Mereka yang Tertipu dalam Kasus Dwi Hartanto
Siang itu Thomas Djamaluddin menerima kami dengan ramah di kantornya. Lulusan Astronomi Institut Teknologi Bandung dan Kyoto University yang kini menjabat sebagai Kepala Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN) itu bercerita runtut tentang bagaimana akhirnya kebohongan-kebohongan Dwi Hartanto dapat terbongkar.
Terbongkarnya kebohongan Dwi ada kaitannya dengan International Seminar on Aerospace Science and Technology (ISAST) yang diadakan LAPAN pada 27-29 September 2017. Hal ini bermula saat panitia hampir menjadikan Dwi Hartanto sebagai salah satu pembicara di acara tersebut.Ya, hampir, jika saja klaim-klaim Dwi terkait prestasinya di bidang teknologi statelit dan pengembangan roket tak diselidiki oleh para kolega LAPAN. Thomas sendiri tak mengenal Dwi secara personal. Ia hanya tahu profil Dwi berdasarkan berita-berita yang dibuat oleh sejumlah media.
“Belakangan saya tahu bahwa panitia seminar internasional yang dilaksanakan LAPAN --ISAST 2017 di Medan-- ternyata mengundang Dwi Hartanto,” tutur Thomas, Rabu (11/10).
Saat mengundang Dwi sebagai pembicara acara tersebut, panitia tak memeriksa latar belakang Dwi berdasarkan publikasi karya-karya ilmiahnya, tapi sekadar berdasarkan berita-berita di sejumlah media.
Undangan untuk Dwi dikirim sejak Mei 2017. “Tapi kemudian tidak ada konfirmasi (dari Dwi) sampai menjelang pelaksanaan seminar,” kata Thomas.
Meski belum ada konfirmasi langsung dari yang bersangkutan, panitia telah mencantumkan nama Dwi Hartanto sebagai salah satu pembicara seminar di laman acara tersebut.
Namun rupanya nama Dwi Hartanto yang tercantum di laman ISAST 2017 menarik perhatian sejumlah kolega LAPAN. Para kolega itu antara lain ilmuwan di Institut Teknologi Bandung (ITB) yang merupakan alumni TU Delft, juga alumni Indonesia lain yang sedang berada di Belanda, dengan bidang studi terkait yang diklaim digeluti Dwi, yakni ilmu teknologi penerbangan dan antariksa.
Setelah penyelidikan dilakukan oleh mereka dan beberapa pihak lainnya, terungkaplah kabar yang mengejutkan banyak pihak, termasuk LAPAN.
“Kami dapat kabar ternyata segala klaim itu adalah bohong belaka,” ujar Thomas.
Ia mengungkapkan, kebohongan-kebohongan Dwi telah terbongkar pada awal September 2017. Maka kemudian panitia ISAST 2017 mencoret nama Dwi dari daftar undangan seminar internasional tersebut.
Penjelasan Thomas tersebut senada dengan keterangan seorang mahasiswa doktoral asal Indonesia di TU Delft. Menurutnya, penyelidikan tentang kebohongan Dwi bermula saat Dwi diundang sebagai pembicara di salah satu acara tentang kedirgantaraan di Indonesia. Kala itu, ada alumni TU Delft di Indonesia menyelidiki latar belakang Dwi, tapi tak menemukannya.
“Alumni yang awalnya nyelidiki ini adalah dosen di Indonesia, dulunya TU Delft juga, bidang aerospace engineering. Dia merasa ada yang aneh dengan Mas Dwi, lalu dicek background-nya. Agak dalam juga tuh ngeceknya,” kata mahasiswa itu kepada kumparan. Ia meminta namanya sebagai narasumber tak dicantumkan.
Berbeda dengan LAPAN yang urung menghadirkan Dwi dalam seminar internasional yang ia gelar, Direktorat Jenderal Sumber Daya Iptek Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi justru sempat menghadirkan Dwi dalam acara mereka, Visiting World Class Professor, pada 17-24 Desember 2016.
Direktur Jenderal Sumber Daya Iptek Dikti, Ali Ghufron Mukti, di kantornya, Jakarta, Kamis (12/10), menjelaskan Visiting World Class Professor adalah program yang mengundang dan mempertemukan para ilmuwan dan akademisi Indonesia yang memiliki kiprah di luar negeri. Selama sepekan, mereka dihadirkan ke sejumlah perguruan tinggi di Indonesia.
Ilmuwan atau akademisi yang bisa mengikuti program ini, ujar Ghufron, harus memenuhi sejumlah syarat. Salah satunya harus memiliki jabatan Professor, Associate Professor, atau jabatan-jabatan lain, dan memiliki karya-karya tertentu sehingga mendapatkan rekomendasi.
Pengumuman terkait program tersebut dipublikasikan secara online oleh panitia sehingga siapapun dapat membacanya dan mendaftarkan diri.
“Saudara Dwi Hartanto kelihatannya tertarik dan dia melamar,” kata Ghufron.
Dwi mendaftarkan diri dengan mengirimkan berkas curriculum vitae. “CV-nya kami cek, contohnya ada link-link gitu, seperti acara Mata Najwa,” ujar Ghufron.
Dalam CV tersebut tertulis, Dwi memiliki keahlian di bidang aerospace engineering, khususnya di bidang pertahanan udara. Kebetulan, keahlian yang diklaim Dwi merupakan salah satu dari tujuh bidang keahlian yang menjadi prioritas dalam Visiting Wolrd Class Professor.
Para ilmuwan dan akademisi yang diundang dalam program tersebut merupakan para ahli yang terbagi dalam tujuh kelompok kelimuan, yakni (1) ketahanan pangan, (2) energi baru terbarukan, (3) kesehatan dan obat-obatan, (4) pertahanan dan material maju, (5) teknologi, informasi, dan komunikasi, (6) politik, sosial, ekonomi, seni, dan budaya, dan (7) kemaritiman.
Untuk kelompok keahlian pertahanan dan material maju, ilmuwan atau akademisi selain Dwi yang mendaftarkan diri hanya dua orang.
Singkat cerita, dengan isi CV begitu mantap, ditambah rekomendasi pihak lain kepada panitia, Dwi akhirnya terpilih mengikuti program tersebut.
“Semua --tidak hanya dia-- yang terpilih kemudian kami kasih undangan untuk datang, kami belikan tiket, akomodasi, dan lain-lain,” papar Ghufron.
Namun sekitar delapan bulan lebih setelah program Visiting World Class Professor selesai digelar, terdengarlah selentingan kabar tak mengenakkan soal Dwi. Demi mengonfirmasi kabar tersebut, Ditjen Sumber Daya Iptek Dikti kemudian menghubungi Atase Pendidikan dan Kebudayaan Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) Den Haag.
Saat dihubungi, KBRI Den Haag menerangkan adanya sejumlah kebohongan dalam klaim-klaim yang dibuat Dwi. Padahal, pada 17 Agustus 2017 KBRI Den Haag sempat memberikan penghargaan kepada Dwi atas capaian-capaian yang ia klaim di bidang aerospace engineering.
Sebagaimana Ditjen Sumber Daya Iptek Dikti, KBRI Den Haag juga tertipu oleh klaim-klaim Dwi yang termuat di sejumlah media itu. Maka pada 15 September 2017, KBRI Den Haag mencabut penghargaan yang sempat diberikan kepada Dwi tersebut.
Sikap KBRI Den Haag berbeda dengan Ditjen Sumber Daya Iptek Dikti. Ghufron mengatakan, pihaknya tak berniat mencabut atau meminta kembali dana yang telah terpakai Dwi untuk tiket, akomodasi, dan lain-lain selama mengkuti Visiting World Class Professor.
Menurut Ghufron, Dwi telah mendapat hukuman sosial yang luar biasa berat.
“Bayangkan sekian juta orang membicarakan dia (Dwi) dari sisi negatifnya,” ujarnya. Padahal, menurut Ghufron, Dwi masih muda dan memiliki potensi cukup bagus.
Sewaktu kuliah S1 di IST APKRIND, Dwi lulus dengan predikat cum laude. Kemudian selain berhasil mendapatkan beasiswa dari Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemkominfo) untuk kuliah S2 di TU Delft, Dwi juga berhasil mendapatkan beasiswa dari TU Delft untuk kuliah S3 di kampus itu.
“Jadi (dia) memiliki potensi,” tegas Guhfron, berharap semua pihak mau memberikan kesempatan kedua kepada Dwi.
Sejak pertama kali dimintai tanggapan soal terbongkarnya kebohongan Dwi, lelaki 55 tahun itu masih konsisten terhadap pernyataannya.
“Jalan karier Dwi masih panjang, mari kita tegur dan kita bantu ke arah yang baik,” kata Ghufron.