icon-category Lifestyle

Perburuan Pajak Selebgram Tuai Kritik

  • 18 Oct 2016 WIB
Bagikan :
alt-img

Direktur Eksekutif Center of Indonesia Taxation Analysis (CITA) Yustinus Prastowo berpendapat bahwa lebih baik Direktorat Jenderal Pajak berfokus mengejar penerimaan pajak dari perusahaan media sosial (medsos) seperti Instagram, dibanding dari selebriti medsos seperti selebriti instagram (selebgram). Sebab, potensi pajak dari perusahaan jauh lebih besar.

Menurut dia, para selebgram dan selebriti media sosial lainnya merupakan wajib pajak karena memiliki penghasilan dari hasil mempromosikan barang, jasa atau acara di akun medsos mereka. Namun, memungut pajak dari para selebriti bukan perkara mudah lantaran banyaknya kendala teknis.

“Sebelum ke situ, hulunya dulu, si Instagram-nya, Youtube-nya,” kata Prastowo di Hotel Atria, Malang, Kamis, 13 Oktober 2016. (Baca juga: Kejar Pajak Google, Pemerintah Perlu Tiru Inggris).

Perusahaan medsos, seperti Instagram, jelas jelas memperoleh pendapatan dari iklan tapi belum dipajaki. Berbeda dengan selebriti medsos yang teknis pemungutan pajak-nya belum jelas. "Apakah harus dipotong, lalu apa dia melapor, malah repot," ucap Prastowo.

Menanggapi saran Prastowo, Direktur Penyuluhan, Pelayanan dan Hubungan Masyarakat Hestu Yoga Saksama mengatakan akan membuat mekanisme perpajakan agar para selebriti dapat membayar pajak dengan tertib. Dengan mekanisme itu, ia mengklaim Direktorat Pajak mampu mengawasi ketertiban mereka sehingga ketika ada penghasilan masuk lalu dipotong dan dilaporkan.

Sebelumnya, Direktur Jenderal Pajak Ken Dwijugiasteadi mengatakan pemilik akun medsos yang mendapat penghasilan dari setiap unggahannya wajib membayar pajak penghasilan (PPh). Contohnya adalah selebgram dan buzzer di Twitter.

Begitu pula dengan orang yang memperdagangkan barang lewat media sosial dan situs jual-beli online, atau melakukan bisnis online lainnya.  “Pajak itu prinsipnya, kalau sudah untung ya bayar (pajaknya). Kalau enggak (untung), ya enggak (bayar),” kata Ken. (Baca juga: Selebgram, Buzzer di Media Sosial dan Bisnis Online Akan Dipajaki).

Direktoratnya akan menyurati pemilik akun dan wajib pajak yang terbukti mendapat penghasilan dari internet. Ken menyatakan hal itu tidaklah sulit, karena banyak yang sudah memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP). Data ini akan terhubung dan langsung masuk ke pangkalan data Direktorat Pajak.

Perputaran uang yang terjadi di bisnis online ini cukup besar. Ditjen Pajak memperkirakan potensi penerimaan pajak yang bisa masuk ke kas negara dari bisnis ini mencapai US$ 1,2 miliar atau setara dengan Rp 15,6 triliun.

Biar gak ketinggalan informasi menarik lainnya, ikuti kami di channel Google News dan Whatsapp berikut ini.

Bantu kami agar dapat mengenal kalian lebih baik dengan mengisi survei di sini