Ramai Polusi Jakarta dan WFH, ‘Biang Keroknya’ Cuma Kendaraan?
Uzone.id – Belakangan ini linimasa internet dan juga pemberitaan saling membagikan ‘prestasi’ yang dicapai Jakarta mengenai kualitas udara. Jakarta kerap dicatut sebagai kota dengan kualitas udara terburuk nomor dua di dunia. Separah apa polusi udara ini dan apakah ‘biang keroknya’ adalah penggunaan kendaraan yang lalu-lalang setiap hari?
Ramainya pemberitaan mengenai betapa buruknya kondisi udara di Jakarta ini menarik perhatian pemerintah untuk mengimbau agar para karyawan khususnya aparatur sipil negara (ASN) di lingkungan Pemprov DKI Jakarta menjalankan WFH alias work from home (bekerja dari rumah).Penjabat Gubernur DKI Jakarta, Heru Budi Hartono mengatakan bahwa pihaknya kebijakan WFH ini akan diterapkan pada September mendatang.
Presiden Joko Widodo juga memaparkan kalau semua pihak harus berani mendorong banyak kantor agar menjalankan hybrid working.
Tercatat pada 11 Agustus kemarin saja, Indeks Kualitas Udara (AQI) DKI Jakarta tercatat 176 poin, yang artinya tergolong tidak sehat dengan konsentrasi polutan utama PM2,5 sebanyak 103 mikrogram per meter kubik. Sedangkan standar AQI yang baik berada di kisaran skor 0-50.
Sebenarnya, apa penyebab polusi udara di Jakarta begitu buruk sampai-sampai konsisten menjadi topik panas di mana-mana?
Mungkin banyak yang mengira, ini semua karena kendaraan yang selalu bikin padat ruas jalan di kawasan Jakarta setiap harinya. Kondisi pasca pandemi membuat masyarakat sudah bisa beraktivitas di luar seperti biasa, sehingga lalu-lintas pun kembali padat merayap seperti pra pandemi.
Masih dalam penuturan Heru, tingginya polusi udara memang dipengaruhi oleh berbagai sumber emisi. Mengutip berbagai portal berita, sumber emisi lokal yang dimaksud berasal dari transportasi dan residensial.
Sedangkan kontribusi polusi regional datang dari kawasan industri dari lokasi penyangga ibu kota. Heru kemudian menekankan, transportasi menjadi salah satu penyumbang pencemaran udara terbesar.
“Kalau dihitung-hitung, 50 persen dari transportasi,” kata Heru pada 11 Agustus 2023, seperti dikutip dari Tempo.co.
Kendati begitu, nyatanya ‘biang kerok’ polusi Jakarta tidak hanya transportasi.
Ada juga faktor kondisi alam dan gas buang. Dari paparan pakar polusi udara Institut Teknologi Bandung (ITB), Puji Lestari, kondisi alam sangat berpengaruh. Contoh, pada musim hujan, polutan bisa luruh dan membuat udara lebih bersih. Sebaliknya, ketika El Nino dan Indonesia mengalami kemarau, maka udara semakin kering.
Musim kemarau yang mempengaruhi kualitas udara menjadi lebih rentan kena polusi ini juga diakui oleh Kepala Dinas Lingkungan Hidup (DLH) DKI Jakarta Asep Kuswanto, serta Juru Kampanye dan Energi Greenpeace Indonesia, Bondan Andriyanu.
Hanya saja, Bondan lebih spesifik menuturkan kalau kebijakan Pemprov DKI ada beberapa yang melenceng, contohnya meningkatkan instalasi atap panel surya yang belum terlihat sampai sekarang, namun mereka mengganti 186 kendaraan Dinas Perhubungan dengan kendaraan listrik senilai Rp7 miliar.
Selain persoalan kendaraan dan cuaca, ada juga ‘biang kerok’ lain yang juga disinggung, yakni Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) yang berada di area Jakarta, Banten, dan Jawa Barat, serta industri berat seperti manufaktur, peleburan besi, baja, dan lain-lain.
Persoalan polusi udara ini diharapkan menjadi perhatian serius bagi pemerintah Indonesia, karena dampaknya bagi kesehatan juga menjadi topik yang ramai diperbincangkan netizen di ruang media sosial.