Sponsored
Home
/
Health

Mengatasi Bipolar Di Tengah Keriuhan Kota Besar

Mengatasi Bipolar Di Tengah Keriuhan Kota Besar
Preview
TEMPO.CO11 April 2017
Bagikan :

Hidup terasing di hiruk-pikuk kota besar terasa sangat berat bagi banyak orang. Apalagi bagi orang dengan gangguan bipolar yang rentan mengalami perubahan suasana hati secara drastis.  Mega—sebut saja demikian—, misalnya, mesti berjuang agar tak mengalami depresi ataupun mania saat menyesuaikan diri dengan kehidupan di kota.

Baca: Gangguan Bipolar, Begini Cara Pengobatannya


Sebagai orang dengan bipolar, kondisi apa pun berpotensi membuat dia merasa bahagia atau sedih berlebihan. Mega baru sepekan ini pindah dari Bandung ke Depok. "Kemacetan, biaya kebutuhan rumah tangga yang meningkat, cukup membuat (bipolar) saya kambuh," ujar Mega kepada Tempo, kemarin. 

Masalah keluarga yang tak kunjung selesai, kerepotan mengurus tiga anak tanpa pembantu rumah tangga, tekanan dari keluarga besar, dan minimnya dukungan suami pernah menjadi pemicu depresi Mega. “Saya bisa kambuh dan sampai ke usaha bunuh diri. Saya sempat hampir mau membunuh suami,” ia mengungkapkan.

Ibu tiga anak ini baru mengetahui dirinya mengidap gangguan bipolar pada 2014. Ketika itu ia jauh dari suami yang bekerja di luar kota. Setelah mengetahui gangguan tersebut, Mega memilih tinggal dekat dengan tempat kerja suaminya. Dekat dengan suami dan rutin mengkonsumsi mineral lithium membuat gangguan bipolar Mega bisa dikendalikan. "Setelah suami tahu saya bipolar, dia mulai mengerti," ucapnya.

Pengalaman berbeda diceritakan Budi Putra, 44 tahun. Mantan wartawan ini mengatakan baru memastikan adanya gangguan bipolar pada dirinya lima tahun silam. Dia sudah cukup lama sadar ada yang tak beres dengan suasana hatinya. “Setiap orang punya mood, tapi mood itu normal atau tidak?” ujar Budi saat dijumpai di kawasan Blok M, Jakarta Selatan.

Dia sudah merasa ada yang kurang beres dengan emosinya sejak kuliah. Ia kerap mengalami perubahan suasana hati yang drastis. Dari bahagia luar biasa bisa tiba-tiba merasa duka mendalam. Bahkan ia dapat menangis kala mendengar musik dengan lirik yang biasa saja.   “Intinya, saya kerap merasakan perubahan suasana hati yang tidak pada tempatnya.”

Mengenali faktor-faktor risiko pemicu bipolar

Data Riset Kesehatan Dasar Kementerian Kesehatan 2014 yang dipaparkan dalam seminar memperingati Hari Bipolar Sedunia 30 Maret lalu menyebutkan, terdapat 1 juta pasien gangguan jiwa berat dan 19 juta pasien gangguan jiwa ringan di Indonesia. Dari jumlah itu, sebanyak 385.700 orang atau 2,03 persen pasien gangguan jiwa terdapat di Jakarta dan berada di peringkat pertama nasional.

Menurut dokter spesialis kedokteran jiwa Nova Riyanti Yusuf, ada beberapa faktor risiko yang menyebabkan gangguan jiwa menjadi lebih rentan pada masyarakat urban. Hidup di kota yang tak ramah manusia, seperti jalanan yang macet, kemiskinan, budaya instan, kesenjangan sosial, kompetisi tak sehat, dan populasi yang demikian padat, bisa memicu gangguan jiwa, meski bukan faktor utama. "Biasanya gangguan bipolar sudah lama diidap, tapi tak disadari. Pemicunya bisa genetik dan lingkungan," ujar Nova, yang bertugas sebagai psikiater di Departemen Kesehatan Jiwa Masyarakat RS Jiwa Dr Soeharto Heerdjan, Jakarta, ini.

Kesibukan masyarakat di perkotaan, dia mengimbuhkan, berkaitan erat dengan bagaimana sebuah hubungan sosial terbentuk. Ketidakpekaan dan kecenderungan hidup antisosial bagi sebagian orang bisa menimbulkan depresi. Bahkan, pada seseorang dengan bipolar, hal tersebut memunculkan risiko bunuh diri.

Preview
Kecenderungan hidup antisosial bagi sebagian orang bisa menimbulkan depresi

Nova melanjutkan, penyebab gangguan bipolar diduga berasal dari faktor genetik, biologis, dan psikososial. Mengetahui gejala dan deteksi dini merupakan salah satu upaya agar gangguan bipolar tidak memburuk. Hal tersebut dibenarkan Budi dan Mega. Setelah menyadari ada yang salah, keduanya segera menemui psikiater.

Para penderita bipolar, dikatakan Nova, perlu mendapatkan dukungan dari keluarga dan lingkungan terdekatnya. “Sebab, di titik tertentu, pengidap bipolar cenderung melakukan kegiatan yang impulsif, seperti berjudi dan melakukan hubungan seksual,” dia menjelaskan.

Pengidap bipolar juga perlu belajar mengendalikan dirinya sendiri. Hal itu penting untuk menghindari mereka masuk ke dalam gaya hidup negatif, seperti berperilaku konsumtif dan menyalahgunakan obat-obatan. Selain itu, dalam kondisi tertentu, mereka harus rutin berkonsultasi dengan ahli dan mengkonsumsi obat-obatan.  ***

Aisha Shaidra

Berita Terkait:

populerRelated Article