icon-category News

Menyebar Kabar Proklamasi dari Coretan Sukarno yang (Hampir) Terbuang

  • 17 Aug 2018 WIB
Bagikan :

Dasar wartawan, memang paling bisa mengambil momen. 

Kalau saja Burhanuddin Mohammad (B.M) Diah tidak memungut naskah asli Proklamasi hasil coretan tangan Sukarno dari tempat sampah, kita tidak akan bisa melihat bagaimana naskah itu terpotret secara autentik. 

Kertas bersejarah hasil luapan emosi perjuangan yang hampir terbuang, buru-buru ia ambil dan dimasukkan ke dalam saku bajunya. 

Jadi, naskah tersebut ‘terabaikan’ lantaran kertas yang dipakai Sukarno membaca Proklamasi di halaman Pegangsaan Timur 56 Jakarta, adalah kertas yang sudah rapi dan ditik Sayuti. Maka, tanpa Sadar, Sayuti mengabaikannya. 

Instruksi Hatta untuk menyebarluaskan kabar kemerdekaan ke seluruh penjuru, menjadi pemantik B.M Diah buru-buru bergegas ke Percetakan Siliwangi di Pecenongan, Jakarta. 

Segera ia mengetuk pintu percetakan itu, pagi buta sekali, saat Jakarta masih sepi. 

B.M Diah mengenal pemilik percetakan itu, Ili Sasmita, orang Indonesia. Namun, saat ia ke sana, adik Ili yang membukakan pintu. 

“(Adik Ili) masih terkantuk-kantuk, sembari mengusap matanya, saya menyuruh untuk menyalin dan mencetak Proklamasi itu sebanyak 1.000 lembar,” ungkapnya, dalam Catatan B.M. Diah: Peran “Pivotal” Pemuda Seputar Lahirnya Proklamasi 17-8-’45.

Wartawan Hoso Kyoku (kini Radio Republik Indonesia) itu celingukan mencari kertas untuk memberitakan teks Proklamasi kembali. Lalu, ia ambil naskah coretan Sukarno di kantongnya, dan ia tulis dengan tinta di balik kertas itu. 

Bunyinya: Berita Istimewa, Berita Istimewa. Pada hari ini, tanggal 17 boelan 8, 2605 di Djakarta telah dioemoemkan Proklamasi Kemerdekaan Indonesia jang boenjinja: ... Proklamasi. Menyusul teks (Proklamasi).

Inilah Proklamasi tercetak yang pertama di Jakarta. Di Indonesia. 

Awalnya adik Ili masih ragu dengan tindakan B.M Diah dan pesan yang ingin disebarkan. Namun, dengan lobi-lobi meyakinkan, naskah itu berhasil disusun ulang dengan mesin pencetak. 

"Segera saya keluar dari kantor percetakan itu dengan barang jadi. Tanpa bayar. Saya ajak sopir truk yang bernama Boos, mengelilingi sebagian kota,” tuturnya. 

Jalan Nusantara, Prapatan di sekeliling Gambir, menjadi target pertama B.M Diah menyebarkan selebaran --seakan masa bodoh akan konsekuensinya kalau-kalau diintai kempeitai (polisi militer Jepang). 

Euforia kemerdekaan pun dimulai. 

"Tidak ada orang lain yang dapat mencetak sebaran sepagi itu. Indah sekali perkataan PROKLAMASI di atas kertas putih," kenangnya. 

Sial. Memang sudah nasib wartawan biasa melewatkan hal-hal penting dalam hidupnya. Saat menyebarkan kabar Proklamasi, B.M Diah tidak tahu bahwa lokasi pembacaan itu berubah, bukan di Lapangan Ikada Gambir, melainkan Pegangsaan Timur 56 Jakarta. Dia pun melewatkan momen pembacaan Proklamasi di halaman rumah Sukarno. Bobol. 

"Tetapi sejarah mencemoohkan kami. Sukarni, Chairul Saleh, saya sendiri, dan juga Mr. Soebardjo, yang menyaksikan persiapan maupun penandatanganan Proklamasi itu tidak dapat hadir. Tidak ada yang menghubungi kami lagi," tuturnya. 

Bodo amat. Meski sudah meminta Sukarno untuk membacakan pengumuman itu sekali lagi dan ditolak, mereka tak ambil pusing. Yang penting, kemerdekaan sudah dipegang. Mereka sudah menyebarkannya. 

Pemuda berbagi tugas. 

Sebetulnya, upacara pembacaan Proklamasi itu, bisa disiarkan secara langsung di Radio Hyoso Kyoku --dengan siaran selundup--. Namun, usaha para pemuda gagal. Kempeitai keburu tahu. Seperti yang dilukis Sidik Kertapati dalam catatan Julius Pour:

“Kedatangan para pemuda mendapat bantuan para pegawai radio dengan masuk ke studio melalui pintu belakang. Seperempat jam sebelum pukul 10.00, mereka sudah mendekati gang di depan ruang siaran. Hati mereka semakin berdebar karena hitungan waktu sudah semakin mendekat. Tiba-tiba, seorang perwira Jepang muncul. Terdengar keributan, segera disusul teriakan, ‘Kita gagal. Jepang sudah tahu lebih dulu”. 

Para pemuda, dicatat Julius, langsung kocar-kacir menyebar lewat pintu belakang. Dua kendaraan berlapis baja dan prajurit Rikugun (Angkatan Darat Kekaisaran Jepang) sudah memata-matai. 

Hmmm… sesungguhnya...perjuangan tak berhenti sampai di situ. Proklamasi tetap tersebar, kok

Salah satunya melalui Adam Malik, jurnalis yang bekerja di Kantor Berita Domei Jakarta (Kini menjadi Kantor Berita Antara). 

Bungur Besar adalah lokasi persembunyiannya untuk menyebar kabar gembira itu. Dia menelepon rekannya di Domei, Asa Bafaqih, untuk menyelipkan berita Proklamasi. Didiktekanlah bunyi teks itu, lalu diteruskan kepada Pangulu Lubis --diam-diam meloloskan berita itu dari Hodohan (sensor Jepang).

Adam Malik, menurut Julius Pour, akhirnya tiba di Domei sekitar pukul 08.00. Dia memberitahukan anak buahnya, Soegirin, bahwa ada BERITA GEMPAR. 

Kira-kira dia bilang begini:

“Bung Girin, sebentar lagi big news harus muncul. Naskahnya segera saya serahkan, harap nanti disebarkan ke seluruh Indonesia dan ke seluruh dunia. Ingat, jalan satu-satunya hanya bisa disebarkan lewat pemancar Domei. Kita tidak bisa berharap berita tersebut disiarkan Hoso Kyoku, sebab sejak pagi, studionya sudah dijaga Kempeitai.”

Setengah jam menghilang, Adam Malik kembali seraya berbisik. “Naskahnya ada di saku saya. Berani meyiarkan?”

“Mengapa takut?” jawab Soegirin. 

Berita itu berhasil diselipkan di antara berita-berita persetujuan Hodohan melalui morce cast (sandi morse). Misi berhasil. 

“Ini peristiwa jadi drama menarik. Pangulu Lubis sebagai ‘orang dalam’ Domei, dia selipkan berita itu ke tumpukan berita hari itu yang akan disiarkan,” ungkap jurnalis senior sekaligus Direktur Galeri Foto Jurnalistik Antara (GFJA) Oscar Motuloh ketika ditemui kumparan di Kantor Galeri Antara. 

Jepang tentu tak terima. 

Habislah si Soegirin menerima bogem mentah Kempeitai. Diseretlah ia ke markas Kempeitai di Jalan Gambir Barat, ditahan, diinterogasi. 

Masih bersumber dari catatan Julius. Kala itu, sekitar sore pukul 16.00, wartawan yang beberapa tahun kemudian menjadi pendiri RRI, Jusuf Ronodipoero, datang ke Kantor Domei. Jusuf mengemban amanat berdasarkan dua lembar kertas yang ia terima.

Lembar pertama, adalah perintah Adam Malik yang meminta Proklamasi itu kian digaungkan. Lembar kedua, berisi teks Proklamasi, lengkap dengan tanda-tangan Sukarno-Hatta. 

Waduh! Bagaimana caranya ia menyiarkan kabar itu?

Untunglah ia mengingat akan sebuah pemancar siaran luar negeri yang jarang terpakai. “Perangkat itulah yang ingin saya pakai dengan bantuan rekan-rekan bagian teknik sehingga bisa memanfaatkan pemancar tersebut tanpa mengganggu siaran yang selalu dipantau petugas sensor Jepang,” tutur Jusuf. 

Tepat pukul 19.00, dengan tenang, Jusuf menyelundupkan siarannya, dan membacakan berita itu hingga didengar seluruh dunia. Sementara di dalam studio, hanya terdengar berita versi resmi.

“Saya lihat petugas sensor Jepang terus menerus menganggukan kepala ketika memonitor warta berita. Dia tidak tahu, warta berita yang terpancar keluar studio berbeda versi,” kenang Jusuf, senang, puas. 

Namun kebahagiaan itu hanya sementara. Kempeitai kecolongan dan murka sekali. Jusuf dan rekannya, Bahtiar Lubis, dipukuli habis-habisan. Hampir saja kepala mereka ditebas tajamnya pedang, sampai Direktur Djakarta Hoso Kyoku, Tomobachi, datang dan mengingatkan para kempeitai itu. 

“Dia mengingatkan bahwa Dai Nippon sudah menyatakan menyerah kepada sekutu. Oleh karena itu, kalau ingin menjatuhkan hukuman, harus melalui pemeriksaan secara teliti,” papar Jusuf. 

Menurut Oscar, saat itu gelombang euforia pemuda menyiarkan kabar merdeka amat sangat tinggi. Mereka membagi tugas tanpa upah.

“Waktu mau selesai (perumusan teks Proklamasi di rumah Laksamana Tadashi Maeda), Adam malik sama Sukarni (tokoh pemuda radikal) membagi tugas. Koran Asia Raya nyetak pamflet, anak muda ngecat kereta ‘Merdeka forever’. Segala macam cara ditempuh mereka,” ujar Oscar.

Cerita Oscar mungkin sama menggebunya dengan penyebaran berita oleh pemuda waktu itu. “Jadi mereka enggak ngantor, yang di kantor itu, Pangulu Lubis,” tuturnya lagi. 

Oscar juga menyebut, koran-koran yang berada di bawah pengawasan Jepang seperti Asia Raya, Soeara Asia, sudah menyiarkan --tepatnya menyelundupkan-- Proklamasi, meski tanpa dibubuhi foto Sukarno dan suasana pembacaan. 

Pasalnya, foto-foto yang dijepret dua bersaudara: Frans dan Alex Mendur, sempat diredam Jepang. Foto Alex bahkan ditarik, sehingga hanya foto Frans yang berhasil diselamatkan --itupun harus enam bulan dulu disembunyikan di bawah pohon dekat kantor harian Asia Raya--.

“Itu foto baru 6 bulan berikutnya bisa kita lihat di koran Merdeka yang sudah terbit,” tutur Oscar. 

Jepang yang kalang kabut dihantam sekutu dan jajahannya sendiri, sempat ingin membuat berita ralat dan bantahan. Namun, berita tersebut tak jadi dilakukan. “Berita bantahan malah tidak jadi disiarkan karena telah kehilangan momen,” tulis Julius. 

Satu lagi bagian penting yang perlu dikisahkan. Kalian harus mengenang jasa Riwu Ga, pria kebanggaan Sabu, Ende, Flores, Nusa Tenggara Timur, yang sejak usia 18 tahun menjadi orang kesayangan Sukarno --ketika ia ditahan di Ende. 

Persis usai Proklamasi itu berkumandang, Sukarno langsung mengingat Riwu Ga untuk menyebarkan kabar itu --Sukarno kala itu beraanggapan tak mungkin radio bisa diselundupkan berita kemerdekaan. 

“Angalai (sahabat), sekarang giliran angalai,” kata Sukarno ke Riwu. 

“Sebarkan kepada rakyat Jakarta, kita sudah merdeka. Bawa bendera,” tuturnya yang langsung disambut Riwu. 

“Sarwoto, adik Mr. Sartono yang pegang setir jip terbuka. Kami melambai-lambaikan bendera sepanjang jalan. Saya yang berteriak sepanjang jalan. Saya berteriak dengan megafon. Rakyat tumpah ruah ke mulut-mulut gang. Saya bilang rakyat Indonesia sudah merdeka. Mereka semua diam, seakan-akan menunggu apa yang saya sampaikan lagi,” ungkap Riwu yang dituliskan kembali oleh keponakannya, Peter A. Rohi, dan dimuat di Tabloid Mutiara, Agustus 1995. (kumparan mengutip ini dari Kisah Istimewa Bung Karno, oleh Hero Triatmono sebagaimana diterbitkan Kompas).

“Maka saya ulangi, kita sudah merdeka, merdeka, merdeka! Ternyata rakyat menyambut dengan gegap gempita sambil mengepalkan tangan ke atas, lalu menirukan suara saya, merdeka! Ada yang menangis, kami semua histeris,” kenang Riwu.  

Penyebaran dan euforia tak sekadar di tanggal 17-18-19 Agustus. Seminggu setelahnya, pemuda semakin masif. Malah tambah masif. Jepang sampai-sampai kewalahan dan tak bisa berbuat banyak karena sudah kalah dan mempertahankan status quo.

Semangat berkobar dari kalangan mahasiswa. Mereka dibagi dalam kesatuan kecil yang dipimpin oleh komandan-komandan regu. Bahkan ada yang menamai kelompok mereka dengan pasukan ‘Dajjal’, seperti yang ditulis dalam Lahirnya Suatu Bangsa dan Negara karya O.E Engelen.

Malam hari mereka bergerilya. Gedung-gedung dicoret dengan tulisan menantang: Indonesia Merdeka, No More Colonialism, Milik Pemerintah Indonesia, Freedom Forever, Untuk Rakyat, Dari Rakyat, Oleh Rakyat, Down With Colonialism

Cat tulisan-tulisan itu mereka beli dengan murah dari toko-toko orang Indonesia di Pasar Senen. Voila, Jepang tak bisa berkutik. Mau apa?

Kabar Proklamasi diteruskan secara estafet ke seluruh penjuru. 

---------------------

Simak ulasan lengkap Gaung Proklamasi dengan follow topik Penyelamat Proklamasi. Story-story akan kami sajikan pada Kamis (16/8) hingga Sabtu (18/8).

Biar gak ketinggalan informasi menarik lainnya, ikuti kami di channel Google News dan Whatsapp berikut ini.

Tags :

Bantu kami agar dapat mengenal kalian lebih baik dengan mengisi survei di sini