Sponsored
Home
/
Lifestyle

“Menghidupkan” yang Mati lewat Fotografi Still Life

“Menghidupkan” yang Mati lewat Fotografi Still Life
Preview
Deanda Dewindaru30 May 2017
Bagikan :

Ada nyawa pada tiap molekul --mungkin, bisa jadi, siapa tahu?

Setidaknya itulah yang kita rasakan saat melihat postingan berbagai foto makanan atau produk atau benda apapun yang dikemas cantik-unik di media sosial.

Semua potret menggiurkan, menggoda, dan memukau itu masuk kategori still life photography. Tahukah kamu jenis fotografi apa itu?

Still dan life. Still berarti “diam”, dan life berarti “hidup”.

Menurut Silva Sandiarini, digital artist dan fotografer freelance berbasis di Jakarta, still life adalah seni membuat benda mati menjadi “hidup” dan memiliki sebuah cerita.


Istilah still life dalam fotografi mulai berkembang sekitar abad ke-19. Still life sebelumnya banyak diterapkan oleh pelukis abad ke-15.

Lambat laun, aliran fotografi ini makin digandrungi masyarakat, khususnya millennilals, seiring berkembangnya tempat nongkrong anak gaul kota.

Still life terbagi atas dua jenis, yaitu still life murni dan still life umum. Still life murni lebih bebas dan idealis. Fotografer bebas berekspresi sesuai imajinasi liar yang ada dalam kepalanya. Contohnya, foto tengkorak dikelilingi lilin atau buah apel busuk dijahit.

Sementara still life umum memiliki pakem-pakem tersendiri dan tidak sebebas still life murni. Biasanya still life umum lebih bersifat komersial seperti produk suatu brand.

Lalu, bagaimana caranya agar foto yang mati seolah tampak hidup?

Yang pasti, bukan dengan sulap atau sihir.

Kunci agar fotografi still life dapat hidup, ujar Silva, adalah membangun suasana dengan tepat. Ini berbeda dengan aliran fotografi lainnya, misal fotografi jalanan yang cenderung menunggu momen.

Untuk membangun suasana hidup dalam still life fotografi, terdapat lima hal penting yang tak boleh dilupakan: konsep, cahaya, angle (sudut pengambilan gambar), komposisi, dan styling (gaya).

Layaknya suatu hubungan, dalam fotografi still life, pemotret harus tahu mau dibawa ke mana hasil fotonya.

Preview

Silva bercerita, tak sedikit fotografer pemula yang kerap melupakan konsep. Padahal konsep ialah elemen pertama yang harus dilatih. Tanpa kamera pun, konsep dapat dilatih dengan berimajinasi dalam pikiran.

Silva yang ibu dari dua anak lelaki itu sering melatih para peserta workshop membuat konsep.

“Aku lebih mengasah mereka tentang bagaimana cara berekspresi atau membuat sebuah konsep. Dan terbukti, mereka bilang ‘Ih, kenapa dulu gue gak mikirin konsep ya, kok asal jepret,’” ujar Silva saat berbincang dengan kumparan, Sabtu (13/5).

Ia mengatakan, pernah memberikan tugas kepada peserta pelatihannya untuk membuat konsep “warm”. Sebagian dari mereka lantas berpikir untuk menaruh secangkir jahe hangat di dekat jendela.

Ide itu, kata Silva, sama sekali tak salah. Hanya cenderung biasa. Silva kemudian memberi contoh berbeda.

“Aku taruh foto sepatu. Aku kasih suasana kekuning-kuningan, tone-nya aku buat warm. Lalu aku kasih daun-daunan musim semi serta koran. Setting-nya aku ambil di gudang yang kesorot cahaya matahari,” ucap perempuan 36 tahun itu.

Bagi Silva, menciptakan konsep membutuhkan imajinasi dan latihan yang tak putus. Ini bukan suatu hal yang langsung terbentuk dengan sendirinya.

Silva sendiri sering memperoleh inspirasi dari virtual pinboard Pinterest.

Sementara Irma Alaydrus, ibu rumah tangga penggemar fotografi, terinspirasi dari fotografer Amerika Serikat Eva Kosmas Flores dalam membuat konsep.

Setelah soal konsep beres, hal selanjutnya yang menentukan apakah foto bakal memukau atau tidak ialah pencahayaan. Pencahayaan ini terbagi menjadi pencahayaan alami dan artifisial (buatan).

Pencahayaan alami memanfaatkan cahaya matahari, sedangkan pencahayaan artifisial menggunakan lampu studio. Namun jika tidak memiliki lampu studio, fotografer pemula dapat memakai lampu belajar. 

Berikutnya soal sudut pengambilan gambar (angle), pemotret harus tahu angle mana yang cocok untuk mengambil objek foto agar mendapatkan hasil bagus. 

Komposisi foto pun harus dimengerti oleh pemotret, dan ini termasuk dalam fotografi dasar.

“Kalau komposisi kan kaya rule of thirds --teori segitiga,” kata Silva.

Rule of thirds ialah salah satu prinsip komposisi foto paling populer yang dapat menjaga keseimbangan elemen foto, sehingga foto akan lebih enak dilihat secara keseluruhan.

Rule of thirds membagi bidang foto menjadi tiga bagian sama besar hingga terbentuk 9 area serupa yang memiliki 4 titik pertemuan.

Empat titik pertemuan itu jadi penting karena dalam rule of thirds, jika pemotret menempatkan point of interest atau bagian paling menarik dari objek yang difoto di salah satu titik tersebut, maka keseluruhan tampilan foto akan lebih balance.

Hal terakhir yang tak boleh dilupa ialah mempelajari gaya still life --memadupadankan objek utama foto dengan komponen pendukungnya. Ini memerlukan banyak latihan agar mendapat hasil sesuai keinginan.

Bagaimana, tertarik untuk mencoba? Sepertinya asyik jika memotret objek-objek menarik, termasuk ragam takjil, sembari kamu menunggu berbuka puasa sore nanti ;)

Tags:
populerRelated Article