Home
/
News

Ngobrol Cantik Bareng Ira Koesno

Ngobrol Cantik Bareng Ira Koesno

TEMPO.CO26 January 2017
Bagikan :

“Saya di-sweetbully,” kata Ira Koesno menanggapi beragam komentar masyarakat setelah dia memandu debat Pilkada DKI Jakarta pada Jumat, 13 Januari 2017. Walau merasa jadi korban, Ira Koesno mengaku rela karena dengan begitu, masyarakat akan mencari tahu seperti apa jalannya debat calon kepala daerah. “Alhamdulillah, akhirnya tujuan debat (mengeksplorasi visi dan misi setiap pasangan calon) tercapai, meski dengan cara yang muter-muter.”

Perbincangan dengan Ira Koesno pada Jumat sore, 20 Januari 2017 di sebuah kafe di kawasan Menteng, Jakarta Pusat, berlangsung gayeng berseling canda. Ira Koesno menceritakan berbagai hal tentang dirinya. Karier yang hampir kandas sampai ada pertolongan ‘juru selamat’ yang tak pernah dia lupa, dikatain kampungan, hingga urusan pribadi –yang sesekali membuat dia balik bertanya, “apa perlu ya?”. Tapi demi menjawab penasaran masyarakat, akhirnya meluncur pernyataan dari bibirnya.

Bagi Ira Koesno, “Life Begins at 40” -judul lagu yang dibuat John Lennon pada 1980 ini, bak mantra yang nyata adanya. Di usia 46 tahun, Ira Koesno membuat netizen gagal fokus ketika menjadi moderator debat Pilkada Jakarta. Simak wawancara lengkap dengan Dwi Noviarti Koesno berikut ini:

Bagaimana Ira Koesno memandang perbincangan yang terjadi pasca-debat Pilkada?
Debat ini dimaksudkan mengelaborasi pertanyaan dan setiap pasangan calon memaparkan visi dan misinya supaya warga Jakarta lebih yakin, siapa sih yang mau dipilih dan siapa yang terbaik untuk memimpin Jakarta. Debat bukan untuk membuat mereka (pasangan calon kepala daerah) tergagap-gagap. Dari awal saya diwanti-wanti bahwa bintangnya adalah para pasangan calon itu.

Pas selesai, kok malah banyak sekali meme tentang saya. Ini distraksi namanya. Sebagai orang komunikasi, saya merasa sedih karena tujuan debat tidak tercapai. Sama sekali enggak ada niatan seperti itu (mengalihkan perhatian dari paslon). Tapi kemudian orang penasaran tentang saya, dan otomatis mereka melihat lagi tayangan debat. Alhamdulillah, akhirnya tujuan debat tercapai, meski dengan cara yang muter-muter dan ada yang jadi ‘korban’. Saya di-sweetbully.



Netizen penasaran, apa rahasia tampil segar Ira Koesno?
Umur sudah di atas 40 tahun, ya harus dijaga. Tujuannya bukan sekadar langsing lalu enak dipandang, tapi demi sehat. Dengan tinggi badan 168 sentimeter, saya selalu menjaga berat badan antara 57-59 kilogram. Kalau di bawah itu, saya jadi kurus banget, tapi kalau di atas itu, bobot bisa cepat naik.

Saya konsultasi ke beberapa dokter, yakni dokter penyakit dalam konsultan endokrin metabolik, karena saya cenderung hipotiroid, dokter gizi, dan dokter kulit. Yang jelas bukan yang beredar itu ya (sebelumnya tersiar kabar Ira Koesno berkonsultasi dengan dokter kulit di sebuah klinik kecantikan di kawasan Senopati, Jakarta Selatan). Itu hoax. Lalu siapa dokternya? Itu rahasia dong.

Saya punya menu diet yang harus diterapkan kalau berat badan sudah mulai naik. Soal makan, saya bisa menghindari nasi, tapi paling enggak tahan kalau ketemu brown bread (roti ala Eropa). Pernah satu kali saya pengen banget makan brown bread tapi sedang diet. Dokter malah menyuruh saya makan itu karena kata dia, ‘daripada kamu enggak bisa tidur malam cuma karena kepengen roti itu, ya cuil aja’. Diet itu harus dinikmati dan jangan sampai menyiksa diri. Nanti ujung-ujungnaya malah enggak turun-turun berat badan.

Untuk olahraga, dulu saya rutin pilates dua kali seminggu, dan treadmill. Tapi sekarang jadwalnya berantakan. Sekarang mau ambil latihan yang menitikberatkan pada otot supaya enggak gampang capek, baru jalan sebentar udah ngos-ngosan. Tapi jangan sampai berotot. Duh, kalau sudah 40 tahun itu ya, harus dijaga.

Cukup tidur juga harus ya. Saya beruntung menjadi orang yang gampang terlelap. Saya malah bingung saja orang yang mengeluh susah tidur, kok bisa ya? Ha…ha…ha…


Seperti apa pilihan fashion Ira Koesno?
Untuk busana sehari-hari, saya lebih suka pakai celana panjang ketimbang rok, karena lebih leluasa bergerak. Warna pakaian favorit adalah hitam, merah, dan putih. Ada juga warna coklat karena dia netral.

Gara-gara sebagian besar baju saya warnanya itu, Ibu sampai bilang, ‘bajumu kayak enggak ganti ya nduk’. Jadi, kalau saya pakai baju dengan warna selain itu, pasti langsung digodain, ‘cie… cie... baju baru’. Entah kenapa saya tidak suka warna biru –yang cenderung disukai banyak orang. Saya akui biru itu warna yang bagus dan saya mencoba menyukai.

Terkait warna biru ini, waktu debat kemarin, saya memang menolak pakaian yang disediakan penyelenggara karena warnanya enggak saya banget. Saya dikasih baju luaran warna biru telur asin, dan dalamannya pink. Bukan apa-apa, saya enggak mau bicara di depan dan tergagap-gagap cuma karena enggak nyaman.

Nah, pilihan warna busana penting saat debat karena dilarang punya preferensi kepada salah satu pasangan calon. Sedangkan pilihan warna dari saya sudah jelas, putih dan merah enggak bisa. Kalau hitam, itu panggung debat background-nya gelap, jadi enggak boleh. Sebab itu, warna busananya jatuh ke coklat muda.

Saya juga pernah pakai baju yang saya tak sadar kalau itu tidak cocok. Waktu itu saya pede banget pakai baju yang ada polanya untuk memandu sebuah acara. Setelah selesai, bos memanggil saya dan dia bilang, ‘Ira, kamu jangan pernah lagi pakai sesuatu yang bermotif, berpola, secara jelas di badan kamu. Kamu (tampak) kampungan!’.

Saya marah dong ya, kok sampai dikatain kampungan! Tapi saya ngaca lagi, ternyata benar juga. Itu diksi yang tepat sekali. Sampai sekarang saran itu berpengaruh kepada pilihan berbusana. Saya tak bisa mengenakan pakaian yang ada motifnya. Mungkin di orang lain bisa terlihat keren, tapi saya enggak pede.

Sepatu, saya biasa pakai minimal yang tingginya 7 sentimeter. Kalau pakai heels yang lebih tinggi lagi atau yang seperti buat model, saya juga enggak sanggup. Untuk pPilihan aksesoris juga sudah mengikuti umur. Semakin ke sini saya merasa less is more. Jadi, paling pakai cincin saja. Kecuali kalau ada pertemuan khusus, baru saya tambahkan aksesoris yang simple, seperti gelang, kalung, tapi juga bukan yang rame.

Seperti apa karakter makeup Ira Koesno?
Meski kurang intensif mengikuti perkembangan di dunia kosmetik, saya terkadang mencari tahu seperti apa tren makeup saat ini lewat majalah fashion atau Internet. Jangan sampai sekarang bukan zamannya makeup cat eye, saya masih pakai itu. Kan enggak banget.  Saya juga enggak pakai jasa makeup artist karena terbiasa dandan sendiri. Tinggal lihat tutorialnya di YouTube.

Dan yang paling penting buat saya adalah kulit bersih. Beberapa kali ketiduran dengan makeup masih menempel, dan di tengah tidur pasti saya bangun karena wajah jadi gatal. Bersihkan, pakai krim malam –itu wajib, lalu tidur lagi.

Mengenai pilihan produk kecantikan kulit, saya punya pengalaman tidak menyenangkan saat menggunakan serum anti-aging. Setelah beberapa kali pakai, saya konsultasi ke dokter kulit, dan kata dia ada bercak-bercak dan kulit jadi tambah gelap. Dokter sampai mengira saya habis liburan ke pantai, padahal tidak. Kalau tidak cocok dengan produk makeup tertentu, reaksinya pada kulit saya biasanya ke perubahan warna, bukan muncul jerawat.

Ira itu paling panik kalau ketinggalan tas kosmetik. Misalnya ditinggal sendirian di pulau, kalau boleh satu saja jangan sampai enggak ada: kotak kosmetik. Di dalamnya ada concealer, lipstik, pelembap bibir, foundation, pinsil alis, sikat alis, maskara, eyeliner, penjepit bulu mata, kuas blush on yang kecil. Tidak ada eye shadow karena sudah pakai eye liner.

Soal budget kecantikan, ya ampun. Ha..ha..ha…


Apa saja pengalaman tentang karier yang mendebarkan?
Waktu saya menjadi moderator di debat calon presiden yang pertama pada 2004. Jika saat itu media sosial sudah sebesar sekarang, mungkin sudah habis saya di-bully.  Benar-benar bully yang pahit, beda dengan sekarang sweetbully.

Saat itu, banyak yang menilai saya kasar dalam memotong. Tapi buat saya, aturannya kan sudah jelas, setiap calon dapat jatah bicara sekian menit, bel juga sudah berbunyi, kalau melewati itu, ya harus dipotong.

Ketika saya melihat ulang tayangannya dan membaca review di berbagai media, saya lihat kok jadi begini (banyak komentar negatif). Misal, dari sepuluh orang, delapan diantaranya bilang kamu bagus, dan dua orang menilai jelek, ya sudah. Tapi dari sepuluh orang, ada delapan atau sembilang orang yang bilang kerjamu jelek, maka yang salah kamu. Saya mungkin betul menjalankan tugas sebagai moderator, tapi apakah cara saya sudah cukup sesuai?

Saya hampir di-cut untuk debat capres kedua. Saya sudah pasrah. Tapi kenyataannya penyelenggara debat masih memberikan kepercayaan kepada saya. Belakangan, saya baru tahu ada peran dari Pak Hamid Awaluddin (anggota KPU) dan almarhum Nazaruddin Sjamsuddin (Ketua KPU).

Mereka menilai, kalau Ira ditarik (tak lagi menjadi moderator debat kedua pada pilpres), habis kariernya. Dari situ maka dibuatlah aturan untuk memperbaiki kekurangan di debat capres sebelumnya. Pak Nazaruddin bilang kepada saya, ‘Kamu tetap ya. Pokoknya semangat’. Saya benar-benar menghargai upaya mereka.

Selama menjadi wartawan, saya paling berkesan saat ditugaskan ke Aceh untuk program embedded journalist, pasca-rekonsiliasi pemerintah dengan Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Ternyata nama-nama kami (wartawan) bocor ke GAM, sehingga ada kekhawatiran terkait keamanan.

Terkait karier, kenapa memilih menjadi konsultan public relations dengan bendera Ira Koesno Communication, bukan jurnalis?
Being journalist is not in my blood. Artinya, pada satu titik saya akan merasa bosan dan passion saya bukan menjadi jurnalis, melainkan di komunikasi. Saya tidak mau menjalani hidup yang biasa-biasa saja. Karenanya saya harus pindah sesuai passion, yakni media dan publikasi.

Bapak saya seorang dokter anak, tapi saya tidak mau mengikuti jejaknya karena trauma. Waktu kecil, tempat praktik bapak jadi satu dengan rumah di Kemayoran, Jakarta Pusat. Saat itu, hampir setiap malam ada saja pasien datang, ketok-ketok pintu dan memaksa dilayani sampai memaki-maki. Padahal dokter kan juga butuh istirahat. Dari situ saya berpikir, jadi dokter itu enggak enak. Ternyata waktu jadi jurnalis, ya sama aja kerjanya kayak gitu. Ha…ha…ha…

RINI K | DINI TEJA

Berita Terkait:

populerRelated Article