icon-category Travel

My Ultimate Madness: Ugal-ugalan di Kamboja

  • 02 Sep 2018 WIB
Bagikan :

Panas terik menyambut kala kaki melangkah keluar dari pesawat. Suhu menyentuh angka 38 derajat Celcius, dan itu masih terhitung lumayan. Sepekan sebelumnya, Siem Reap disapu panas 40 derajat Celcius, siap memanggang siapa pun orang sial yang tengah menjejak tanahnya. Sejumlah wisatawan asing terserang heat stroke dan mesti dibopong ke klinik-klinik atau rumah sakit terdekat.

Namun, garang matahari tak menyurutkan girang hati kami--aku dan seorang kawan--yang sudah sebulan merencanakan melancong ke Negeri Khmer. Kami menyusun rencana perjalanan seefisien dan seefektif mungkin, dengan budget setipis mungkin.

Tapi, tamasya kami tampak dibayangi Koalemos--dewa kedunguan orang-orang Yunani. Sejak awal menginjak bumi Kamboja, rangkaian peristiwa pandir terus mengikuti. Dan percayalah, kami tak lepas darinya hingga saat akhir, ketika kami terbang pulang meninggalkan Kamboja.

Kedunguan yang hakiki sudah terlihat beberapa menit usai kami mendarat di Bandara Siem Reap. Saat itu, kami dengan tenang dan senang turun dari pesawat, melenggang santai ke pintu keluar bandara, tersenyum kepada sopir tuk-tuk yang telah siaga menjemput sembari membawa karton bertuliskan nama kami di depan dadanya, dan berjalan lincah menerjang panas menuju tuk-tuk sambil memotret-motret ala kadarnya.

Di atas tuk-tuk yang siap meluncur, sopir ramah kami bertanya, “You don’t bring another bag?” Barulah kami menyadari kebodohan itu: kami lupa mengambil koper di bagasi.

Alih-alih menunggu koper diturunkan dari pesawat, kami langsung pergi menyandang ransel saja. Padahal, masing-masing kami membawa dua tas--koper yang ditaruh di bagasi pesawat, dan ransel yang dibawa dalam kabin.

Kami pun lari tunggang-langgang kembali ke bandara untuk mengambil tas--dan itu sama sekali tak mudah. Petugas tidak mengizinkan kami masuk. Bahasa jadi kendala serius. Kami menjelaskan persoalan kami dalam Bahasa Inggris, dan Pak Petugas sama sekali tak mengerti. Kami mencoba bahasa isyarat, dan ia angkat bahu.

Untunglah sang sopir tuk-tuk yang semula duduk menunggu di belakang kemudi, turun membantu. Dan kesamaan bahasa ibu antara dia dan petugas bandara membuat semua masalah langsung beres. Kami diizinkan masuk lagi ke dalam bandara untuk mengambil koper-koper malang yang terlupakan.

Welcome to Cambodia!

Kawan penulis di depan Bandara Siem Reap. (Foto: Anggi Kusumadewi)

Tuk-tuk di jalanan Siem Reap. (Foto: Anggi Kusumadewi)

Siem Reap ialah kota kecil. Maka keliling kota bersepeda seharusnya asyik sekali. Lengang dan tenang seperti kota-kota kecil di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Tapi, hmm... tidak begitu jika aku yang naik sepeda.

Faktanya, aku tak pernah bersepeda di Jakarta--dan di jalan besar mana pun selama satu windu terakhir. Terang aku menyangsikan keterampilanku mengayuh pedal di jalan protokol kota. Tapi kawanku meyakinkan: ini sekadar jalan-jalan santai putar-putar kota, pasti aman.

Aku bodoh saja percaya ucapan kawan bengalku. Betul sih, meski sedikit canggung di awal, kemampuanku bersepeda tak hilang. Aku mengayuh pedal dengan lancar sambil berkonsentrasi penuh pada jalanan selama beberapa waktu. Kami singgah di Museum Nasional Angkor yang menyimpan artefak-artefak bersejarah dari masa Kerajaan Khmer.

Semua baik-baik saja sampai senja menjelang. Jalanan Siem Reap mendadak begitu riuh oleh kendaraan. Aku sebetulnya sudah menerka, tapi tak mengira bakal dapat celaka. Tentu saja pengundang mara bahaya itu tak lain adalah aku--yang tak lihai bersepeda di tengah keramaian dan bunyi klakson yang sambar-menyambar bikin pekak telinga.

Alhasil, petang itu aku menabrak tiga orang--atau tepatnya tiga objek: tuk-tuk yang akan menepi ke bahu jalan, motor yang melintas menikung di depanku, dan pasangan bule yang sedang bergandengan tangan. Yeah, such an ultimate madness.

Masih untung orang-orang yang kutabrak tak luka-luka sedikit pun, sehingga aku tak diamuk massa dan diseret ke pos polisi dengan tudingan “pesepeda gila mengacau kota”.

Kalau itu terjadi, rencanaku ke situs purbakala Angkor Wat yang legendaris bisa buyar.

No more ride a bicycle in a crowded place. I will never do that again. Never ever.

Penyewaan sepeda di Siem Reap. (Foto: Anggi Kusumadewi)

***

Perahu-perahu di Pantai Serendipity, Sihanoukville. (Foto: Anggi Kusumadewi)

Kapal berlayar tenang di Teluk Thailand. Semilir segar angin segara menerpa wajah, sejuk membelai kulit. Aku berdiri di geladak kapal, menghirup dan meresapi hawa bebas yang mengambang di udara.

Daratan terlihat di kejauhan, namun kapal belum hendak berlabuh. Ia berhenti mantap di tengah laut. Ini waktunya snorkeling.

Pemandu wisata membagikan rompi pelampung kepada para penumpang. Kemudian, satu per satu penumpang kapal, termasuk aku, mencebur ke laut dengan life vest terpasang di tubuh dan snorkel bertengger di kepala. Kami berenang menjauhi kapal menuju area terumbu karang.

Tapi sungguh, aku tak melihat apa pun yang bisa disebut “indah”. Kurasa alam bawah laut Indonesia jauh lebih menakjubkan. Jadi aku tak lagi penasaran mengintip kedalaman laut dangkal tersebut, dan berenang santai di perairan antara Thailand dan Kamboja itu.

Setelah beberapa lama, pemandu kami memanggil-manggil dari atas kapal. Aku pun ambil ancang-ancang berenang ke arah kapal, tak mau sampai ditinggal karena tak yakin bisa kuat berenang hingga daratan meski aku mahir berenang (jangan bandingkan dengan bersepeda, sebab kalau berenang aku cukup jago--sombong sedikit).

Sialnya, kawanku tak bisa berenang. Iya, dia--orang yang membujukku bersepeda keliling kota dan berakhir petaka.

Sejak awal terjun ke laut, dia memang bergayut ke tubuhku sampai area terumbu karang, dan baru melepas pegangannya setiba di lokasi.

Lantas saat kami harus berenang kembali menuju kapal, ia malah mematung. Diam mengambang bak batang kayu layu terombang-ambing di tengah laut. Sejurus kemudian, pemandu meniup peluit, tanda kapal segera berangkat.

Kawanku jadi panik. Dia betul-betul tak bisa berenang. Tak ada cara selain kumenyeretnya lagi, dan itu menyebalkan. Aku menanggung beban tubuh dua orang sekali kayuh, dan itu bukannya gampang. Aku menggerutu, berniat mengomeli kawanku begitu mencapai kapal. Siapa suruh tak belajar renang padahal suka jalan-jalan ke laut? Huh!

Aku terus berenang membelah lautan sembari menyeret kawanku. Peluit kedua berbunyi. Aku mempercepat kayuhanku walau pegal mulai merambati tangan. Dalam hati, aku komat-kamit merapal mantra antikeram.

Kawanku mungkin jatuh kasihan melihat aku hampir kehabisan tenaga. Dia sempat minta tolong orang lain untuk membawanya ke kapal. Namun orang itu tak mengerti Bahasa Inggris. Ia, seperti Pak Petugas Bandara, berbicara dalam Bahasa Khmer, sedangkan aku serta kawanku tak paham bahasa itu.

Sementara teman Kanada kami dan selusin lebih turis Barat yang sempat menumpang kapal--dan pasti bisa Bahasa Inggris, telah turun lebih dulu di Pulau Koh Rong untuk bermalam di sana. Artinya, benar-benar tak ada pilihan lain. Maka aku lanjut berenang sekuat tenaga membawa kawanku ke kapal. Entah sudah 10 atau 15 menit aku berenang, seolah waktu berhenti dan aku bergerak di ruang hampa.

Voilà, I made it! I landed safely to the boat with my buddy.

Para penumpang kapal. Para lelaki bertelanjang dada itu turun lebih dulu di Pulau Koh Rong. (Foto: Anggi Kusumadewi)

***

Jalan menuju Kompleks Angkor Wat. (Foto: Joseph Anson/Unsplash)

Selama di Kamboja, aku dan kawanku berpindah ke tiga kota--Siem Reap, pusat budaya Kamboja di barat laut negeri; Phnom Penh, ibu kota di sentral negeri; dan Sihanoukville, kota pantai di barat daya Kamboja yang berbatasan dengan perairan Thailand. Ketiganya merupakan tujuan wisata domestik dan global di Kamboja.

Dari satu kota ke kota lain, kami menggunakan bus malam yang benar-benar didesain untuk tidur. Alih-alih dipenuhi kursi, bus itu berisi kasur tingkat berjejer dalam dua baris, kiri dan kanan. Jadi, kami seperti sungguh-sungguh disuruh tidur.

Interior bus malam di Kamboja. (Foto: cambodiatransportationservices.blogspot.com)

Tidurlah yang lelap, dan percayakan perjalanan Anda pada kami! Begitu membuka mata, niscaya Anda telah tiba di tempat tujuan.

Begitulah kira-kira tagline rekaanku. Jadi, dengan bus malam yang melintasi rute panjang dari Kamboja ke Thailand itu, jangan khawatir terserang penat selama perjalanan. Bahkan, rasa lelah akibat seharian menjelajah ke sana ke mari hampir pasti terkikis dengan tidur nyenyak-nyaman dalam bus.

Tapi, itu pula yang jadi masalahku. Oleh sebab tidur terlalu pulas, aku tak sadar telah sampai kembali di Siem Reap, kota tempatku datang dan akan pulang. Saat bus berhenti dan kondektur berseru-seru dalam Bahasa Khmer yang tak kukuasai, aku tenang-tenang saja tetap memejamkan mata.

Kawanku terbangun dan mulai bertanya-tanya, di mana ini? Aku menggeleng tak acuh dan hendak meneruskan tidur nyenyakku yang terputus teriakan kondektur.

“Jangan-jangan kita sudah sampai,” kata kawanku itu. Ia mulai resah, celingak-celinguk mencari petunjuk.

Aku tak tergoyahkan. “Nggak mungkin. Ini belum lima jam. Phnom Penh-Siem Reap lima jam jalan darat,” jawabku sambil memicingkan mata ke layar ponsel, melihat keterangan waktu yang terpampang di sana.

Bus sudah melaju menuju Bangkok kala kami melihat papan bertuliskan “Siem Reap”. Olalaa... firasat kawanku benar. Gantian kami menjerit-jerit kepada kondektur minta bus berhenti. Kami buru-buru turun sebelum terlelap sampai melewati perbatasan Thailand dan ketinggalan pesawat ke Kuala Lumpur.

So long, Cambodia!

Penerbangan Siem Reap-Kuala Lumpur. (Foto: Anggi Kusumadewi)

Penulis di Eclipse Sky Bar, Phnom Penh Tower. (Foto: Reancy Triashari)

Till my next story ;)

Biar gak ketinggalan informasi menarik lainnya, ikuti kami di channel Google News dan Whatsapp berikut ini.

Bantu kami agar dapat mengenal kalian lebih baik dengan mengisi survei di sini