Home
/
News

Mengapa Praktik Prostitusi Subur di Kalibata City?

Mengapa Praktik Prostitusi Subur di Kalibata City?
Adi Briantika & Larasati Ayuningrum09 August 2018
Bagikan :

Direktorat Reserse Kriminal Umum (Ditreskrimum) Polda Metro Jaya kembali mengungkap praktik prostitusi di apartemen Kalibata City, Jakarta Selatan. Polisi menduga lima dari 18 tower apartemen menjadi tempat untuk menjalankan bisnis esek-esek tersebut.

Wakil Direktur Reserse Kriminal Umum Polda Metro Jaya AKBP Ade Ary mengatakan, transaksi prostitusi di Kalibata City ini biasa dilakukan melalui aplikasi chat. RM (25) dan TM (25) sebagai penyedia apartemen bekerja sama dengan S (24) yang berperan sebagai muncikari. S bertugas melakukan komunikasi kepada calon pelanggan.

“Dia [S] orang terdepan yang melakukan komunikasi dengan calon pelanggan. Metodenya menggunakan aplikasi chat Beetalk dan We Chat," kata Ade di Polda Metro Jaya, Jakarta, Rabu (8/8/2018).  

Bukan hanya kali ini saja polisi melakukan penggerebekan dan penangkapan germo serta pekerja seks komersial di Kalibata City. Sebelumnya, Polda Metro Jaya juga menggerebek unit kamar di Tower H di Lantai 8 dan di Tower J Lantai 5 pada 24 April 2015. Polisi menemukan bukti bahwa dua kamar itu menjadi tempat prostitusi yang dilakukan secara online.

Dalam penggerebekan itu pula, polisi menangkap seorang muncikari serta mengamankan seorang korban anak berusia 14 tahun dan dua lainnya berumur 16-18 tahun. Kemudian pada 2016, polisi kembali membongkar praktik prostitusi di Kalibata City dan menangkap seorang germo berinisial N alias S dalam kasus ini.

Sayangnya, meski sudah berulang kali para pelaku prostitusi dicokok polisi, mereka tetap tidak kapok. Hal ini memunculkan pertanyaan: mengapa praktik prostitusi justru semakin subur di apartemen tersebut?


Kriminolog dari Universitas Indonesia (UI) Josias Simon mengatakan salah satu sebabnya adalah mudahnya masyarakat untuk menyewa dan mengakses apartemen ini. Akibatnya, bisnis esek-esek di apartemen tersebut tetap jalan meskipun seringkali polisi membongkar praktik bisnis haram itu.

“Apartemen menjadi tempat sewa, siapa pun yang membayar [sewa] ya bisa gunakan itu,” kata Simon saat dihubungi Tirto, Rabu malam (8/8/2018).

Menurut Simon, apartemen sebagai hunian masyarakat seharusnya ‘bersih’ dari tindak prostitusi. Akan tetapi, bila yang terjadi justru sebaliknya, apalagi para penghuni bahkan pengelola apartemen meraup keuntungan dari bisnis prostitusi itu, praktik itu sulit dihilangkan.

“Pengelola jangan hanya menjalankan bisnis apartemen, tapi juga memikirkan dampak dari prostitusi itu,” kata Simon.

Simon menilai, kemudahan untuk mengakses dan mendapatkan kamar bagi pelanggan ketimbang hotel menjadi salah satu penyebab suburnya praktik prostitusi di apartemen ini. Apalagi, kata Simon, para tamu tidak perlu memberikan KTP sebagai bukti diri dan jaminan peminjaman kamar.

“[...] Mudahnya akses keluar-masuk dan serah-terima kunci unit apartemen juga menyebabkan bisnis ini mengakar di Kalibata City,” kata dia.

“Ada yang memanfaatkan situasi, di mana yang dewasa saja bisa, kenapa yang anak tidak?” kata Simon menambahkan.

Karena itu, kata Simon, masyarakat, penghuni, pengelola, serta aparat keamanan wajib bekerja sama untuk menghilangkan praktik prostitusi di lingkungan apartemen itu. Praktik tersebut bisa mempengaruhi citra apartemen.

“Kalau dampak [dari prostitusi] itu semakin besar, maka apartemen akan hilang sendiri [tidak laku lagi]” kata dia.



Hal senada diungkapkan Elisabeth Koesrini (45 tahun), salah satu penghuni di apartemen Kalibata City. Menurut dia, praktik prostitusi marak terjadi di apartemen itu karena sistem pengawasan yang kurang dari pengelola Kalibata City.

“Untuk mengatasi praktik prostitusi warga telah membentuk sistem RT/RW di kawasan tersebut sejak 2015. Namun, hingga saat ini sistem tersebut belum berlaku di Kalibata City,” kata Elisabeth kepada Tirto.

Menurut Elisabeth, sistem RT/RW yang berusaha dibentuk oleh warga pada 2015 sempat diprotes pengelola Kalibata City. Akibatnya, kata dia, pihak kelurahan dan Biro Tapem DKI menjadi ragu-ragu untuk mengesahkan RT yang sudah terpilih dari warga sejak 2015.

“Padahal ini adalah hak warga,” kata dia.

Menurut Elisabeth, penggerebekan praktik prostitusi di apartemen ibarat mencabut jamur di musim hujan, karena tetap saja terulang. Salah satu penyebabnya, kata dia, pengelola hanya menyediakan papan neonbox, selebaran di mading, dan spanduk yang berisi peringatan atas bahaya narkoba dan prostitusi. Sistem pengawasan tidak dijalankan dengan baik.

“Pemerintah harus segera mengambil tindakan kepada pengelola dan mengakomodir kepentingan warga. Jika terus berlarut, patut dipertanyakan,” kata dia.
Baca juga artikel terkait PROSTITUSI atau tulisan menarik lainnya Adi Briantika

populerRelated Article