Menangis dan Tertawa Itu Menular
Seorang perempuan belia berkisah tentang pahitnya pengalaman bekerja sebagai asisten rumah tangga. Dia pernah dipukul di kepala, disiram air cabai, dan digantung dalam posisi terbalik oleh majikan. Sesaat berselang, seorang ibu dengan berurai air mata bercerita dengan parau soal anaknya yang diperkosa oleh suami sendiri.
Ratusan pasang mata di Goethe Haus menyimak sejumlah penyintas kekerasan yang tampil dalam pertunjukan Ode Tusuk Konde pada 10 Desember 2017 silam. Di antara ratusan pasang mata tersebut, banyak yang matanya basah saat mendengarkan kisah kekerasan itu. Tangisan hari itu tampak menular, dari satu mata ke mata yang lain.Tangis Bisa Menular, Bahkan Pada Bayi
Beberapa pengalaman di atas menjelaskan bahwa emosi bisa menular, bahkan bila kedua pihak tidak saling mengenal. Elaine Hatfield et. al. (1993) mendefinisikan penularan emosi sebagai kecenderungan seseorang untuk secara otomatis meniru ekspresi, suara, postur, dan gerakan orang lain untuk merasakan emosi yang sama.
Soal menangis, Vingerhoets dan Randolph R. Cornelius dalam Adult Crying: A Biopsychosocial Approach (2001) mengatakan: penularan hal ini bisa terjadi karena seseorang telah mengetahui penyebab atau makna tangisan orang yang sedang disaksikannya. Bisa juga hal ini bergantung pada seberapa dekat relasi kedua belah pihak. Berdasarkan riset-riset sebelumnya, mereka menyatakan, perempuanlah yang sering mengalami penularan emosi macam ini. Penularan tangis tak hanya terjadi pada orang dewasa. Penelitian Geangu et.al. (2010) yang dimuat di jurnal Infant Behavior & Development menunjukkan bahwa hal ini dapat ditemukan pada para bayi. Saat mendengar bayi lain menangis, bayi usia 1, 3, 6, dan 9 bulan yang mereka amati tak lama kemudian turut melakukan hal serupa. Geangu menulis, tangis yang menular pada bayi merupakan tanda berbagi emosi yang diperlihatkan manusia pada awal masa kehidupannya, dan ini berhubungan dengan empati.Tawa Juga Bisa Menular
Selain tangis, tawa pun bisa menular. Hal yang mulanya dianggap biasa saja, bisa mendadak mendatangkan gelak tawa saat ada orang di sekitar yang tertawa lebih dahulu, seperti pengalaman Cherry (24).
“Saya sering ikut ketawa kalau teman kampus saya ketawa duluan waktu baca satu komik di Instagram. Padahal, kalau saya baca sendiri, saya nggak akan berekspresi apa pun,” ujarnya.Tidak hanya saat melihat komik di media sosial, saat berbincang dengan teman-teman pun, begitu ada yang melontarkan lawakan garing, Cherry bisa ikut terbahak jika salah satu di antara mereka tergelak. “Mau nahan kayak apa pun, bakal tetep pecah tawanya,” imbuhnya. Pengalaman tertular tawa yang dimiliki Cherry sejalan dengan pendapat neurosaintis dari University College London, Sophie Scott, “Sepertinya ucapan ‘tertawalah dan seluruh dunia akan tertawa bersamamu’ itu benar. Kadang, saat kita berbicara kepada seseorang, kita mengopi perilakunya, menyalin kata-kata yang mereka gunakan dan meniru gesturnya. Ini pun terjadi pada tawa.” Dilansir LiveScience, Sophie dan koleganya meneliti respons sejumlah orang dengan pemindai MRI. Para subyek penelitian disuguhkan beberapa jenis suara: tawa dan sorak sorai yang diasosiasikan dengan hal positif, juga teriakan dan suara orang muntah yang diasosiasikan dengan hal negatif. Hasilnya, semua suara memicu aktivasi bagian otak yang menggerakkan otot wajah, tetapi suara positiflah yang memicu respons lebih tinggi dibanding suara negatif. Sophie juga mengatakan, suara tawa juga setidaknya membuat objek penelitiannya tersenyum. Sementara saat diperdengarkan suata muntah, mereka tidak serta merta menjadi tersedak atau hendak muntah pula. Banyak orang berpikir bahwa tangis atau tawa yang menular tak lebih dari suatu kebetulan. Namun sebenarnya, ada penjelasan dari perspektif evolusi untuk hal ini. Dalam Psychology Today, Ryan T. Howell, associate professor Psikologi dari San Francisco State University menulis, penularan emosi adalah hal penting untuk terus bertahan hidup. Ia mencontohkan, sekelompok mangsa akan menyebarkan rangsangan emosional kepada sesama spesiesnya saat predator mengintai mereka. Dengan begini, akan lebih banyak kawan satu spesies mereka yang selamat dari bahaya. Pendapat Howell ini seiring dengan pandangan Darwin bahwa ekspresi emosi berguna demi kepentingan bertahan hidup suatu makhluk.Biar gak ketinggalan informasi menarik lainnya, ikuti kami di channel Google News dan Whatsapp berikut ini.
Editors' Picks
Most Popular
Bantu kami agar dapat mengenal kalian lebih baik dengan mengisi survei di sini