Home
/
Technology

Mengapa Go-Jek Tumbuh Subur di Indonesia, Tapi akan Mati di Amerika

Mengapa Go-Jek Tumbuh Subur di Indonesia, Tapi akan Mati di Amerika

Ahmad Zaenudin09 April 2018
Bagikan :

Pada 2006, Nadiem Makarim pulang ke Indonesia, setelah menyelesaikan studi di Brown University, Amerika Serikat—salah satu kampus tempat ia menimba ilmu selain Harvard Business School. Ia memutuskan bergabung dengan McKinsey, firma konsultasi global.

Dari kisah yang diunggah blog resmi Harvard Business School, Nadiem lebih suka menggunakan ojek daripada menggunakan mobil operasional perusahaan. Efisiensi waktu jadi alasan Nadiem. Namun, sering berinteraksi dengan tukang ojek, ia sadar para tukang ojek bekerja tidak efisien.

“Tujuh puluh persen waktu kerja mereka hanya berdiam diri,” katanya. 

Muncul sebuah ide: membuka layanan call center untuk memanggil tukang ojek. Pada 12 Oktober 2010, ide itu mulai diwujudkan dalam bentuk startup bernama Go-Jek. Di masa awal, Go-Jek hanya punya 20 driver atau pengemudi ojek.

“Saya mulai memasarkan (Go-Jek) hanya pada teman dan keluarga, dan pada dasarnya hanya tumbuh dari sana, secara organik, sangat lambat,” kata Nadiem pada Tech in Asia.

Kini, Go-Jek berkembang pesat dan jadi satu dari empat startup unicorn asal Indonesia. Go-Jek mengklaim kini punya lebih dari satu juta driver. Dengan total investasi yang diterima mencapai angka $2,1 miliar.


Dalam ajang Indonesia Summit 2018 yang digagas The Economist, Nadiem tak mau jumawa. Secara tersirat, kesuksesan Go-Jek terbantu oleh iklim startup dan regulasi di Indonesia.

“Kalau Go-Jek didirikan di San Francisco, pasti mati (karena regulasi) dalam enam bulan,” kata Nadiem.

Nadiem, tidak merinci mengapa startup semacam Go-Jek akan mati dalam enam bulan bila didirikan di AS. Namun, salah satu alasan yang bisa menjadi sebabnya karena Amerika Serikat punya aturan yang ketat soal sepeda motor, salah satunya ihwal asuransi yang berat.

Di negeri Paman Sam itu, asuransi sepeda motor harganya bisa $200 hingga $500, tergantung pada tipe motor hingga kelakuan sang pengemudi.

Selain mahalnya asuransi, publik AS juga tidak terlalu dekat dengan sepeda motor. Kendaraan roda dua ini dianggap sebagai jenis kendaraan tidak aman. Salah satu pertanyaan yang terpampang di Quora sempat muncul “Why do Americans think that riding motorcycles is risky?”

Traffic Safety Facts yang dirilis National Highway Traffic Safety Administration (NHTSA) mencatat sepeda motor memang penyumbang 14 persen kematian dari total kecelakaan lalu lintas di AS (2015). Padahal, populasi sepeda motor di AS terbilang sedikit. Jumlah sepeda motor yang teregistrasi di AS cenderung stagnan jumlahnya 7-8 juta unit selama 2006-2015.

Orang Amerika memang lebih melekat pada kendaraan roda empat atau mobil daripada sepeda motor. Survei yang dilakukan oleh perusahaan riset Pew Research pada 2015 lalu menunjukkan, 88 persen orang Amerika mengaku memiliki mobil di rumah mereka, hanya 14 persen yang mengaku punya sepeda motor.

Kondisi berkebalikan dengan kepemilikan orang-orang di Asia Tenggara, seperti Indonesia dan Malaysia terhadap sepeda motor yang masing-masing mencapai 85 dan 83 persen.



Amerika juga ketat dalam hal emisi kendaraan sepeda motor tanpa kecuali roda dua. Di California khususnya, negara bagian ini juga ketat mengatur jalur lalu lintas soal sepeda motor untuk menekan kecelakaan.

Bisa dibilang Amerika, bukan habitat untuk tumbuh kembang startup ride-sharing berbasis roda dua. Sedangkan untuk roda empat, justru sebaliknya seperti kehadiran Uber di AS yang berkembang.

Itu baru aspek aturan soal kendaraan, belum lagi aspek soal ketenagakerjaan. Di Indonesia khususnya, sektor informal jumlahnya besar dan menjadi celah sebagai peluang berkembangnya kegiatan usaha bekerja sebagai penyedia jasa ojek.

Merujuk data yang dirilis Bank Dunia, pada 2016 di Indonesia, dari keseluruhan pekerja non-sektor pertanian, 84,3 persen merupakan pekerja sektor informal. Dari sumber yang sama, tidak tersedia soal persentase pekerja sektor informal di AS. 


Karakter pekerja sektor informal adalah kegiatannya tidak berbadan hukum. Bisnis ride-sharing seperti Go-Jek yang mengusung konsep kemitraan seolah seperti botol bertemu tutupnya. Pada Agustus 2016 lalu, tercatat ada 6,02 juta pekerja di sektor informal di Indonesia.

Dari angka itu, Go-Jek menyerap 200 ribu pekerja, atau 2,87 persen. Setahun berselang angkanya meningkat. Di Agustus 2017 ada 5,84 juta pekerja di sektor informal. Go-Jek menyerap 250 ribu orang dalam konteks sebagai mitra.

Pola bisnis Go-Jek yang mengandalkan atau ekosistem pekerja-pekerja sektor informal pun terjadi pada Bukalapak, startup berlabel unicorn yang didirikan Achmad Zaky.

Zaky, dalam acara Indonesia Summit 2018 menyatakan bahwa platform jual-belinya mayoritas dihuni oleh pelaku UKM, terutama individu-individu rumah tangga. Ia mengklaim ada 3 juta pelaku UKM yang memanfaatkan Bukalapak untuk berjualan secara online.

“Kebanyakan (dari 3 juta) itu merupakan kaum perempuan [...] mereka menghasilkan penghasilan lebih banyak dari para suaminya,” kata Zaky.

Infograik Startup Mancanegara
Preview


Iklim Startup

“Ada berapa startup mati oleh (regulasi) pemerintah?” tanya Nadiem saat menjawab seorang peserta Indonesia Summit 2018, soal hubungan antara regulasi dan teknologi yang mendisrupsi.

“Saya belum pernah lihat (startup yang mati karena regulasi),” tegas Nadiem.

Pertanyaan dan jawaban Nadiem memang cukup beralasan. Indonesia sebagai negara yang cukup banyak memberi ruang hidup bagi startup, meski di sisi lain regulasi yang ada memang seringkali kalah cepat dengan keberadaan startup yang sering membawa inovasi baru.

Regulator, khususnya pemerintah sering tergagap-gagap dengan kondisi yang ada, misalnya soal tarif ride-sharing, pajak e-commerce, status pekerja ojek online dan lain-lain.

Iklim startup di Indonesia cukup baik. Salah satu indikatornya dari jumlahnya. Startup Ranking mencatat, ada 1.754 startup di Indonesia. Angka tersebut menempatkan Indonesia di posisi ke-4 sebagai negara dengan jumlah startup terbanyak. Di posisi pertama ada AS dengan 28.930 startup, yang disusul oleh India sebanyak 4.842 startup, dan Inggris 3.001 startup.

Sayangnya, meskipun punya banyak startup, Indonesia tidak terpilih sebagai tempat terbaik startup lahir. Laporan berjudul “The Startup Economy Ranking 2017” yang digagas Startup Genome, Silicon Valley didaulat sebagai tempat paling top bagi startup. Posisi kedua diduduki New York. Secara berurutan ada London, Beijing, dan Boston, Jakarta tak ada dalam daftar.

Alasan mengapa banyak startup lahir di Indonesia karena regulasi yang masih banyak bolong. Di Indonesia, regulasi soal startup yang telah terbit belum banyak, antara lain hanya regulasi fintech dan transportasi (khususnya taksi) online. Di bidang fintech ada Peraturan Bank Indonesia Nomor 19/12/PBI/2017 tentang Penyelenggaraan Teknologi Finansial.



Peraturan Anggota Dewan Gubernur Nomor 19/14/PADG/2017 tentang Ruang Uji Terbatas Teknologi Finansial, Peraturan Anggota Dewan Gubernur Nomor 19/15/PADG/2017 tentang Tata Cara Pendaftaran, Penyampaian Informasi, dan Pemantauan Penyelenggaraan Teknologi Finansial.

Aturan yang dikeluarkan BI itu, menyusul aturan OJK. Pada akhir 2016 OJK mengeluarkan Peraturan Otoritas jasa keuangan Nomor 77/POJK.01/2016 tentang layanan Pinjam Meminjam Berbasis Teknologi Informasi. Ini sebagai aturan main bisnis pinjam meminjam uang menggunakan teknologi digital.

Sedangkan untuk transportasi online pemerintah punya Peraturan Menteri Perhubungan (Permenhub) No. 108 tahun 2017 tentang Penyelenggaraan Angkutan orang dengan Kendaraan Bermotor Umum Tidak Dalam Trayek yang mengatur angkutan sewa khusus (ASK). Keberadaan aturan punya efek lebih jelas dalam mengatur keberadaan startup.

Di sisi lain beberapa startup yang masih dalam zona abu-abu misalnya layanan ojek online, seperti Grab, Go-Jek, atau Uber masih bisa beroperasi. Bitcoin yang dilarang sebagai alat transaksi oleh Bank Indonesia, nyatanya masih memberi ruang hidup bagi Bitcoin.co.id tetap ada, karena memposisikan sebagai emas digital, bukan alat transaksi. 



Startup akan terus bermunculan dengan segala bentuknya, hanya persoalan bagaimana pemerintah mengikutinya dengan kecepatan payung hukum yang seringkali kedodoran. Namun, di luar soal payung hukum, tak bisa dipungkiri startup, terutama yang masih bermasalah soal aturan seperti ojek online telah berkontribusi pada penciptaan lapangan kerja.

“Opini publik menang [...] yang banyak menghasilkan lapangan pekerjaan, tidak bisa dihentikan,” kata Nadiem.
Baca juga artikel terkait GO-JEK atau tulisan menarik lainnya Ahmad Zaenudin

populerRelated Article