Rahmah El Yunusiyah: Pendiri Diniyah Putri, Menginspirasi Al-Azhar
Rahmah El Yunusiyah mengenyam pendidikan di sekolah milik kakak sulungnya, Diniyah School—sekolah agama yang menggunakan sistem koedukasi. Siswa laki-laki dan perempuan dicampur dalam ruang kelas yang sama. Saat itu, sedikit sekali perempuan yang belajar di sekolah.
Di sekolah milik kakaknya, Rahmah menangkap ketidaksetaraan. Diskusi kelas didominasi para lelaki; guru yang semuanya laki-laki dan murid yang sebagian besar juga laki-laki.
Murid perempuan kesulitan mendapatkan penjelasan agama secara mendalam tentang fikih yang berkaitan dengan perempuan. Selain karena tidak dibahas oleh para guru, murid perempuan pun malu bertanya.
Ia lalu berpikir untuk mendirikan sekolah Islam khusus perempuan. Tujuannya agar perempuan lebih leluasa belajar, dan lebih percaya diri mengungkapkan segala pertanyaan serta rasa penasaran mereka tanpa perlu malu dan merasa rendah diri.
Sekali waktu ia berkata pada kakaknya, “…Saya harus mulai, dan saya yakin akan banyak pengorbanan dituntut dari diri saya. Jika kakanda bisa, kenapa saya, adiknya, tidak bisa. Jika lelaki bisa, kenapa perempuan tidak bisa.”
Tepat 1 November 1923, ketika usianya 23 tahun, Rahmah mendirikan Madrasah Diniyah li al-Banat atau Diniyah School Putri. Muridnya 71 orang, dan sebagian besar merupakan kelompok ibu muda.
Berguru kepada Haji Rasul
Rahmah El Yunusiyah merupakan anak bungsu dari lima bersaudara, dari pasangan Rafi’ah dan Muhammad Yunus. Ia lahir pada 26 Oktober 1600 di Sumatra Barat. Ayah Rahmah adalah seorang ulama besar yang menjabat sebagai kadi di negeri Pandai Sikat, Padang Panjang. Ia juga seorang haji yang pernah mengenyam pendidikan agama selama 4 tahun di Makkah.Dalam Ulama Perempuan Indonesia (2002), Junaidatul Munawaroh menulis satu bab tentang Rahmah. Ia menggambarkan bahwa perjalanan intelektualitas dan pemikiran Rahmah sangat dipengaruhi oleh kakak sulungnya, Zaenuddin Labay.
Labay dikenal sebagai ulama autodidak yang menguasai tiga bahasa asing; Inggris, Arab, dan Belanda. Kemampuan bahasa asing itu memudahkannya untuk belajar dari pelbagai literatur.
“Rahmah sendiri sangat menyegani dan mengagumi kakaknya. Baginya, Labay adalah guru, pemberi inspirasi, dan pendukung cita-citanya,” tulis Munawaroh.
Hamka dalam Ayahku: Riwayat Hidup Dr. H. Abdul Karim Amrullah dan Perjuangan Kaum Agama di Sumatera (1982) menggambarkan sosok Rahmah El Yunusiyah sebagai perempuan Muslim yang revolusioner dan pantang menyerah.
Selain berguru pada abangnya, Rahmah juga berguru kepada Haji Rasul, Ayahanda Hamka. Pada tahun 1918, jauh sebelum Rahmah mendirikan sekolah khusus perempuan, ia sering ikut belajar di surau tempat Haji Rasul atau Abdul Karim Amarullah mengajar.
Rahmah biasanya tak sendirian. Ia kerap datang bersama tiga sahabatnya, yakni Rasuna Said, Nasinah, dan Upik Japang. Di antara mereka berempat, ia tampak sebagai pemimpinnya.
“Boleh dikatakan bahwa sebelum itu, belumlah ada kaum perempuan yang belajar agama, nahwu dan sharaf, fiqih, dan ushul-nya. Sebelum itu, kaum perempuan baru belajar dalam pengajian umum, mendengar tabligh [ceramah] guru-guru,” tulis Hamka.
Dalam Jurnal Kependidikan Islam Vol 2 tahun 2004, Hamruni—dosen Fakultas Tarbiyah UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta, menerangkan pemikiran Rahmah tentang perempuan. Dalam tulisan berjudul "Pendidikan Perempuan dalam Pemikiran Rahmah El Yunusiyah", Hamruni mengatakan bahwa Rahmah menilai perempuan punya peran penting dalam kehidupan.
Bagi Rahmah, perempuan adalah pendidik anak yang akan mengendalikan jalur kehidupan mereka selanjutnya. Maka perlu ada upaya untuk meningkatkan kemampuan kaum perempuan, baik di bidang intelektual maupun kepribadian.
Namun, Rahmah tampak masih meyakini bahwa peran-peran domestik tak bisa dilepaskan dari perempuan. Ia memasukkan keterampilan rumah tangga ke dalam kurikulum sekolahnya, seperti memasak dan menjahit. Di masa itu, di tengah masyarakat yang sangat patriarki, pemikiran seperti ini agknya masih bisa dimaklumi.
Menginspirasi Al-Azhar
Kala itu, mendirikan dan mempertahankan sebuah sekolah bukan perkara mudah bagi Rahmah. Terlebih ketika kota Padang Panjang dihantam gempa pada 28 Juni 1926, dan kematian abangnya dua tahun sebelumnya.
Ia ke sana kemari mencari uang untuk membangun lagi sekolahnya, sebab gempa telah meruntuhkan gedung-gedung asrama. Menurut catatan Hamka, Rahmah sampai berangkat ke Malaysia menemui sultán-sultan Melayu untuk meminta bantuan.
Hamka juga menuliskan tentang betapa Rahmah tampak tak punya tujuan hidup lain selain membesarkan Sekolah Diniyyah.
“Setelah bercerai dengan suaminya yang dibuang ke Digul, dia tidak bersuami lagi. Suaminya atau anaknya adalah sekolahnya itu,” tulis Hamka.
Pada 1928, Diniyah Putri memiliki 200 murid, lalu bertambah menjadi dua kali lipat pada 1935.
Tahun 1955, para petinggi Universitas Al-Azhar, Mesir, datang ke Padang dan menyempatkan berkunjung ke Sekolah Diniyyah Putri milik Rahmah. Mereka terkagum-kagum melihat ide dan upaya yang dilakukannya. Para petinggi universitas tersebut mengakui bahwa Al-Azhar dan Mesir pada umumnya, masih tertinggal jauh dari sekolah yang digagas oleh Rahmah.
Dua tahun kemudian, Rahmah diundang ke Mesir. Ia mendapat gelar kehormatan “Syehkhah” dan menjadi perempuan pertama yang mendapatkan gelar itu dari Al-Azhar. Kedatangan Rahmah dan cerita soal Sekolah Diniyyah menginspirasi Al-Azhar untuk membuka Kulliyatul Lil Banat—fakultas khusus untuk perempuan yang direalisasikan pada 1962.
Kecewa terhadap Sukarno
Ketika kembali ke Indonesia, Rahmah yang sebelumnya dimasukkan oleh Sukarno ke dalam Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI), merasa kecewa terhadap pemimpin republik itu. Ia menilai Sukarno terlalu dekat dengan Partai Komunis Indonesia (PKI).
Ketika Syafruddin Prawiranegara membentuk Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) di Bukittinggi pada 1958, Rahmah ikut mendukungnya. Gerakan ini lahir karena PRRI merasa sudah tidak sejalan lagi dengan Sukarno, sehingga menuntut otonomi daerah yang lebih luas. Sukarno menganggapnya sebagai tindakan pemberontakan dan harus ditumpas.
Akibatnya, Rahmah dan rekan-rekannya harus menghindari kejaran tentara republik. Mereka keluar masuk desa dan bersembunyi di daerah pedalaman. Namun, ia akhirnya tertangkap pada 1961.
Tiga tahun kemudian, Rahmah divonis menderita kanker payudara dan sempat dirawat di Rumah Sakit Pirngadi, Medan. Ia bertahan selama lima tahun dan tutup usia pada 26 Februari 1969.
Aminuddin Rasyad dalam Hajjah Rahmah El Yunusiyyah dan Zainuddin Labay El Yunusy: Dua Bersaudara Tokoh Pembaharu Sistem Pendidikan di Indonesia (1991) menuliskan bahwa sehari sebelum kematiannya, Rahmah sempat menemui Gubernur Sumatera Barat, Harun Zain.
“Pak Gubernur, napas ini sudah hampir habis, rasanya sudah sampai di leher. Tolonglah Pak Gubernur dilihat-lihat dan diperhatikan Sekolah Diniyah Putri,” ucapnya.
==========
Sepanjang Ramadan hingga lebaran, kami menyuguhkan artikel-artikel yang mengetengahkan pemikiran para cendekiawan Muslim Indonesia di paruh pertama abad ke-20. Kami percaya bahwa pemikiran mereka telah berjasa membentuk gagasan tentang Indonesia dan berkontribusi penting bagi peradaban Islam. Artikel-artikel tersebut ditayangkan dalam rubrik "Al-Ilmu Nuurun" atau "ilmu adalah cahaya".
Baca juga artikel terkait AL-ILMU NUURUN atau tulisan menarik lainnya Wan Ulfa Nur Zuhra