icon-category Technology

Paradoks Fermi dan Upaya Ilmuwan Membuktikan Keberadaan Alien

  • 03 Nov 2018 WIB
Bagikan :

Pada musim panas tahun 1950, Enrico Fermi, yang juga dikenal sebagai ‘Bapak Bom Atom’, terlibat diskusi seru dengan sesama fisikawan seperti Emil Konopinski, Edward Teller, dan Herbert York. Diskusi tersebut bermula dari sebuah kartun di majalah New Yorker yang memperlihatkan sosok alien tengah memungut sampah dari jalanan New York.

“Di mana mereka?”, tanya Fermi bertanya kepada rekan-rekannya. Dari pertanyaan itulah muncul sebuah diskursus dalam dunia sains yang hingga kini belum terpecahkan: “Paradoks Fermi”.

Secara definitif, “Paradoks Fermi” (dikenal juga dengan istilah “Fermi Paradox”, “Fermi Question” atau “Silentium Universi”) adalah sebuah paradoks antara keharusan adanya suatu peradaban ekstraterestrial yang jauh lebih cerdas dari kehidupan di bumi, dengan ketiadaan bukti ilmiah apapun tentang keberadaan mereka hingga saat ini.

Sederhananya, Anda percaya bahwa alien itu ada, tapi Anda juga menyangsikan keberadaan mereka karena tak bisa membuktikannya. Untuk menjawabnya, pertama-tama harus dicermati terlebih dahulu bahwa “Paradoks Fermi” memiliki tiga landasan argumen.

Pertama, berdasarkan diagram Hertzsprung–Russell (sebuah teorema dalam astronomi yang ditemukan Ejnar Hertzsprung dan Henry Norris Russell mengenai penciptaan bintang), ada miliaran bintang di galaksi yang strukturnya mirip dengan matahari. Banyak dari bintang-bintang ini yang miliaran tahun lebih tua dari tata surya.

Kedua, berdasarkan kalkulasi yang dilakukan para ilmuwan hingga mendekati probabilitas tinggi, beberapa bintang disebut memiliki kemiripan dengan bumi. Jika hal ini benar sepenuhnya, maka diasumsikan bahwa memang ada mahluk lain yang telah mengembangkan peradaban yang jauh lebih cerdas.

Ketiga, salah satu asumsi mengenai bentuk kemajuan peradaban yang dimiliki “mahluk cerdas” tersebut adalah mampu menempuh penjelajahan antar bintang (interstellar travel), yang masih belum bisa dilakukan oleh mahluk bumi.

Ide mengenai perjalanan antar-bintang sejatinya sudah muncul sejak jaman lampau dalam berbagai kisah fiksi. Namun, kajian matematis mengenai hal tersebut baru berhasil dilakukan pada 1952 oleh Leslie Robert Shepherd, seorang fisikawan yang juga pionir diskursus astronautika dari British Interplanetary Society.

Kajian Shepherd menjadi landasan teoritik Proyek Daedalus (973-1978) dan Proyek Icarus (2009). Dua proyek ambisius yang fokus pada penjelajahan antar bintang ini juga dikembangkan oleh British Interplanetary Society.

Fermi sendiri pada dasarnya tidak percaya jika penjelajahan antar-bintang dapat dilakukan. Skeptisisme Fermi cukup beralasan jika melihat konteks zaman. Saat itu belum ada roket yang menembus orbit, apalagi mencapai planet atau bintang lain. Namun, Fermi tetap mengembangkan pertanyaannya: “Jika memang benar-benar ada kehidupan lain yang lebih canggih di luar bumi, di mana mereka semua? Kenapa tak satupun yang menemui manusia?”

Membuktikan Keberadaan Alien 

Ketika memberikan pertanyaan kepada rekan-rekan fisikawannya, Fermi juga menunjukkan serangkaian perhitungan kasar yang pernah ia lakukan guna mendukung argumennya. Namun begitu, usaha yang lebih serius dengan perhitungan yang juga jauh lebih ketat untuk menjawabnya pertama-tama justru dilakukan oleh seorang ahli astrofisika bernama Michael Hart.

Salah satu kajian yang dilakukan Hart pernah dituliskannya dalam bentuk makalah dan dimuat jurnal Royal Astronomical Society Quarterly pada 1975. Dalam makalah yang berjudul "An Explanation for the Absence of Extraterrestrials on Earth" itu, Hart dengan gamblang meyakini tidak ada peradaban yang lebih maju dibanding kehidupan manusia di bumi.

Di bagian abstrak, ia menulis: “Berdasarkan observasi yang kami lakukan, tidak ada mahluk cerdas dari luar angkasa yang kini hadir di bumi. Hal ini dapat dijelaskan dengan baik melalui hipotesis bahwa tidak ada peradaban lain di luar galaksi kita.”

Walau demikian, ia tetap menyarankan bahwa sebaiknya banyak dilakukan penelitian biokimia untuk mengerucutkan jawaban mengenai hal tersebut.

Bagi Hart, bisa jadi benar bahwa mahluk dari peradaban lain pernah mengunjungi bumi. Namun, itu hanya bisa terjadi jika mereka memulai perjalanannya kurang dari dua juta tahun yang lalu. Hart menguraikan kajian eksploratifnya mengenai “Paradoks Fermi” melalui empat argumen.

1) Alien tidak pernah datang ke bumi karena perjalanan mereka mengalami kendala terkait astronomi, biologi, atau juga secara peralatan mekanis.

2) Alien memang memilih untuk tidak pernah datang ke Bumi.

3) Alien juga baru mengalami peradaban maju sehingga terlalu dini bagi mereka untuk mengunjungi manusia di bumi.

4) Alien pernah mengunjungi Bumi di masa lalu, ketika peradaban manusia belum ada atau karena manusia memang tidak mengamatinya.

Senada dengan Hart, Frank Tipler, seorang profesor fisika dari Tulane University, juga menganggap bahwa mahluk ekstraterestrial tidak ada. Melalui makalah berjudul "Extraterrestrial Intelligent Beings Do Not Exist” yang tayang di jurnal Royal Astronomical Society Quarterly (1980), Tipler berargumen bahwa penjelajahan antar-bintang untuk membuktikan keberadaan alien hanya mungkin dilakukan melalui kecerdasan buatan (Artificial Intelligence) yang dapat menggandakan diri.

Argumen Hart atau Tipler tentunya tidak menjadi pijakan tunggal untuk membahas “Paradoks Fermi”. Salah seorang ilmuwan data sekaligus astronom terkemuka di Amerika, Robert Gray, pernah mengkritik argumen Hart dalam sebuah esai berjudul "The Fermi Paradox Is Not Fermi's, and It Is Not a Paradox", yang tayang di blog Scientific America pada 2016 lalu.

Gray, penulis buku The Elusive Wow: Searching for Extraterrestrial Intelligence (2011), menganggap pemikiran Hart di atas sudah kelewat ajeg dan usang dalam menjelaskan keberadaan alien. Gray menulis:

“Mungkin perjalanan bintang itu mustahil, atau mungkin tidak ada alien yang memilih untuk menjelajah galaksi, atau mungkin kita telah dikunjungi sejak lama dan bukti-buktinya telah terkubur bersama dinosaurus—gagasan tersebut telah tertanam dalam tiap pemikiran mengenai peradaban alien."

Kembali ke “Paradoks Fermi”. Nikola Kardashev, seorang astrofisikawan Rusia yang mendukung teori tersebut, pernah mengajukan argumen mengenai beberapa level peradaban atau yang dikenal dengan istilah “Kardashev Scale”. Menurutnya, ada tiga jenis level peradaban di alam semesta ini.

Peradaban I: Peradaban yang menggunakan planet sebagai sumber energi, bahkan cenderung menghabiskan sumber daya planet itu sendiri. Manusia di bumi kemungkinan berada di level ini, walaupun belum sepenuhnya.

Infografk Fermi Paradox

Peradaban II: Peradaban yang menuai energi dari bintang induk mereka. Manusia tentu belum sampai ke sana. Tapi, pada 1960, seorang fisikawan bernama Freemason Dyson pernah mengajukan sebuah hipotesis yang menempatkan "Peradaban II" sebagai kemungkinan jika peradaban tersebut membuat semacam kubah mega-raksasa yang menutupi bintang, lalu mengubah radiasi panas dari bintang itu menjadi energi. Kubah ini kelak dinamakan "Dyson Sphere".

Hipotesis Dyson tersebut sejatinya terinspirasi oleh novel Star Maker (1937) karya Olaf Stapledon yang menggambarkan bahwa “setiap tata surya dikelilingi oleh semacam perangkap cahaya yang fokus menuai energi matahari untuk digunakan demi mencerdaskan peradaban”.

Peradaban III: Peradaban yang jauh lebih maju dari kedua peradaban di atas karena bukan hanya telah memiliki “Dyson Sphere”, tetapi sudah mampu menuai energi dari seluruh galaksi mereka.

Sebagian ilmuwan sebetulnya telah mengembangkan (lebih tepatnya berspekulasi) level peradaban lain yakni Peradaban IV dan V. Dalam Peradaban IV, selain mampu menuai energi dari seluruh alam semesta, mereka juga dapat menjelajahi galaksi, bahkan diperkirakan bermukim di Black Hole. Sementara level V, mahluk-mahluk di peradaban tersebut sudah serupa Tuhan sehingga dapat memanipulasi alam semesta sesuka hati.

Namun, karena peradaban level IV dan V muskil diketahui lantaran tak ada hitung-hitungan apapun yang mampu menjelaskannya, maka untuk menjawab “Paradoks Fermi”, para ilmuwan membatasinya dengan membandingkan tiga level peradaban saja: I, II, II.

Melalui perbandingan tersebut, planet bumi yang usianya diperkirakan baru sekitar 4,5 miliar tahun, dapat dikatakan masih tergolong dalam peradaban tipe I. Maka dari itu, jika di luar bumi terdapat kemungkinan 0,1% saja peradaban tipe II (lebih-lebih tipe III) dan, katakanlah, usianya telah mencapai sembilan miliar tahun, besar kemungkinan akan/telah terjadi kolonisasi antar-galaksi.

Kenyataannya sejauh ini tentu tidak demikian. “Dyson Sphere” pun juga tidak pernah ditemukan karena sesuatu yang dinamai “The Great Filter”. Teori ini mengasumsikan bahwa ada banyak kehidupan lain di luar bumi, namun nyaris semuanya tak dapat berevolusi karena mengalami bencana seperti supernova, dibombardir meteor, atau gunung meletus.

Bumi, dalam teori “Great Filter”, dianggap sebagai planet yang beruntung karena mampu mempertahankan kehidupan di dalamnya. Manusia pun terus berevolusi menjadi lebih cerdas. Kesimpulan dari teori ini adalah: mungkin hanya kita, manusia, satu-satunya makhluk cerdas yang hidup di jagat raya.

Lalu, selesaikah pencarian alien atau kehidupan lain? Tentu saja tidak.

Pada perayaan ke-46 keberhasilan manusia mendarat di bulan, miliarder Rusia Yuri Milner menyatakan akan menghabiskan dana 100 juta dolar AS demi mencari mahluk ekstraterestrial melalui proyek bernama SETI (Search for Extraterrestrial Intelligence). Pencarian ini juga dimaksudkan untuk mengembangkan teori “Persamaan Drake” ("Drake Equation") yang selama ini digunakan untuk memperkirakan jumlah peradaban ekstraterestrial di galaksi Bima Sakti.

Pada minggu yang sama, NASA juga berhasil menemukan sebuah eksoplanet mirip bumi di luar tata surya yang hanya berjarak 1.400 tahun cahaya. Mereka menamakannya Kepler 452b. Menurut kalkulasi termutakhir para ilmuwan NASA, di antara 200 miliar bintang di galaksi Bima Sakti, terdapat kurang lebih 11 miliar planet yang menyerupai Bumi.

Dari jumlah 11 miliar tersebut, 8,8 miliar planet berukuran sebesar bumi dan berlokasi di zona temperatur yang dapat dihuni manusia (tidak mesti di Bima Sakti), serta berjarak pas dari gugus perbintangan sehingga memungkinkan terjadinya kehidupan. Zona yang memungkinkan terciptanya kehidupan ini dinamakan “Goldilocks Zone”.

Belum lama ini, pada Juni 2018, tiga orang ilmuwan dari Future of Humanity Institute (FHI) di Universitas Oxford, Anders Sandberg, Eric Drexler, and Toby Ord, mengeluarkan sebuah makalah berjudul “Dissolving the Fermi Paradox”.

Dengan melacak distribusi probabilitas dalam parameter “Persamaan Drake” berdasarkan variasi dan perkiraan historis, secara garis besar makalah tersebut menyimpulkan terdapat 50% peluang kehidupan lain di luar sana, dan karena itu, manusia bukan satu-satunya mahluk tercerdas di alam semesta.

Akan tetapi, yang jauh lebih penting bagi mereka bukan menjawab ada atau tidak adanya alien, melainkan bagaimana menghadapi risiko kepunahan peradaban manusia yang akan terjadi dalam waktu dekat.

Terlepas dari segala kesimpulan mengenai “Paradoks Fermi”, pada dasarnya teori tersebut mengajarkan manusia semacam kearifan universal untuk dapat terbuka terhadap setiap kemungkinan. Termasuk kemungkinan yang muskil terbayangkan sekalipun.

Baca juga artikel terkait ALIEN atau tulisan menarik lainnya Eddward S Kennedy

Biar gak ketinggalan informasi menarik lainnya, ikuti kami di channel Google News dan Whatsapp berikut ini.

Bantu kami agar dapat mengenal kalian lebih baik dengan mengisi survei di sini