icon-category Health

Pemanasan Global Bangunkan Bakteri Jahat dari Tidur Panjangnya

  • 26 Oct 2018 WIB
Bagikan :

Perubahan iklim akan mencairkan lapisan es di kutub utara. Tak hanya air laut yang meluap, seluruh bakteri dari dunia kuno yang tersimpan dalam lapisan itu akan kembali hidup dan mengancam manusia.

Black Death of 1358 membunuh setengah dari orang-orang di London dalam waktu 18 bulan, dengan mayat menumpuk dalam kuburan massal. Wabah yang sama kembali melanda Eropa pada 1665, seperlima orang di London meninggal. Total, sekitar 75-200 juta orang di seluruh Eropa kehilangan nyawanya begitu cepat dan yang beruntung terus mengurung diri di rumah dengan sebuah salib merah dilukis di pintu rumah dengan kata-kata “Tuhan, kasihanilah kami.”

Itu adalah wabah Pes, pandemi yang menyebar dari Eropa di abad ke-14 dan ke-19, diduga berasal dari kutu yang memakan tikus yang terinfeksi sebelum menggigit manusia dan memberikan bakteri kepada mereka. Para ahli menunjukkan ada dua sebab dari gelombang besar wabah itu, yakni dari sisa wabah Eropa dan gerombolan tikus baru yang tidak umum yang menyebar dari Eropa utara.

Dan Pes hanyalah salah satu dari wabah dari dunia lama yang para saintis memperkirakan akan segera bangun dari tidurnya. Ada ratusan, ribuan, jumlah yang tak diketahui, bakteri yang tak dikenali, yang bersiap bangkit dari tidur panjangnya. 

Sebagaimana diberitakan Award News sebelumnya, bahwa pada 6 Oktober lalu, di Incheon, Korea Selatan, Panel antarpemerintah tentang Perubahan Iklim –suatu panel ilmiah yang terdiri dari para ilmuwan seluruh dunia bentukan PBB telah menyepakati ‘Laporan Khusus tentang Pemanasan Global 1,5 Derajat Celsius.’

Persoalannya, suhu global yang meningkat akan melelehkan lapisan es. Dan tak hanya air laut yang akan meluap tapi bakteri yang lama terkubur akan menyebarkan penyakit dan berpotensi menyebabkan pandemik global baru. The Times melansir ramalan profesor sejarah global Universitas Oxford Inggris, Peter Frankopan, di Cheltenham Literary Festival pada Jum’at (12/10) lalu. 

Dalam uraian panjangnya, Frankopan memulai dengan menyatakan bahwa “sama sekali tidak ada peluang” komunitas internasional akan mencapai target Kesepakatan Paris tahun 2015 untuk menjaga kenaikan suhu global di bawah 1,5 C, sebagaimana poin utama dalam pertemuan itu. 

"Jika kita membahas perubahan derajat itu, ini bukan tentang Maladewa yang lebih sulit dikunjungi saat liburan atau migrasi orang-orang tapi ini tentang apa yang terjadi ketika permafrost menguap dan pelepasan agen biologis yang telah terkubur selama ribuan tahun," katanya.

Permafrost didefinisikan sebagai tanah-termasuk batuan, tanah, es dan bahan organik lainnya - yang tetap membeku setidaknya selama dua tahun berturut-turut. Permafrost selama ini, dalam waktu ratusan tahun, menutupi sebagian besar garis lintang belahan bumi utara, tetap sayangnya saat ini tak beku lagi. Ketika suhu global meningkat, terutama di daerah kutub, sejumlah besar Permafrost mencair dan berpotensi besar menciptakan sejumlah masalah krusial.

Permafrost mencakup sekitar 25 persen dari semua lahan bebas es di belahan bumi utara. Selama ribuan tahun, sebagian besar tanah ini telah menjadi massa tanah, batu dan es yang di semen, bersama dengan potongan-potongan organisme yang diawetkan dari pembusukan dalam pembekuan yang mendalam. 

Ketika suhu naik, "tanah terbuka memberi jalan," kata arkeolog Jeff Rasic, kepala sumber daya untuk Gates of the Arctic National Park di Alaska seperti dikutip Discover Magazine. 

Pemanasan global akan menyebabkan organisme beku, termasuk patogen yang dapat menginfeksi inang yang hidup, juga mencair. Dan yang terburuk dari hal ini adalah bangkitnya materi organik yang selama ini terperangkap dalam permafrost – mulai dari bangkai mammoth hingga buah kuno. Dengan bakteri dan materi organic kuno yang dilepaskan kembali ke ekosistem Bumi, maka akan ada risiko besar populasi global terkena penyakit yang tidak dapat ditangani.

“Pada 1340-an, 1,5 derajat pergerakan pemanasan atmosfer bumi-mungkin karena percikan matahari atau aktivitas gunung berapi-mengubah siklus bakteri Pestis Yersinia. Perbedaan 1,5 derajat itu memungkinkan mikroba kecil berkembang menjadi Wabah Hitam (Black Death),” jelas Frankopan. 

Balck Death Telah Hadir di Madagaskar

(Penyemprotan anti Pes di Madagaskar. Sumber foto : Dailystar.co.uk)

Prediksi Prof Frankopan, sayangnya, datang di tengah-tengah semakin banyak penelitian yang meneliti beberapa efek tidak langsung dari pemanasan global seperti Black Death di Madagaskar yang terjadi dalam beberapa tahun terakhir. 

Wabah Hitam tampaknya telah mencapai Amerika, yang memicu kekhawatiran akan ketegangan mematikan yang menyebar ke seluruh dunia setelah 200 orang meninggal akibat wabah penyakit di Madagaskar tahun 2017 lalu.

Pihak berwenang yakin mereka telah kedatangan penyakit mematikan itu setelah empat bulan merebak hanya di Madagaskar. Tapi kemudian pada 18 Juni muncul seorang anak lelaki berusia 14 tahun di Idaho di Amerika Serikat didiagnosis dengan Black Death. Pada akhirnya, peringatan wabah dikeluarkan segera untuk sembilan negara di sekitar Madagaskar di tengah kekhawatiran penyakit dapat menyebar melalui pedagang, pelaut angkatan laut atau oleh awak dan penumpang di rute penerbangan. Sebab wabah ini menyebar dari orang ke orang melalui batuk, bersin, meludah dan melalui kontak dengan cairan lain.

Aljazeera memuat laporan WHO tentang wabah Madagaskar. Para ahli menggambarkan wabah di Madagaskar sebagai "wabah terburuk dalam 50 tahun". WHO telah mengirimkan 1,2 juta dosis antibiotik tidak hanya untuk mengobati epidemi saat ini tetapi mencegahnya menyebar. Hingga 5.000 orang yang terinfeksi akan dapat diobati dan tambahan 100.000 yang mungkin telah terkena dapat diberikan profilaksis.

 WHO juga telah mengeluarkan USD 1,5 juta dalam pendanaan darurat untuk membantu Madagaskar mengatasi wabah. Selain itu, Palang Merah Malagasi telah memobilisasi 700 relawan untuk melacak penyakit, memantau yang terinfeksi, dan memberikan kesadaran masyarakat.

Sebagai tindakan pencegahan lebih lanjut, sekolah-sekolah di seluruh negeri telah ditutup, pemerintah telah melarang orang berkumpul, dan orang-orang di seluruh Madagaskar mengenakan masker wajah untuk mencegah penyebaran penyakit lebih lanjut.

Republik Demokratik Kongo, Peru, dan India juga menghadapi kasus yang sama. "Di Amerika Serikat bagian barat daya-di negara bagian kering seperti Arizona, New Mexico, Colorado. Anda mendapatkan populasi hewan pengerat yang masih membawa penyakit," kata Walker, ahli Osteologi yang berbasis di London. "Dan kadang-kadang, mungkin ada seseorang di luar sana yang terlalu dekat dan bisa terinfeksi."

"Di masa lalu, kami hanya melihat wabah di daerah pedesaan," kata Julie Hall, kepala staf dan penasehat khusus tentang kesehatan di Federasi Palang Merah Internasional dan Perkumpulan Bulan Sabit Merah. "Sekarang, sayangnya, kami melihat kasus di daerah perkotaan," katanya kepada Al Jazeera. "Banyak daerah perkotaan yang sangat padat dengan sanitasi yang buruk, banyak orang yang tinggal berdekatan satu sama lain. Jadi itu membuatnya lebih menjadi perhatian ketika Anda telah menyebar dari orang ke orang."

Antrhrax di Rusia

(1,5 juta rusa di Rusia tewas oleh wabah Anthrhax pada awal abad 20. Sumber foto : Newsaintist.com)

Sementara peringatan Prof Frankopan menggambarkan skenario terburuk untuk pemanasan global di masa depan, Madagaskar hanyalah satu contoh tentang permafrost yang mencair yang menghadirkan bahaya serius bagi orang-orang. Anthrax menjadi pandemi berikutnya.  

Harian berita Inggris Dailymail pada 17 Oktober lalu mendeskripsikan kejadian pada tahun 2016, di mana seorang bocah 12 tahun meninggal dan lebih dari 40 orang dirawat di rumah sakit di Siberia, setelah terinfeksi oleh Anthrax. Itu adalah masalah besar di Arktik Rusia, di mana wabah anthrax pada awal abad ke-20 menewaskan sekitar 1,5 juta rusa kutub. Banyak rusa bersama dengan sapi yang terinfeksi, dimakamkan di permafrost dekat permukaan-yang disebut lapisan aktif yang mencair di musim panas dan membeku di musim dingin. Ketika dipanaskan, bangkai melepaskan spora anthrax, yang siap diaktifkan kembali menjadi bakteri infeksi. Fenomena itu kemungkinan menyebabkan wabah tahun 2016 di mana 72 orang penggembala rusa dirawat di rumah sakit.

Dan itu bukan hanya anthrax dari rusa kutub yang membusuk. Pemakaman di zona permafrost Amerika Utara dan Rusia mengandung korban cacar, wabah pes, dan influenza. Karena rusa ini telah mati oleh Anthrax, paparannya menyebabkan bakteri beku yang dilepaskan ke air dan tanah di daerah itu, di mana ia kemudian memasuki rantai makanan. Lebih dari 1.500 rusa terinfeksi dan dibunuh sebagai akibatnya, dan karena beberapa dari mereka telah dimakan oleh penduduk setempat, mereka juga terinfeksi.

Profesor sejarah global Universitas Oxford, Peter Frankopan memulai alarm peringatannya dengan frasa “sama sekali tidak ada peluang.” Jadi, adakah manusia memiliki peluang untuk melawan ribuan, jutaan, malaikat pencabut nyawa purba itu? (Maya P / YK-1)

Biar gak ketinggalan informasi menarik lainnya, ikuti kami di channel Google News dan Whatsapp berikut ini.

Bantu kami agar dapat mengenal kalian lebih baik dengan mengisi survei di sini