Penagihan RupiahPlus Bermasalah, Bagaimana Fintech Cegah Kredit Macet?
Sejak kemunculannya, financial technology (fintech) hadir mengusung kecepatan dalam layanan jasa keuangan, termasuk pencairan kredit. Analisis data digital dalam penentuan skor kredit memang menyingkat waktu dalam proses approval, namun di balik itu, risiko kredit macet pun cukup besar.
Untuk menghindarinya, perusahaan-perusahaan fintech pun melakukan pendekatan yang berbeda. Yang baru jadi sorotan misalnya, RupiahPlus menggunakan daftar kontak debitor, lalu menghubungi mereka untuk menagih utang.Dalam beberapa aduan, para debt collector bahkan menggunakan kata kasar bernada ancaman. Mengaku salah, Direktur RupiahPlus Bimo Adhiprabowo pun merumahkan 5 sampai 6 karyawannya. "Tindakan-tindakan penagihan utang yang melanggar tersebut sama sekali bukan bagian dari Standard Operating Procedure (SOP) resmi penagihan RupiahPlus," kata Bimo.
Belum ada aturan baku mengenai tata cara penagihan utang pada fintech di Indonesia. Sebab, Asosiasi Fintech (Aftech) baru mengupayakan code of conduct.
Legal Coordinator Fintech Lending Division Aftech Chandra Kusuma menyatakan bahwa penagihan harus beretika dan menaati ketentuan perundang-undangan. “Tidak boleh ada kekerasan verbal, menekan mental, atau memperburuk kondisi seseorang," ujarnya. Sementara RupiahPlus bermasalah, bagaimana dengan fintech lain?
(Baca juga: Penagihan Utang RupiahPlus Terindikasi Langgar Dua Aturan)
Modalku, misalnya, fintech jenis peer to peer lending ini menerapkan personal guarantee dan penilaian kredit (credit assessment) yang lebih ketat di awal. Dengan begitu, perusahaan tak perlu menghubungi kontak darurat seperti RupiahPlus jika terjadi masalah gagal bayar.
"Kami tidak ada emergency contact. Langsung ke konsumen," ujar CEO Modalku Reynold Wijaya kepada Katadata, Selasa (3/7).
Selain itu, Modalku juga membuka opsi investasi alternatif atau diversifikasi seperti saham, surat utang (obligasi), emas, deposito, properti bagi pemberi pinjaman. Dengan begitu, risiko yang ditanggung oleh pemberi pinjaman bisa diminimalisir.
Sementara, Amartha Mikro Fintek menerapkan sistem tanggung renteng yang berisi 10-12 orang dalam satu kelompok. Dengan demikian, jika salah satu dari anggota kesulitan membayar, anggota yang lain akan menutup kekurangan itu. Alhasil, rasio kredit bermasalah (Non Performing Loan/NPL) masih 0%. "Tingkat ketepatan waktu membayar 99,84%," ujar CEO and Founder Amartha Andi Taufan Garuda Putra.
Perusahaan juga menerjunkan tim untuk memantau perkembangan usaha peminjam dan memberikan pendampingan. Setiap minggunya tim ini akan mengunjungi peminjam, selain untuk mengambil setoran juga memberikan pengarahan terkait mengelola keuangan. Dengan begitu, kemampuan bayar peminjam bisa terpantau setiap waktu.
(Baca juga: Membandingkan Akses Data Pengguna RupiahPlus dan Fintech Lain)
Ada juga KoinWorks, yang menyediakan dana proteksi guna mengantisipasi adanya gagal bayar atau Non Performing Loan (NPL). Nantinya, dana ini bakal diberikan kepada si peminjam (kreditur) yang pinjamannya belum terbayarkan hingga batas waktu yang ditentukan. Besaran kompensasinya disesuaikan dengan grade pinjaman yang diinvestasikan.
Dana proteksi ini mirip dengan pencadangan yang diterapkan perbankan. Bank wajib memiliki cadangan kerugian penurunan nilai (CKPN), guna mengantisipasi kredit macet. Sementara, untuk fintech hal-hal seperti ini tidak diatur.
Sementara, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) pun baru menyusun surat edaran (SE) mengenai kontrak pinjam-meminjam perusahaan teknologi berbasis aplikasi untuk layanan keuangan. Surat edaran tersebut nantinya akan mengatur bisnis fintech dalam pinjam meminjam atau peer to peer lending.