Sponsored
Home
/
News

Reklamasi Teluk Jakarta Ancam Ekosistem Mangrove

Reklamasi Teluk Jakarta Ancam Ekosistem Mangrove
Preview
Tempo18 April 2016
Bagikan :
Preview
| April 18, 2016 08:24 am

Pada zaman Belanda luasan hutan mangrove mencapai 42 ribu hektare, namun saat ini luasannya hanya 4 ribu hektare.

TEMPO.CO, Jakarta –  Direktur Eksekutif Yayasan Restorasi Mangrove Indonesia Nurul Ikhsan mengatakan bahwa keberadaan pulau reklamasi akan menganggu kawasan hutan mangrove. Padahal tanpa pulau reklamasi pun, kawasan mangrove di Jakarta sudah kritis. “Yang pertama kali dihancurkan dari reklamasi adalah hutan mangrove,” kata Ikhsan saat ditemui di pulau reklamasi, Jakarta, Minggu, 17 April 2016.

Menurut Ikhsan dari total bentang pesisir Jakarta yang panjangnya 35 kilometer, kawasan mangrove hanya menempati sebagian kecil wilayah teluk. Kawasan pesisir Jakarta ini membentang dari Marunda hingga ke Pantai Indah Kapuk. Saat ini kawasan mangrove hanya berada di kawasan Pantai Indah Kapuk yang merupakan kawasan konservasi.

Baca: FEATURE: Segel Nelayan di Pulau G

Kondisi hutan mangrove di teluk Jakarta bisa dibilang cukup mengkhawatirkan. Ikhsan mengatakan saat ini luasan Mangrove telah jauh berkurang sejak zaman belanda. Pada zaman Belanda luasan hutan mangrove mencapai 42 ribu hektare, namun saat ini luasannya kurang lebih hanya 4 ribu hektare. “Kalau idealnya kan bentang hijau sepanjang pesisir, tapi sekarang justru hanya sekitar 15 persen yang berupa hutan mangrove,” ujar dia.

Pertumbuhan mangrove, menurut Ikhsan dengan adanya pulau Reklamasi akan terganggu. Pasalnya, pertumbuhan mangrove sangat dipengaruhi oleh pasang surut. Selain itu, sampah dan limbah juga akan turut mempengaruhi mangrove ini.

Baca: Gara-gara Reklamasi, Jumlah Elang di Kepulauan Seribu Kritis

Dengan adanya pulau reklamasi, menurut Ikhsan akan menggangu arus laut sehingga pasnag surut pun terganggu. Mangrove menurut dia akan tumbuh baik jika pasang surut stabil. Nantinya menurut Ikhsan kawasan pesisir Jakarta akan menjadi comberan besar. Air laut menurut dia justru akan semakin tinggi yang akibatnya mempengaruhi pertumbuhan mangrove. “Ketika diurug, ibarat baskom diisi pasir akhirnya air laut akan semakin tinggi,” ucap dia.

Pada zaman belanda luasan hutan mangrove menurut Ikhsan mencapai 42 ribu ha. Hal ini dikarenakan Belanda sadar bahwa kawasan Jakarta rentan terendam akibat penurunan muka tanah dan masuknya air laut ke daratan, karena itu Belanda menjadikan mangrove sebagai benteng alami untuk menahan masuknya air laut ini.

Baca: Hitung-hitungan Ahok Kenapa Reklamasi Untungkan Jakarta

Alih-alih melanjutkan program Belanda ini, kebijakan pemerintah provinsi justru tak berpihak pada ekosistem mangrove. Hal ini terlihat dengan terpusatnya kawasan mangrove hanya di daerah PIK. Di Marunda, tepatnya di belakang rusun Marunda hanya ada mangrove dengan luasan terbatas yang merupakan program dari yayasan ini yang sudah berjalan selama 4 tahun. “Kalau ada pemerintah provinsi menanam di situ saya pasti tahu, tapi ini tidak ada,” ucap dia.

Saat ini di kawasan pesisir Jakarta terdapat beberapa jenis mangrove yang mendominasi. Jenis ini diantaranya adalah Bakau (Rhizopora Sp), Api-api (Avicennia Sp), Bruguiera Sp, dan Sonneratia Sp. Namun, saat ini Ikhsan mengakui banyak mangrove yang sudah hilang akibat pembangunan. Beberapa yang masih bertahan diantaranya adalah Bakau (Rhizopora Sp), dan Api-api (Avicennia Sp).

Baca:Nelayan Jakarta Kepung dan ‘Segel’ Pulau Reklamasi

Keputusan perizinan pulau reklamasi dikeluarkan pada era Presiden Soeharto. Melalui Keputusan Presiden no 52 tahun 1995, pemerintah melegalkan izin pulau reklamasi. Meski kepres ini telah dicabut, namun perizinan dinyatakan masih berlaku. Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahja Purnama alias Ahok juga mengeluarkan empat izin untuk empat pulau reklamasi yakni pulau Pulau F kepada PT Jakarta Propertindo, Pulau I kepada PT Jaladri Pakci, Pulau K kepada PT Pembangunan Jaya Ancol, dan Pulau G kepada PT Muara Wisesa samudra.

Saat ini beberapa pulau termasuk Pulau G sudah dalam tahap pengurukan. Untuk pulau D bahkan sudah terdapat bangunan. Hal ini menyalahi aturan. Pasalnya rancangan perda Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (RZWP-3-K), dan rencana tata ruang Kawasan Strategis Pantura Jakarta (RTRKSPJ) belum selesai dibahas di legislatif.

Baca: Pengamat: Ahok Berhak Lanjutkan atau Hentikan Reklamasi

Isu ini sempat mencuat di tahun 2003 saat Kementerian Lingkungan hidup menggugat pulau reklamasi ini. Namun, pengembang menggugat balik yang kemudian gugatannya dikabulkan oleh Mahkamah Agung di tingkat kasasi pada tahun 2011.

Setelah berjalan tanpa kabar sejak tahun 2012, pada beberapa pekan lalu Ketua Komisi D DPRD Mohamad Sanusi terjaring operasi tangkap tangan Komisi Pemberantasan Korupsi. Hal ini terkait dengan suap untuk memuluskan dua raperda yang tengah dibahas di legislatif.

MAWARDAH NUR HANIFIYANI

Berita Terkait:

 
populerRelated Article