Pendapatan Musisi di Masa Pandemi Hilang 80 Persen
Band Cokelat (Foto: Instagram @cokelat_band)
Uzone.id - Grup band Cokelat pun turut terimbas pandemi Covid-19. Padahal penghasilan terbesar band yang mempopulerkan lagu “Karma” dan “Bendera” ini berasal panggung ke panggung.Kalau hitungan kasarnya, 80 persen berasal dari panggung, sementara 20 persen dari platform digital.
Kalau menurut Ronny Febry Nugroho, sang pembetot gitar bas Cokelat, penghasilan dari panggung diibaratkan Cuma untuk kebutuhan dapur, sedangkan penghasilan dari platform digital streaming seperti YouTube hingga Spotity dipakai untuk jalan-jalan ke mal dan makan di restoran.
Namun, di saat pandemi, penghasilan dari platform digital streaming justru jadi tambang uang karena panggung yang menyedot banyak penonton sudah tidak bisa dilakukan. Meskipun, kata Ronny, tidak ada kenaikan pendapatan dari digital.
“Gak ada perubahan karena Cokelat bukan Youtubers ya, jadi kita tidak terlalu mengharapkan penghasilan dari sana (digital) gitu lho, kalau masuk ke situ tentunya kita jadi berubah konsep, kita berebut di pasar YouTube ya, mungkin di YouTube sekarang prank-prank-an, cari-cari kontroversi, kalau teman-teman mau ngambil itu kita gak nyalahin, tapi kalau cokelat gak bisa, gak nyampe lah ilmunya,” kata Ronny saat berbincang dengan Uzone.id, Rabu (14/10/2020).
Ronny kemudian menukil cerita dari buku Cokelat jika pada bulan Februari-Maret biasanya istirahat karena pada umumnya sponsor-sponsor yang membuat pertunjukan buka bukunya bulan Maret.
Biasanya, band indie label ini manggung 8 kali dalam sebulan. Sedangkan Januari-Februari biasanya manggung dua kali saja. Para personel tentu kaget setelah pandemi datang pada Maret. Padahal mereka sudah bersiap-siap untuk menggebrak panggung.
“Istilahnya tabungan sudah ada lah, belum terlalu mengkhawatirkan, tapi begitu masuk ke setelah Maret, tiba-tiba kita di-lock gak bisa ngapa-ngapain sama sekali, baru tuh mantab, makan tabungan ha-ha-ha,” kata Ronny.
Ada empat kontrak yang dibatalkan gara-gara pandemi, bahkan Cokelat ada hutang manggung soalnya band sudah dibayar lunas penyelenggara.
“Sudah hitungan H-3. Itu EO-nya kasihan, tiket sudah di issue, penerbangannya juga kan sudah, kita tinggal berangkat, tapi acaranya di-cancel karena tujuannya itu di-lockdown, dan kita kan dari Jakarta,” kata Ronny.
Menurut Ronny, penghasilan Cokelat dari digital streaming seperti di Spotify cuma beberapa sen setiap didengarkan. Mereka sadar bukan setara Taylor Swift yang bisa didengarkan juraan orang di dunia.
“Kalau musisi lokal paling hitungannya cuma beberapa sen yang sekali lo dengerin. Indonesia lagi, Spotify pengennya yang gratisan, he-he-he,” tutur pelantun “Luka Lama” ini.
Cokelat, yang juga diawaki Edwin Marshal Sjarif pada gitar, Axel Andaviar pada drum, Ernest Fardian Syarif pada gitar, dan featuring Aiu Ratna, benar-benar sedang diuji di masa pandemi ini.
Beruntung, personel Cokelat masih bisa usaha lain selain bermusik. Ronny merupakan karyawan di media online, creative live di beberapa project, usaha detailing motor dan memiliki coffe shop.
Kemudian, Axel sebagai anggota termuda di Cokelat punya rumah makan Jepang di BSD, Tangerang Selatan, Banten, dan Erwin ada beberapa property yang berhasil diolah.
“Jadi di Cokelat sekarang keluhannya adalah gue kangen manggung, bukan kangen transferan duit ha-ha-ha,” celoteh Ronny.
Label manfaatkan platform digital
Falcon Music, salah satu label di Indonesia, selama pandemi ini berharap banyak pada platform digital setelah para artis penyanyi di bawah naungannya tidak bisa melakukan pertunjukan di panggung.
“Bisa dibilang nol untuk pendapatan off-air. Padahal untuk pendapatan artisnya sendiri dari off-air dan juga untuk label sendiri juga sama lah, sangat berkurang banget, kita cuma ngandelin di digital streaming platform YouTube, Apple Music, Spotify,” kata Dhona Doel dari Falcon Music saat berbincang dengan Uzone.id.
Wizzy, penyanyi solo yang sudah lama menjalin kontrak dengan Falcon Music, kalau dibilang Dhona punya penghasilan sekitar 80 persen di panggung off-air dan sisanya royalti termauk dari platform digital.
Wizzy terhitun penyanyi yang laris manis. Sebelum pandemi bisa manggung 2-3 dalam satu minggu. Setelah pandemi pekerjaan manggung jadi tidak ada lagi.
“Wizi 80 persen penghasilan (menyanyi) off-air, wedding, expo,” tutur Dhona, lalu menambahkan “Seminggu bisa 2-3 kali karena ya karena ada acara di mal, expo, lumayan, apalagi solois tinggal pakai player, produksi gak besar.”
Falcon Musik juga menaungi artis band Goliath yang sering tampil di pentas seni (pensi). Keadaan sekarang pensi tidak bisa dijalankan, mal juga tidak bisa ada keramaian. Begitu juga wedding tidak bisa mendatangkan artis karena khawatir jadi heboh.
“Tapi kita rilis pas pandemi lumayan juga, ada Syakir Daulay sama Adiba, lagunya "bidadari surga" sempat trending, Rey Sebayang sempat trending juga nomor satu. Aku gak tahu, kalau gak pandemi off-air-nya juga bakal luar biasa. Sekelas Rey Mbayang sempat trending nomor satu, hampir seminggu ya trending,” kata Dhona.
Platform Langit Musik
CEO Langit Musik Dedi Suherman mengungkapkan layanan digital streaming musik saat ini dipakai oleh para musisi untuk promosi lagu. Ada peralihan dibandingkan zaman dulu di mana promosi lagu di biasanya acara televisi atau di panggung off-air.
"Dalam perjalanan income utama artis itu datang dari off air. Jadi, 10 tahun terakhir itu off-air lah pendapatan utama. Digital streaming itu justru terbalik jadi etalase, jadi digital streaming itu kecil pendapatannya. Secara uang itu kecil, jadi ordernya itu cuma jutaan rupiah. Jadi sekali tampil (off-ari) ada yang Rp100 juta (sekali tampil), ada yang Rp200 juta, padahal dapat bulanan dari digital streaming paling di bawah 10 juta, sehingga digital streaming jadi tempat dia mempromosikan lagunya," kata Dedi saat berbincang dengan Uzone.id.
Untuk pembagian hasil dengan label, Langit Musik memakai skema 50:50. Kemudian, dari label akan menyalurkan pendapatan kepada artisnya. Antara label dengan artisnya sudah tidak diatur lagi oleh Langit Musik.
"Itu kan urusan mereka, tidak ada formula yang diatur, walaupun ada pattern (pola)-nya misalnya label dari yang diterima berapa persen misalnya ke penyanyi, berapa persen ke pengarang lagu, itu formulanya tapi tidak menjadi baku, itu cuma referensi saja kadang-kadang investasi di depan nih, saya sudah spending 500 juta, biasanya sampai uang itu kembali baru dibagi ke artis segala macam, atau dikasih uang muka atau dibayar di depan, dibeli putus lalu bayar full untuk dua tahun pertama, jadi itu antara label sama musisi, tapi yang jelas antara label dengan musisi ada komponen royalti, apakah pada saat dia nyanyi, digital platform, untuk lain-lain," beber Dedi.
Dengan skema pembagian 50:50, Dedi mengaku banyak label yang puas dengan Langit Musik untuk soal pembagian rata tersebut. Malah ada beberapa label besar menyatakan bahwa pendapatan dari Langit Musik dibandingkan platform lain berada di nomor satu atau nomor dua.
"Jadi, secara uang yang mereka bulanan itu, apakah posisi satu atau dua, jadi posisi daya tawar kami kuat terhadap label," ungkapnya.
Nantikan diskusi asik para insan musik di Uzone Talks dengan topik 'Industri Musik Go Digital' pada 15 Oktober 2020 pukul 16:00 WIB.