Sponsored
Home
/
News

MUI Kritik Sekolah Lima Hari

MUI Kritik Sekolah Lima Hari
Preview
Dhita Seftiawan12 June 2017
Bagikan :

Majelis Ulama Indonesia (MUI) menilai kebijakan sekolah lima hari seminggu yang berlaku pada tahun ajaran 2017/2018 akan mengganggu penyelenggaraan pendidikan di madrasah diniyah dan pesantren.

MUI meminta Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan untuk mengkaji kembali kebijakan tersebut.

Wakil Ketua Umum MUI, Zainut Tauhid Sa’adi, menyatakan, pengurangan sehari waktu sekolah untuk jenjang SD sampai SMA dipastikan berpengaruh terhadap praktek penyelenggaraan pendidikan keagamaan yang selama ini dikelola swadaya masyarakat. Menurut dia, madrasah diniyah dan pesantren akan banyak yang tutup. 

“Dengan diberlakukannya pendidikan selama delapan jam sehari dapat dipastikan pendidikan dengan model madrasah ini akan gulung tikar. Padahal keberadaannya masih sangat penting dan dibutuhkan oleh masyarakat. Padahal madrasah diniyah sudah menjadi bagian dari bentuk kearifan lokal yang tumbuh dan berkembang di masyarakat,” ujar Zainut di Jakarta, Minggu (11/6/2017).

Ia menuturkan, tutupnya sekolah keagamaan akan melemahkan karakter generasi muda. Menurut dia, madrasah diniyah dan pesantren selama ini telah memberikan kontribusi besar bagi penguatan nilai-nilai keagamaan, pembentukan karakter dan penanaman nilai-nilai akhlak mulia bagi anak didik. 

“Saya tidak bisa membayangkan berapa jumlah madrasah diniyah yang dikelola secara mandiri dan sukarela oleh masyarakat akan tutup. Berapa jumlah pengajar yang selama ini mendidik anak siswa dengan ihlas tanpa pamrih akan kehilangan ladang pengabdiannya. Hal ini sangat menyedihkan dan akan menjadi sebuah catatan kelam bagi dunia pendidikan Islam di negeri yang berdasarkan Pancasila,” katanya.

Kebijakan sekolah lima hari dalam sepekan merupakan tinggal menunggu persetujuan Mendikbud, Muhadjir Effendy, yang menggagas program Penguatan Pendidikan Karakter (PPK). PPK mewajibkan siswa belajar Senin hingga Jumat dengan durasi waktu tak kurang dari 8 jam sehari. “Kebijakan tersebut tujuannya bagus namun perlu dipikirkan ulang,” ujar Zainut. 

Direktur Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah, Hamid Muhammad, menilai kekhawatiran Zainut terkait penguatan akhlak keagamaan kurang relevan. Ia menyatakan, siswa tetap bisa meluangkan waktu untuk sekolah nonformal. Menurut dia, madrasah diniyah dan pesantren tak terancam tutup.

“Sekolah 5 hari itu dilaksanakan dengan dua cara. Pertama, siswa belajar di satu sekolah penuh mulai pagi hingga sore, dengan menggunakan fasilitas belajar sekolah. Kedua siswa belajar di sekolah sampai siang, setelah itu dilanjutkan di sekolah di lembaga lain seperti madrasah diniyah, pesantren, sanggar seni, olahraga, museum dan tempat belajar lain yang dipilih siswa,” katanya.

Fasilitas

Zainut menilai, sekolah lima hari dalam sepekan bisa mulai diterapkan jika fasilitas di sekolah sudah terbangun dengan lengkap, baik dan merata. Jumlah dan kompetensi guru dan tenaga kependidikan juga harus sudah ideal. “Seperti sarana untuk ibadah, olah raga, laboratorium, tempat bermain dan istirahat yang nyaman bagi pelajar, serta kantin yang sehat dan layak.

Faktor lain yang tidak kalah penting adalah tersedianya jumlah pengajar yang cukup. Jika tidak ada sarana pendukung yang memadai dan pengajar yang cukup,  alih-alih dapat terbangun suasana kegiatan belajar mengajar yang kondusif, anak didik bisa belajar dengan tenang, senang dan nyaman selama delapan jam. Justru yang terjadi adalah anak didik akan menjadi jemu dan stres,” kata Zainut.***

populerRelated Article