Pentingnya Festival Musik Untuk Menggaet Wisatawan Milenial
2 Maret 2019, lepas pukul delapan malam. Anto (21) dan Risty (22) tampak asyik bernyanyi mengikuti musik band Sore yang tampil di MLD Spot Stage Bus. Ini adalah kali ketiga mereka berdua pergi ke Java Jazz. Mereka tak lama menonton Sore, mereka kemudian pindah ke Hall D2 untuk menonton Raveena, musisi baru favorit mereka.
“Tahun ini sih nunggu Raveena dan Sinead Harnett,” ujar Anto, mahasiswa tingkat akhir salah satu universitas swasta di Jakarta Barat. Anto dan Risty adalah dua dari puluhan ribu penonton hari kedua Java Jazz 2019 yang bertempat di JIExpo Kemayoran, Jakarta Pusat. Setiap tahun, festival jazz yang dimulai sejak 2005 ini rata-rata dikunjungi 100 ribuan penonton. Puncaknya mungkin pada 2015, ketika festival yang diinisiasi Peter Gontha ini dihadiri 130 ribuan penonton. Java Jazz sudah sejak lama jadi atraksi wisata unggulan, tak hanya bagi DKI Jakarta, tapi juga untuk Indonesia. Ajang ini bahkan masuk dalam 100 Calender of Events (CoE) Wonderful 2019. Sejak 2018, Java Jazz dengan sadar menyasar kaum milenial, mereka yang lahir antara awal 1980 hingga 2000, atau berusia 19 hingga 40 tahun. Dewi Gontha, Direktur Java Festival Production, dalam jumpa pers di Hotel Borobudur, mengatakan bahwa sasaran penonton mereka adalah anak-anak muda yang makin gemar nonton festival musik. Karena itu pula, wajar kalau Java Jazz makin sering mengundang bintang tamu yang digemari anak-anak muda, seperti Lauv, Daniel Caesar, Sinead Harnett, dan Raveena.Kekuatan Para Wisatawan Muda
Generasi milenial memang jadi bahan rebutan di banyak sektor, termasuk pariwisata. Ini bukan tanpa alasan, tentu. Mengingat jumlah generasi ini amat besar. Dalam studi yang dilakukan oleh Bloomberg, jumlah generasi milenial mencapai 31,5 persen dari total populasi dunia, atau sekitar 2,43 miliar jiwa. Di dunia pariwisata, generasi milenial ini juga punya karakteristik wisata yang berbeda dengan generasi pendahulunya. Bagi para pejalan muda ini, pengalaman adalal hal yang lebih penting ketimbang, misalkan, barang (Sofronov, 2018). Mereka juga tech savy, lekat dengan teknologi yang membuat perjalanan jadi lebih mudah dan nyaman. Karena perubahan karakter wisata yang amat kontras ini, wajar kalau dunia pariwisata sempat pontang-panting beradaptasi dan tak jarang melahirkan friksi --semisal ribut-ribut antara hotel melawan Airbnb, atau agen perjalanan melawan situs penyedia tiket pesawat dan kereta api.Biar gak ketinggalan informasi menarik lainnya, ikuti kami di channel Google News dan Whatsapp berikut ini.
Editors' Picks
Most Popular
Bantu kami agar dapat mengenal kalian lebih baik dengan mengisi survei di sini