Orang Ngapak Bukannya Kasar, Tapi Blak-blakan dan Apa Adanya
Prabowo Subianto meminta maaf. Dalam Debat Pilpres ke-4 di Hotel Shangri-La, Jakarta, Sabtu (30/3/2019), calon presiden nomor urut 02 itu beberapa kali menaikkan volume bicara. Prabowo menegaskan bukan karena dirinya kasar, tapi karena ia keturunan orang Banyumas.
“Maaf, Pak. Suara saya keras. Saya ini setengah Banyumas, setengah Minahasa. Bapak kan Solo, halus. Jadi kalau Banyumas itu ‘batak’-nya orang Jawa,” katanya.
Ayah Prabowo, Soemitro Djojohadikoesoemo, memang lahir di Kebumen pada 29 Mei 1917. Kakeknya, Margono Djojohadikusumo, lahir di Purbalingga pada 16 Mei 1894. Margono pernah belajar di sekolah dasar Europeesche Lagere School (ELS) Banyumas dari 1900 hingga 1907. Usai lulus, ia pernah berdinas sekaligus aktif di Partai Indonesia Raya (Parindra) di Cilacap.
Bahasa Banyumasan, atau yang lebih akrab disebut sebagai Bahasa Ngapak, adalah kelompok bahasa Jawa yang digunakan oleh masyarakat di Jawa Tengah bagian barat. Lebih tepatnya di dua eks-karesidenan, Banyumas dan Pekalongan.
Eks-Karesidenan Banyumas meliputi Banjarnegara, Purbalingga, Banyumas, Cilacap, plus Kebumen. Eks Karesidenan Pekalongan yakni Tegal, Brebes, Pemalang, Batang, dan Pekalongan. Dialek Banyumasan juga terdengar ke Cirebon dan wilayah Jawa Barat yang berbatasan dengan Jawa Tengah lain, tapi sudah tercampur bahasa dan dialek Sunda.
Sejumlah ahli bahasa Jawa menyebut Bahasa Banyumasan sebagai bentuk Bahasa Jawa asli atau yang orisinal. Salah satunya adalah H. Budiono Herusatoto dalam bukunya Banyumas: Sejarah, Budaya, Bahasa dan Watak (2008).
Budiono mencatat bahasa Jawa yang digunakan masyarakat di daerah Solo, Yogyakarta dan sekitarnya (non-Ngapak) dinamakan bahasa Jawa baku. Bahasa Jawa baku adalah perkembangan terakhir setelah melewati lima tahap sejarah bahasa Jawa yang terbentuk pada zaman Pujangga Baru pada abad ke-18.
“Sedangkan bahasa Ngapak adalah bahasa Jawa tahap awal yang disebut tahap bahasa Jawadwipa. Artinya bahasa dari orang yang tinggal di Pulau Jawa, yang konon adalah Jawa murni (pure Javanesss language). Istilah lainnya bahasa ngoko lugu,” tulis Budiono.
Kekhasan Bahasa Banyumasan terdapat pada bunyi vokal “a” pada banyak kata, terutama dalam akhirannya. Dalam Bahasa Jawa Solo atau Yogyakarta bunyi vokalnya berubah jadi “o”. Misalnya, jika di Purbalingga orang ingin makan “sega” (nasi), di Solo orang makan “sego”. Jika di Purwokerto sembilan adalah “sanga”, di Yogyakarta jadi “songo”.
Perbedaan selanjutnya ada pada intonasi atau cara mengucapkan. Dalam Bahasa Banyumasan konsonan g, k, d, dan b diucapkan keras dan jelas, sementra di Solo atau Yogyakarta tidak.
Misal, akhiran “kreteg” di Banyumasan tetap menjadi “g,” sementara di Solo menjadi “k” (kretek). Atau akhiran “k” di kata “bapak” terdengar jelas di Banyumasan, sementara di Yogyakarta hampir tak terdengar. Demikian juga “jagad” yang menjadi “jagat” atau “lembab” berubah ke “lembap”.
Perubahan-perubahan itu erat kautannya dengan kemunculan kerajaan-kerajaan di Pulau Jawa sehingga memunculkan kulur feodalisme. Dampaknya, Bahasa Jawa dibuat bertingkat-tingkat berdasarkan status sosial.
Moedjanto dalam bukunya Konsep Kekuasaan Jawa: Penerapannya oleh Raja-raja Mataram (1987) menegaskan perkembangan tersebut sebagai cara Kerajaan Mataram untuk berkuasa tidak hanya dari segi militer atau teritori, tapi juga bahasa. Dengan kata lain, bahasa Jawa baku diciptakan untuk membedakan bahasa lingkaran keraton dan yang jauh darinya.
Saat kedua varian bahasa itu dibandingkan penggunaannya, menurut sejarawan Unair Surabaya Purnawan Basundoro, wajar jika yang muncul adalah kesan Bahasa Banyumasan itu kasar dan bahasa Solo/Yogyakarta itu halus. Namun ia tidak sepakat jika “kasar” yang dimaksud berkonotasi negatif.
“Bukan keras sebenarnya, tapi lebih ke sifat blak-blakan dan terbuka. Istilahnya cablaka atau blakasuta. Mungkin memang mirip dengan orang Batak yang suka bicara apa adanya. Ini secara faktual maupun stereotip, tapi tentu bukan dalam konotasi yang negatif,” katanya melalui telepon, Senin (1/4/2019).
Purnawan lahir dan besar di Banjarnegara, lalu menjalani masa kuliah hingga meraih gelar doktoral di Yogyakarta, sehingga cukup memahami polemik Bahasa Banyumasan.
Kultur cablaka atau blakasuta ia amati sebagai penyebab mengapa orang Banyumasan tergolong susah menyimpan rahasia. Ia menganalogikannya dengan filosofi blankon. Lebih tepatnya blankon orang Mataraman yang memiliki bagian menonjol di belakang.
“Itu sering diartikan sebagai sikap menyembunyikan maksud sebenarnya. Misalnya di depan nampak baik-baik saja tapi di belakang sebenarnya dendam. Itu tidak dikenal di Banyumasan, sebab model blankonnya saja cuma ditali tanpa ada yang menonjol di belakang.”
Penulis buku Arkeologi Transportasi: Perspektif Ekonomi dan Kewilayahan Karesidenan Banyumas 1830-1940-an (segera terbit) itu sepakat jika akarnya adalah orang Banyumasan jauh dari pusat kebudayaan Jawa, baik kerajaan Mataram maupun Surakarta.
Orang Solo, ia misalkan, punya beban untuk menjaga kehalusan dalam berkomunikasi karena tumbuh di lingkungan keraton yang menjunjung kultur kepriyayian. Kultur ini mula-mula terbentuk di dalam tembok istana, lalu menyebar ke masyarakat sekitar sebagai semacam patokan unggah-ungguh.
Budiono Herusatoto juga membahas isu ini dengan meminjam filosofi Jawa "bahasa sebagai pakaian bangsa". Kultur keraton mengatur jenis dan cara berpakaian menurut tingkatan adab bahasa dan jenjang jabatan/pekerjaan. Identitas masing-masing warga atau komunitas terbentuk berdasarkan aturan itu.
“Orang Banyumas tidak memiliki beban itu. Sesuai peribahasan adoh ratu, cedak watu (jauh dari ratu, dekat dengan batu). Kerap dituduh bahasa masyarakat kelas bawah berdasarkan pandangan feodalisme. Tapi justru itu yang membuat kultur masyarakat Banyumas lebih setara (egaliter),” jelas Purnawan.
Purnawan kemudian mengasosiasikan orang Banyumas dengan Bawor, tokoh pewayangan yang dalam dunia pewayangan Solo atau Yogyakarta dikenal dengan nama Bagong. Anak bungsu Semar ini disebut Bawor hanya di dunia pewayangan Banyumasan.
Bawor punya karakteristik jujur, sederhana, dan apa adanya. Sesuai dengan karakter orang Banyumasan, ia adalah personifikasi sifat cablaka itu sendiri. Saking khasnya, Bawor jadi maskot Kabupaten Banyumas dan nama durian montong khas daerah tersebut.
Pada perkembangannya, alih-alih bangga dengan bahasa ibu, pelabelan “kasar” dalam konotasi negatif membuat banyak orang Banyumasan tidak memakai bahasa Banyumasan saat berkomunikasi dengan orang non-Banyumas. Minimal menipiskan dialeknya karena sering dijadikan bahan tertawaan.
Fenomena ini disebutkan Budioho Herusatoto dalam bukunya, juga dalam riset-riset sosial di perguruan tinggi. Misalnya merujuk pada tugas akhir Sukma Imam Susmono dari Fakultas Psikologi UII Yogyakarta, bertajuk Konsep Diri Berbahasa: Dimensi Psikologis Penggunaan Bahasa Pada Penutur Bahasa Banyumasan (2006).
Para respondennya adalah mahasiswa asal Cilacap di Yogyakarta, yang rupanya merasa rendah diri sebagai penurut dialek Ngapak. Susmono mencatat mereka secara psikologis terganggu dengan stereotipe bahasa dan dialek Ngapak yang dianggap marjinal (pinggiran), sehingga enggan menggunakannya.
Purnawan menyayangkannya. Namun ia bisa mengerti bahwa bahasa Banyumasan memang terdengar lebih kasar jika dibandingkan dengan bahasa Jawa Solo atau Yogyakarta. Beruntung orang Banyumas juga punya selera humor yang tinggi sebagai penyeimbang, katanya.
“Bagi yang tidak percaya diri atau berjiwa besar ya begitu. Padahal niatnya kan bukan karena ingin menantang, dan lebih gampang jujur. Ini karena miskomunikasi saja. Untungnya orang Banyumasan juga rasa humornya tinggi. Semacam mengimbangi, dan melekat pada sikap utama Bawor: suka melucu.”
Baca juga artikel terkait BANYUMAS atau tulisan menarik lainnya Akhmad Muawal Hasan