Naik Turun Cosa Nostra, Kelompok Mafia Besar dari Sisilia
Ketika banyak negara di Eropa terkena dampak aksi terorisme, Italia relatif adem ayem. Memang, sejak peristiwa 9/11, 20 plot serangan teroris setidaknya telah berlangsung di Italia. Namun, tak seperti serangan teror massal di negara-negara tetangga macam Inggris hingga Perancis, serangan di Italia relatif berskala kecil dan tidak menyebabkan korban jiwa.
Apa yang jadi penyebabnya? Selain faktor sejarah dan kondisi demografis, minimnya aksi teror mematikan di Italia diduga kuat karena adanya kelompok mafia yang bikin nyali para teroris ciut.
“Teroris akan selalu memeriksa setiap wilayah sebelum serangan,” kata Andrea Di Nicola, asisten profesor kriminologi di Universitas Trento, kepada The Local. “Sayangnya, mafia menguasai banyak wilayah di Italia, mereka punya kekuatan.”
Ungkapan Di Nicola cukup beralasan. Pasalnya, pengaruh dan keberadaan mafia di Italia sudah seperti kanker; menggerogoti dan mematikan. Mereka bergerak di mana pun, khususnya di selatan Italia. Kekuasaan mereka terlalu besar.
Salah satu kelompok mafia yang paling kuat itu adalah Cosa Nostra yang berasal dari Sisilia.
Hingga Abang Sam
Cosa Nostra adalah sesepuh mafia di Italia. Organisasi ini telah beroperasi sejak 1800an dan dikenal dengan aturan ketat anggotanya yang bernama omertà—sumpah untuk setia dan tidak membocorkan apa pun kepada para penegak hukum. Aturan tersebut memaksa para anggota tunduk pada kelompok tanpa terkecuali.
Asal-usul Cosa Nostra sulit dilacak mengingat gerak-gerik mafia sangat rahasia dan mereka tidak menyimpan catatan sejarah kelompoknya sendiri. Malah, tak jarang, para mafia sengaja membikin narasi-narasi penuh omong kosong soal masa lalu mereka yang diharapkan membuat orang-orang mempercayainya sebagai mitos.
Masa keemasan Cosa Nostra terjadi pada era 1970-an ketika mereka menguasai bisnis pemurnian dan distribusi heroin. Bisnis ini bahkan membikin Cosa Nostra menancapkan dominasinya sampai Amerika Serikat.
James Finckenauer dalam “La Cosa Nostra in the United States” menyebut di AS, Cosa Nostra punya nama La Cosa Nostra. Wilayah operasinya berpusat di New York. Ada lima keluarga kriminal yang menjalankan La Cosa Nostra: Bonanno, Colombo, Genovese, Gambino, dan Lucchese.
Dalam menjalankan kegiatannya di AS, La Cosa Nostra digambarkan oportunistik dan mudah beradaptasi. Mereka menemukan cara untuk mengeksploitasi kerentanan pasar, sementara di saat bersamaan mampu mempertahankan stabilitas dan prediktabilitas yang diperlukan untuk membikin bisnis jadi menguntungkan.
Bisnis La Cosa Nostra tentu saja sebagian besar ilegal. Mulai dari perjudian, monopoli pengangkutan limbah, pembajakan, pencurian kargo udara, hingga distribusi obat-obatan seperti heroin atau morfin. Untuk contoh terakhir ini La Cosa Nostra bahkan menguasai sekitar 80 persen perdagangan heroin di New York dan sekitarnya.
Untuk mewujudkan kekuasaannya, La Cosa Nostra seringkali menggunakan kekerasan. Mereka tak ragu memeras, mengintimidasi, dan membunuh orang-orang yang dianggap mengganggu jalan bisnisnya.
Bersimbah Darah
Masa kejayaan Cosa Nostra juga ditandai dengan munculnya banyak konflik, baik dari lingkup internal maupun eksternal.
Dari sisi internal, masalah muncul dari Luciano Leggio. Sebagaimana ditulis John Dickie dalam Cosa Nostra (2001), pada awal 1970-an, Leggio merupakan bos dari klan Corleone. Ia punya ambisi yang besar: mendominasi Cosa Nostra dan bisnis narkotiknya. Dalam mewujudkan misinya, Leggio dibantu tangan kanannya, Salvatore Riina.
Keduanya kemudian menempuh berbagai cara: memecah belah klan, menyingkirkan dan membantai mereka yang tak sepaham, hingga memanipulasi aturan main mafia. Hasilnya pun tak main-main. Selain sukses menghantarkan Leggio (dalam perkembangannya digantikan Riina) duduk di kekuasaan Cosa Nostra, cara yang mereka pakai juga berandil dalam tewasnya ratusan mafioso dari klan lain.
Tak cuma menghabisi anggota klan, Leggio dan konco-konconya juga gencar membunuh jurnalis, pejabat, sampai polisi yang dinilai menentang kelompoknya. Aksi brutal itu membikin kepolisian frustasi. Pasalnya, keinginan untuk meringkus mereka terbentur keadaan: banyak saksi memilih tiarap karena takut dibantai mafia. Periode kekerasan domestik ini kerap disebut dengan Years of Lead.
Pemandangan itu nyatanya tak membuat dua orang hakim, Giovanni Falcone dan Paolo Borsellino, takut. Pada 1980-an, mereka memulai melancarkan perlawanan terhadap Cosa Nostra. Aparat perlahan berhasil menangkap satu per satu para pentolan mafia. Salah satunya yaitu Tommaso Buscetta. Kesaksian mereka menuntun Falcone dan Borsellino untuk memperoleh barang bukti kejahatan Nosa Costra.
Puncak perlawanan keduanya terjadi saat Maxi Trial (Persidangan Maxi) diselenggarakan pada Februari 1986 sampai Desember 1987. Persidangan ini sukses menyeret 474 mafiosi sebagai tersangka, dengan 342 di antaranya divonis hukuman, atas tindak kejahatan yang mereka lakukan.
Tak terima dengan cara pemerintah, Nosa Costra pun membalas. Pada Mei 1992, Falcone dibunuh dengan bom TNT di jalan raya dekat Capaci. Dua bulan setelahnya, giliran Borsellino yang dihabisi dengan bom yang dipasang di mobilnya. Tak sebatas itu saja, kelompok mafia juga menyerang tempat-tempat publik macam Via dei Georgofili di Florence, Via Palestro di Milan, Piazza San Giovanni di Laterano, sampai Via San Teodoro di Roma. Serangan menyebabkan 10 orang tewas dan 93 orang lainnya luka-luka.
Teror mafia membikin pemerintah muntab. Mereka lalu menangkap Riina dan menghukumnya penjara seumur hidup karena dianggap menjadi dalang atas 150 kasus pembunuhan. Usai Riina ditangkap, kepemimpinan Cosa Nostra dipegang oleh Leoluca Bagarella. Pada 1995, Bernando Provenzano naik tahta menggantikan Bagarella yang ditangkap polisi. Di bawah komando Provenzano, Cosa Nostra sepakat menghentikan kampanye kekerasan. Perubahan ini terangkum dalam Pax Mafiosa.
Segala dinamika ini berdampak langsung pada kerja-kerja Cosa Nostra. Bisnis mereka mulai kolaps. Di lini perdagangan obat-obatan ilegal, misalnya, Cosa Nostra terpaksa harus menyerahkan dominasinya kepada Ndrangheta, kelompok mafia dari Calabria.
Ketiadaan sosok pemimpin macam Riina juga makin memperkeruh situasi. Riina, yang ditahan di sel penjaranya di Parma, tak bisa leluasa memberi pengarahan terhadap jalannya organisasi. Pada November 2017, Riina meninggal dunia. Kepergian Riina membikin Cosa Nostra menjadi berantakan meskipun secara formal organisasi ini masih ada.
“Kematian Riina menandai berakhirnya sebuah era,” ungkap Federico Varese, pakar mafia dari Universitas Oxford, kepada The Guardian. “Anda bisa membandingkannya dengan [raja obat Kolombia] Pablo Escobar. Keduanya meluncurkan serangan langsung terhadap negara dan menciptakan serangan balasan.”
Tewasnya Riina praktis meninggalkan celah kosong kepemimpinan. Anggota Cosa Nostra yang tersisa sepakat membangun organisasi dari nol. Lini bisnis gelap kembali dihidupkan, aliansi dengan sindikat lain perlahan digalakkan. Kendali organisasi lantas dipegang oleh sosok bernama Settimo Mineo.
Namun, niat tersebut harus kandas tatkala pada awal Desember lalu, otoritas Italia meringkus 46 orang—termasuk Mineo—yang diduga sedang berkomplot mempersiapkan aksi kriminal. Menteri Dalam Negeri Itali, Matteo Salvini, menyebut penangkapan itu sebagai “operasi yang luar biasa.” Ia juga mengklaim bahwa pemerintah telah berhasil “membongkar Cosa Nostra yang baru.”
Aparat berkali-kali mencoba membungkam mafia. Tapi, agaknya, di Italia, mafia akan terus hidup. Seperti halnya pizza, pasta, dan AS Roma.
Baca juga artikel terkait MAFIA atau tulisan menarik lainnya Faisal Irfani