Potret Semrawut PKL Kota Tua Saat Libur Akhir Tahun
Langit sedang cerah-cerahnya saat Bus Trans Jakarta trayek Blok M-Kota tiba di perhentian terakhirnya pada pukul 12.30 WIB, Sabtu (30/12). Dari sebelum bus berhenti, terlihat kepadatan orang yang hendak menghabiskan waktu senggang akhir tahun di kawasan Kota Tua Jakarta Utara.
Di depan Museum Mandiri yang terletak di sisi barat Halte Trans Jakarta Kota, antrian manusia yang hendak keluar dan masuk halte mengular. Kepadatan itu menyatu dengan para pedagang kaki lima yang berjualan di sepanjang trotoar Museum Bank Mandiri hingga Museum Bank Indonesia. Membuat pemandangan kian semrawut.
Sedikit berjalan ke arah Jalan Asemka yang letaknya sejajar dengan jalan layang Pasar Pagi, para PKL juga memadati sebagian ruas jalan yang seharusnya difungsikan bagi kendaraan bermotor.
Para pedagang kaki lima yang mayoritas menjajakan aneka makanan dan minuman itu tampak tak malu-malu menyalahgunakan fungsi trotoar. Gerobak dagangan sengaja diletakkan di tepi jalan, sementara terpal plastik digunakan sebagai alas bagi para pembeli yang makan dan minum di tempat. Membuat sulit pejalan kaki jalan yang sedang melintas.
Lebih kurang dua jam setelahnya, suasana mendadak berubah. Tidak ditemukan lagi adanya PKL yang menjajakan dagangan di titik-titik tersebut. Lajur trotoar kini lebih leluasa dilalui pejalan kaki.
Seorang pedagang minuman Puspo (46) mengaku harus segera angkat kaki dari tempat berdagang semula di sekitaran Museum Mandiri karena adanya penertiban oleh Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP). Namun Puspo bilang kalau hal itu sudah biasa.
“Biasalah, kucing-kucingan kayak gitu. Kalau disuruh geser, ya kita geser,” ungkap Puspo.
Puspo sadar PKL tidak diizinkan untuk berdagang di kawasan tersebut. Namun, Puspo mengaku tidak punya pilihan karena penertiban yang biasa dilakukan hanya sekadar memerintahkan pedagang untuk bergeser lokasi, tanpa menyediakan solusi.
“Ya mau gimana lagi? Kita dagang di sini juga enggak ada bayar [retribusi] apa-apa,” ujar Puspo lagi.
Larangan bagi PKL untuk berdagang secara liar memang sebetulnya berlaku untuk seluruh daerah yang masuk dalam kawasan Kota Tua. Adapun daerah-daerah tersebut meliputi Jalan Lada di sisi timur dan Jalan Kunir di sisi utara.
Jajaran para pedagang di Jalan Kunir tak kalah padatnya. Sama seperti yang terlihat di depan Museum Mandiri dan Museum Bank Indonesia, para penjual makanan di Jalan Kunir juga menggelar terpal plastik yang bisa dimanfaatkan sebagai tempat lesehan para pembelinya.
Salah satu pedagang yang berjualan di situ ialah Eva (27). Pedagang pecel lele yang tinggal di Jalan Teh—tak jauh dari kawasan Kota Tua—itu sadar betul kalau tindakannya menyalahi aturan. “Tapi kalau enggak begini, gimana dapat duit?” ucap Eva kepada Tirto siang itu.
Eva mengatakan para PKLsudah paham apabila ada Satpol PP datang, maka mereka harus angkat kaki untuk sementara waktu. Biasanya para pedagang akan pindah tak jauh dari situ ke Jalan Cengkeh. “Pindahnya ya paling pada ke dalam situ (Jalan Cengkeh). Tapi ya di situ lebih sepi. Pengunjung banyaknya di sini,” kata Eva.
Setelah Satpol PP pergi Eva menuturkan biasanya para PKL akan kembali memadati Jalan Kunir dalam hitungan jam. Saat disinggung mengenai ada tidaknya uang untuk keamanan, Eva mengaku tidak ada setoran khusus yang diberikan. Selama berdagang, dirinya paling hanya dikenakan biaya kebersihan yang besarannya Rp2.000,00.
Baik Puspo maupun Eva mengiyakan kalau akhir-akhir ini Kota Tua jadi lebih semrawut. Apalagi saat musim liburan seperti sekarang ini, kepadatan yang terlihat semakin menjadi dibandingkan hari-hari biasanya.
Tak hanya pedagang, masyarakat juga menyadari Kota Tua sekarang kian dipenuhi PKL. Salah satunya ialah warga Cawang, Jakarta Timur bernama Hendra (38) yang datang bersama keluarganya. Menurut Hendra, kesemrawutan memang sudah terasa sejak ia turun dari Bus Trans Jakarta.
“Karena mungkin enggak ada pengaturan. Mau parkir juga kelihatannya susah, jadi ke sini naik Trans Jakarta saja,” ujar Hendra.
Tak berbeda jauh dengan tanggapan Hendra, seorang warga bernama Santoso (35) yang datang dari Tangerang bersama istri dan anak laki-lakinya juga merasakan hal serupa. Kendati demikian, Santoso menilai kesemrawutan turut dipengaruhi faktor libur akhir tahun yang membuat para pengunjung Kota Tua jadi lebih banyak.
“Penataan PKL memang masih harus dibenerin lagi ya, tindakannya dipertegas. Karena bikin macet juga tadi pas jalan ke sini,” kata Santoso.
Sementara itu, saat melintas di Jalan Lada yang letaknya tak jauh dari Bank BNI Kantor Wilayah Jakarta Kota dan Stasiun Kota, sudah tidak terlihat adanya para PKL yang memadati sebagian ruas jalan.
Berdasarkan pantauan Tirto di lokasi, semakin padatnya PKL bukan satu-satunya penyebab kian semrawutnya Kota Tua sekarang ini. Di sejumlah titik, ada juga revitalisasi sejumlah bangunan tua milik BUMN (Badan Usaha Milik Negara) dan swasta sehingga menjadi lebih produktif dan tidak terbengkalai.
Seorang petugas Satpol PP Taman Sari, Jakarta Barat yang merupakan personel BKO dari Kecamatan Kalideres bernama Ahmad Syaefudin mengaku selama ini mereka sudah menghalau keberadaan para PKL.
Istilah penghalauan ternyata berbeda dengan penertiban. Apabila dihalau, Satpol PP memang hanya mengimbau agar pedagang meninggalkan lokasi berdagangnya untuk berpindah ke tempat lain. “Sebenarnya ya harus ditertibkan, tapi karena kita berdasarkan pimpinan jadi kami ikuti. Kami kan enggak boleh bertindak sendiri, harus sesuai instruksi pimpinan (dari Manpol PP),” ucap Ahmad.
Ahmad tidak menampik pedagang akan kembali ke tempat semula dalam hitungan menit maupun jam setelah Satpol PP meninggalkan lokasi. Oleh karena itulah, Ahmad mengatakan penyebab kian semrawutnya kawasan Kota Tua akhir-akhir ini.
“Enggak cuma libur akhir tahun seperti sekarang saja. Di Jumat sampai dengan Minggu biasa juga ramai, pedagang jadi membludak,” tambah Ahmad.
Baca juga artikel terkait KOTA TUA JAKARTA atau tulisan menarik lainnya Damianus Andreas