Nestapa Pedagang Pulsa di Masa Akhir Registrasi SIM Card
Khoir, 38 tahun, sehari-hari berdagang pulsa dan aksesori ponsel di kiosnya yang ada di Tebet Barat, Jakarta Selatan. Ia rutin melakukannya selama 15 tahun terakhir, membuka dagangan sejak pukul 9 pagi hingga 21 malam.
Namun, segalanya berubah setelah pemerintah mengumumkan ketentuan soal kebijakan registrasi ulang menjelang Oktober tahun lalu hingga akhir Februari 2018.
Puncaknya terjadi pada Senin (2/4) kemarin. Khoir memilih bergabung bersama ribuan pengusaha kios pulsa lainnya di gerbang selatan Monas untuk menyelenggarakan aksi long march ke Gedung Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) dan Istana Merdeka.
Sepanjang aksi itu, ia tak bosan-bosannya mengacungkan spanduk protes bertuliskan: "Menolak kebijakan yang berpotensi menurunkan omzet dan mematikan bisnis konter pulsa."
Demonstrasi ini diorganisir oleh Kesatuan Niaga Celluler Indonesia (KNCI). Empat hari sebelum protes berlangsung, seorang anggota KNCI datang ke kios pulsanya, datang mengabarkan jadwal protes. Khoir menyanggupinya tanpa berpikir panjang.
Ia bersama orang-orang yang senasib menentang kebijakan pemerintah, terutama Pasal 11 Peraturan Menteri Kominfo Nomor 21 Tahun 2017 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Menteri Kominfo Nomor 12 Tahun 2016 tentang Registrasi Pelanggan Jasa Telekomunikasi.
Dalam beleid tersebut, satu NIK KTP-elektronik hanya boleh dipakai untuk registrasi tiga kartu seluler saja. Registrasi juga hanya bisa dilakukan lewat gerai resmi milik operator penyelenggara jasa telekomunikasi.
Menurut Khoir, aturan tersebut bakal menyusutkan omzet penjualan kartu perdana internet, padahal sudah tiga tahun ini dari sanalah pemasukan terbesarnya berasal.
"Keuntungan bersih penjualan kartu perdana internet sekitar Rp400 ribu sehari. Sehari bisa 100 kartu yang terjual," kata Khoir kepada Tirto. Sementara penjualan pulsa biasa, kata dia, "sudah lama menurun."
Sebelum tiarap seperti sekarang, bisnis kios pulsa pernah mengalami masa kejayaan, terutama ketika telepon genggam menjadi barang yang tak lagi begitu mahal sehingga dapat dibeli banyak orang.
Khoir masih ingat, ketika pertama berdagang pada 2003, ia hanya menjual voucher pulsa dan aksesori. Tiga tahun setelah itu, kios yang diberi nama MS Phone itu juga mulai membuka jasa servis ponsel dan pemasangan aplikasi.
"Modal awal saya cuma Rp2 juta, tapi bisnisnya cepat berkembang waktu itu," kenang Khoir.
Awal 2014 aplikasi pesan instan seperti BlackBerry Messenger, WhatsApp, LINE dan sebagainya semakin banyak dipakai orang. Dari sana bisnis Khoir melebar. Ia mulai menjual paket internet kartu perdana meski awalnya tak begitu laku.
"Puncaknya 2015 waktu banyak yang pakai sinyal 4G, sebagian besar pendapatan dari kartu SIM," ujarnya.
Khoir mengaku laba bersih yang bisa ia peroleh Rp400-600 ribu per hari. Uang itu, kata dia, cukup untuk menghidupi tiga orang anak dan satu istri. Ia juga bisa membayar pegawai dengan gaji Rp3 juta per bulan dan sewa kios Rp20 juta per tahun.
"Kalau ada lebih kadang kasih pegawai sebagai bonus," ujarnya.
Apa yang dialami Khoir pada masa itu juga dirasakan banyak pedagang kios kartu perdana lainnya. Tidak heran kalau ketika itu kios pulsa semakin menjamur.
Roswan, pengusaha pulsa dan aksesori lain asal Bubulak, Bogor, bercerita bahwa dirinya berhenti bekerja sebagai karyawan dan mulai menjual kartu seluler paket internet kartu perdana pada 2013. Dalam kurun dua tahun, ia mampu membuka cabang di daerah Cimayang, tak jauh dari kios pertamanya yang diberi nama Roswan Ponsel.
Ia mengaku merogoh tabungan untuk modal sebesar Rp5 juta. "Beberapa bulan modal balik dan untung dua kali lipat," katanya.
Sama seperti Khoir, Roswan memulai usahanya dengan menjual pulsa elektrik dan aksesori ponsel. Namun, kata dia, sejak awal berdagang penjualan pulsa tak begitu laku. Orang-orang lebih banyak pakai paket internet kartu perdana. Ia memang mulai berdagang ketika smartphone mulai menjamur.
"Makanya SIM card paket internet waktu itu saya borong. Laku semua."
Ketentuan terkait penggunaan kartu seluler yang dibatasi sebagai konsekuensi dari registras ulang Sim Card, membuatnya khawatir omzet penjualan akan merosot dari kartu perdana. Ia merasakan hal tersebut sejak pemerintahan mewajibkan validasi kartu seluler menggunakan NIK dan Kartu Keluarga.
"Mungkin, orang-orang mengira kalau beli kartu paket internet (perdana) sudah enggak bisa, karena sudah registrasi kartu SIM."
Logikanya, meski dibatasi pemasukan lain dari penjualan pulsa atau paket seharusnya tak terganggu. Namun hal itu tidak terjadi. Pendapat Roswan, hal ini karena "orang-orang sekarang cenderung beli pulsa pakai Go-Jek atau lewat bank."
Keresahan ini tidak hanya dirasakan pemilik kios pulsa. Para karyawan juga merasakan hal serupa. Soalnya gaji yang diterima mereka cenderung di bawah Upah Minimum. Pemasukan tambahan tergantung pada jumlah transaksi yang terjadi. Makin sedikit transaksi, makin kecil pula pendapatan tambahan mereka.
Hal inilah dialami Andri, pekerja Owl Ponsel asal Tangerang, yang juga ikut dalam barisan demonstran. Setiap hari, transaksi penjualan di atas 80 transaksi, atasannya akan memberikan bonus sebesar Rp25 ribu.
"Delapan puluh transaksi itu pulsa sama kartu SIM (perdana). Misalnya dapat 160 transaksi tinggal dikalikan dua [Rp50 ribu]. Kan lumayan satu hari kalau bisa sampai segitu," ucapnya.
Janji Pemerintah
Pukul 14.00, lima orang perwakilan demonstran diundang masuk Istana untuk beraudiensi dengan Deputi Bidang Hubungan Kelembagaan dan Kemasyarakatan Kementerian Sekretariat Negara, Dadan Wildan, dan perwakilan Komisioner Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia, Agung Haryoso.
Ketua KNCI Qutni Tisyari, mengatakan hasil dari audiensi tersebut adalah pemerintah bakal mengambil jalan tengah. Pembatasan registrasi tiga kartu SIM tetap berlaku untuk masyarakat umum, tapi tidak berlaku untuk kios. Dengan kata lain, kios pulsa bisa melakukan registrasi lebih dari tiga kali.
Idenya, bagi konsumen yang ingin melakukan registrasi kartu seluler keempat dan seterusnya, maka tidak bisa lagi dilakukan mandiri lewat SMS. Mereka harus mendatangi gerai resmi dan kios pulsa milik masyarakat dengan tetap membawa serta KTP dan KK.
"Yang meregistrasi kios tapi sistemnya sama dengan yang ada di gerai operator," kata Qutni.
Menurutnya, solusi tersebut dapat diterima lantaran tujuan agar konsumen terlindung dari tindak pidana seperti penipuan melalui pesan singkat atau telepon yang marak terjadi tetap dapat dilakukan. Dengan adanya validasi kartu seluler di kios-kios, pemerintah dapat tetap menelusuri identitas pemilik nomor. Di sisi lain, pedagang paket kartu perdana masih bisa mendapatkan kesempatan mengais keuntungan dari sistem yang sebelumnya tak ada pembatasan registrasi tiga nomor.
Ia berharap pemerintah serius untuk menjalankan hal tersebut. Sebab janji itu sebetulnya hanya pengulangan, sama seperti yang pernah dikatakan pemerintah pada 7 November tahun lalu. "Hanya keputusan itu tidak dilaksanakan oleh Kominfo," ujarnya.
Persoalannya apabila pemerintah melunak dengan memberikan kesempatan registrasi ulang lebih dari tiga kepemilikan nomor ponsel, apakah bisa menjamin persoalan keamanan yang selama ini jadi konsen pemerintah dalam program registrasi ulam Sim Card bisa tercapai?
Di sisi lain, para pedagang kios pulsa atau paket data kartu perdana sudah sangat bergantung dengan bisnis paket kartu perdana. Dan konsumen pun sudah telanjur ketagihan dengan tawaran biaya yang lebih murah dibandingkan paket reguler. Sehingga peran dari vendor atau perusahaan telekomunikasi juga berperan mencari solusi masalah ini.
Baca juga artikel terkait KIOS PULSA