual juga ditemukan pada kebudayaan Yunani kuno. Mitos mereka tentang Amazon bercerita tentang kerajaan Mediterania yang para perempuannya bertarung dan memerintah, sedangkan laki-laki diserahi tugas-tugas domestik. Komik Wonder Woman ciptaan Marston merapalkan kota Amazon, Themiscyra, dan nama ratu mereka, Hippolyta.
Marston membumbui cerita Amazon kunonya dengan detail dari legenda perempuan Lemnos, di laut Aegea, dan mengadopsi ide pulau terpencil sebagai rumah Wonder Woman.
Berdasarkan cerita Yunani, perempuan Lemnos telah memberontak dan membantai semua laki-laki di pulau tersebut, baik yang tua maupun muda. Karena terpaksa hidup selibat, para perempuan ini pun sangat gembira bila pelaut secara tak terduga berlabuh di pantai mereka.
Mereka menyerang Argonaut, tim pahlawan mitologis yang cantik dan terkenal yang mencakup Herkules dan Theseus, memaksa mereka ikut pesta seks yang berlangsung lama.
Tema perempuan yang haus seks tapi tidak suka terikat adalah fantasi favorit laki-laki lainnya, yang menawarkan kepuasan khayali akan skenario seksual yang mungkin sulit diwujudkan dalam kehidupan nyata.
Pada akhir abad ke-20, datanglah Lara Croft untuk memperbaharui gagasan soal Amazon dan perempuan Lemnos. Croft, seorang arkeolog-petualang dari Inggris yang mulanya merupakan karakter video game Tomb Rider tahun 1990-an, adalah gadis impian kenyataan maya (virtual reality) yang sempurna. Dia mahir beladiri, jago menggunakan senjata dan sangat cerdas.
Tambah lagi, ia selalu membuat laki-laki berhasrat lebih. Dijelmakan di layar lebar pada 2001 oleh aktris Amerika Angelina Jolie, Croft sering memberikan tanggapan dingin bagi rekan lelakinya. Sekuel terakhir yang dibintangi Alicia Vikander terus menampilkan Croft sebagai simbol seks sembari memperkuat kualitas feminisnya.
Perempuan dan senjata, fantasi lengkap?
Film Wonder Woman yang baru tampaknya telah memilih aktris dengan hati-hati, tak sekadar mementingkan wajah cantik dan tubuh yang luar biasa. Gal Gadot memiliki keduanya, tapi ia juga sangat menyerupai kesatria perempuan dalam berbagai hal.
Pemegang gelar Miss Israel pada 2004, Gadot pernah melatih olahraga untuk pasukan militer Israel. Pada sebuah wawancara dengan majalah Fashion di Agustus 2015 sang aktris, yang saat itu berusia 30, menegaskan bahwa pengalaman militernya mempersiapkan dirinya dengan baik untuk karier di Hollywood.
Baik di depan layar maupun di belakang, hubungan kuno antara femininitas, daya tarik seksual dan militer, tampaknya masih berjalan kuat hingga sekarang. Seegala hal dari Wonder Woman dan akun Instagram milik tentara-model amatir Maria Donmark hingga kebangkitan baru sub-genre pejuang perempuan dalam sinema Asia dan, tentunya, katalog senjata Amerika, menegaskan fantasi maskulin lama yang berhubungan dengan wajah cantik dan senjata.
Film Wonder Woman menyalurkan semua sejarah ini. Usaha budaya pop unuk menunjukkan pahlawan perempuan sebagai feminis tidak bisa menghilangkan fantasi seksual global selama ribuan tahun.
Dan film itu terbukti jadi box office.
Artikel ini sebelumnya diterbitkan oleh The Conversation.