Mengapa Sebaiknya Kominfo Tak Perlu Batasi Medsos seperti 22 Mei?
Kementerian Komunikasi dan Informartika (Kominfo) akhirnya melakukan normalisasi pada Instagram, Facebook, dan WhatsApp. Ketiga platform media sosial (medsos) itu awalnya dibatasi dalam mengunggah gambar dan video, bahkan berkirim pesan akibat demonstrasi pada 22 Mei 2019.
“Proses normalisasi sudah dijalankan. Semoga 1-2 jam ini sudah normal semua,” kata Direktur Jenderal Aplikasi Informatika Kementerian Kominfo, Semuel Abrijani Pangerapan saat dikonfirmasi reporter Tirto, Sabtu siang (25/5/2019).
Semuel tidak menjelaskan lebih lanjut soal alasan pencabutan batasan itu. Namun, seperti yang diucapkan Semuel, sejak Sabtu sore sejumlah media sosial yang dibatasi kembali normal.
Namun, tindakan Kementerian Kominfo yang sudah kadung membatasi penggunaan media sosial sejak 22 hingga 25 Mei tetap menuai kritik. Sebab, pembatasan itu justru merugikan masyarakat secara luas, alih-alih bisa mencegah hoaks seperti yang diiginkan pemerintah.
Kepala Divisi Akses Atas Informasi Southeast Asia Freedom of Expression Network (SAFEnet) Unggul Sagena menilai pembatasan bukanlah sesuatu yang efektif untuk dilakukan. Masyarakat seharusnya terbuka terhadap segala informasi.
Menurut Unggul, jika maksud pemerintah mencegah agar massa tidak menyebarkan informasi yang bisa menambah parah kerusuhan, maka hal itu sebenarnya sia-sia belaka. Sebab, dalam waktu beberapa jam saja, mereka sudah mempunyai saluran lain untuk berkomunikasi menyebar gambar dan video.
Pernyataan Unggul benar adanya. Selain bisa menggunakan telegram, penyebaran informasi juga bisa digunakan melalui Virtual Private Network (VPN). Sehingga, kata Unggul, apa yang dilakukan pemerintah hanya mempersulit masyarakat sipil daripada massa yang berdemonstrasi.
“Karena kalau orang mau membuat rusuh, menyebar apa pun, ada saja salurannya,” kata Unggul saat dihubungi reporter Tirto.
Jadi Propaganda Pemerintah hingga Pebisnis Rugi
Unggul menilai, apa yang dilakukan pemerintah itu malah bisa mengesankan sebagai bagian dari bentuk pemerintahan otoriter karena informasi hanya bisa tersebar dari media --yang juga tidak bebas memberitakan karena ada intimidasi aparat--, serta dari pemerintah sendiri.
Di sisi lain, meski masyarakat mendapatkan pembatasan, tapi akun resmi Instagram Divisi Humas Polri misalnya, terus mengunggah dan mengglorifikasi kinerja Polri dalam demonstrasi. Masyarakat menjadi sulit mendapat cerita utuh karena masyarakat sulit mengakses informasi alternatif.
“Jadi terkesan otoriter karena informasi jadi dimonopoli,” kata Unggul.
Unggul pun meminta agar pemerintah bisa segera mencari cara lain yang lebih efektif. Salah satunya, misalnya, penyebar informasi hoaks yang ditangkap, bukan membatasi publik mendapatkan informasi alternatif melalui media sosial.
Selain tertutupnya informasi, para pelaku bisnis online yang biasa menawarkan dagangan di media sosial juga menjadi terhambat. Unggul menilai, pemerintah seharusnya mengumumkan kapan pemblokiran selesai sejak awal, atau menyediakan sarana lain sementara agar pebisnis tidak merugi.
“Kalau ini, kan, dari awal tidak ada. Dibatasi saja,” kata Unggul.
Lagi pula, kata Unggul, seharusnya pemerintah mempertimbangkan pemblokiran tidak merata kepada Instagram atau Facebook. Unggul merasa ajakan ikut demonstrasi justru menyebar lebih banyak lewat grup WhatsApp karena lebih tertutup.
Jika memang masih ada yang berusaha menyebar lewat Instagram atau Facebook secara terbuka dan melanggar aturan, kata dia, semestinya polisi tinggal menindak tegas.
“Diproses hukum saja. Tidak usah diblokir," tegas Unggul.
Hal senada diungkapkan Ketua Masyarakat Anti-Fitnah Indonesia (Mafindo) Septiaji Eko Nugroho. Ia menilai apa yang dilakukan pemerintah dengan cara membatasi akses media sosial adalah "menekan tombol darurat."
Eko menilai hal ini karena dampak program Kemenkominfo yang belum mencakup seluruh lapisan masyarakat Indonesia yang sangat banyak. Hasilnya, pemerintah khawatir banyak orang terprovokasi dan informasi aksi 22 Mei 2019 bisa mengganggu keselamatan nasional.
Namun, Septiaji bisa memaklumi asalkan pemblokiran ini tidak berlangsung lama dan dalam tempo yang jelas.
“Tapi 1-2 hari saja harusnya cukup, lalu dibuka lagi,” kata pria yang kerap disapa Aji ini kepada reporter Tirto. “Ke depan kita harus berpikir agar literasi digital digerakan bersama,” kata dia menambahkan.
Baca juga artikel terkait AKSI 22 MEI 2019 atau tulisan menarik lainnya Felix Nathaniel