icon-category Film

Resensi 'A Private War': Perang Selalu Mengorbankan Kebenaran

  • 19 Mar 2019 WIB
Bagikan :

'A Private War' (Acacia Filmed Entertainment)

Uzone.id - Tak ada satu pun berita senilai dengan nyawa. Itu sudah jadi pegangan para jurnalis dalam meliput setiap peristiwa di lapangan agar menghindari tempat-tempat yang bisa mengorbankan nyawa.

Namun, tidak bagi Marie Catherine Colvin, wartawan berkebangsaan Amerika Serikat yang bekerja di biro luar negeri surat kabar Sunday Times yang bermarkas di Inggris. Namanya memang sudah menjadi legenda di dunia kewartawanan.

Marie seperti punya 9 nyawa yang selalu lolos dalam terjangan peluru tajam dan bom ketika beberapa kali meliput di medan peperangan.

Dia pernah meliput ketika konflik di Timor Timur pada 1999. Bahkan Marie dikabarkan berhasil menyelamatkan nyawa 1.500 wanita dan anak-anak yang ketika itu dikepung oleh pasukan yang didukung Indonesia.

Baca juga: Resensi 'Wonder Park': Biarkan Anak Berimajinasi Tinggi

Marie juga adalah orang pertama yang berhasil mewawancarai Presiden Libya Muammar Gaddafi pada tahun 1986 usai pemboman yang digelar Amerika Serikat dengan nama sandi Operasi El Dorado Canyon.

Operasi untuk menaklukan Muammar Gaddafi itu dilakukan pada 15 April 1986 dengan melibatkan Angkatan Udara, Angkatan Laut dan Korps Marinir lewat serangan udara.

Portofolio Marie lainnya, dia pernah meliput konflik di Chechnya, Kosovo, Sierra Leone, Zimbabwe, dan Sri Lanka.

Marie berhasil mendapat penghargaan dari Yayasan Media Wanita Internasional atas Keberanian dalam Jurnalisme untuk liputannya tentang Kosovo dan Chechnya.

Tekad bulatnya untuk memberikan laporan ke seluruh dunia mengenai penderitaan warga tak berdosa akibat peperangan, harus ditebus dengan pengorbanan nyawa ketika meliput perang saudara di kota Homs, Suriah, pada 2012.

Kisah heroiknya bisa kamu saksikan melalui film ‘A Private War’ yang kini sedang tayang di bioskop Indonesia.

Film berdurasi 110 menit ini berdasarkan artikel berjudul 'Marie Colvin's Private War' di majalah Vanity Fair karya Marie Brenner yang terbit tahun 2012.

Alur cerita

Awal cerita menunjukkan kota Homs, Suriah, di mana gedung-gedung bertingkat sudah hancur akibat tembakan peluru dan bom. Sama halnya dengan kondisi kota-kota di Eropa yang hancur saat Perang Dunia II.

Pada 2001, Marie Colvin (Rosamund Pike) awalnya diperintah oleh atasannya di Sunday Times, Sean Ryan (Tom Hollander) untuk meliput konflik di Palestina. Namun, Marie menolak perintah Sean karena ia lebih tertarik meliput perang saudara di Sri Lanka.

Dia percaya perang Sri Lanka sudah mengakibatkan banyak kalangan sipil yang kelaparan dan tak pernah terekspos. Marie yang selalu punya naluri tajam atas profesi kewartawanannya, selalu bisa bikin Sean tak bisa mencegah.

Marie berhasil masuk ke sarang Macan Tamil. Dia menemukan kelompok masyarakat yang menderita akibat operasi militer pihak pemerintah.

Baca juga: Resensi ‘Mia and the White Lion’: Singa Juga Punya Cinta

Kemudian, saat dalam perjalanan dengan kelompok Macan Tamil, mereka disergap pasukan pemerintah. Marie sudah teriak mengungkapkan identitasnya sebagai wartawan, namun serpihan mortar RPG tetap menghantamnya hingga mengakibatkan mata kirinya buta.

Meskipun mata masih dibalut perban saat dirawat di rumah sakit, Marie tetap menulis laporan tentang apa yang sudah disaksikannya.

Apakah Marie kapok usai mata kirinya buta hingga terpaksa memakai eye patch? Tidak, dia malah terbang ke Timur Tengah yang memang kawasan tersebut sudah jadi spesialisasinya.

Bagi Marie, tak penting lagi meliput pernyataan-pernyataan yang dikeluarkan pihak pemerintah atau jenis bom yang dipakai saat berperang. Baginya yang penting adalah mengungkap kebenaran berapa jumlah penderitaan rakyat.

Film biopic ini akan menghadirkan wajah perang sesungguhnya yang begitu mengerikan. Banyak tangisan dan darah yang bercecer.

Meskipun sudah sering lolos dari maut, Marie akhirnya meninggal setelah sebuah peluru mortir yang sengaja menyasar kelompok yang sudah ditargetkan oleh tentara Suriah, meledak di kota Homs, Suriah, pada 22 Februari 2012. Dia meninggal bersama reporter Remi Ochlik yang berkebangsaan Prancis.

Namun, sebelum meninggal, Marie sempat membuat laporan langsung ke stasiun BBC, Channel 4, CNN dan ITN News melalui telepon satelit.

Marie melaporkan serangan tentara Suriah sangat gencar diarahkan ke bangunan yang diisi penduduk sipil yang tengah terjebak dan menderita kelaparan. Marie menggambarkan situasi perang di Suriah paling buruk yang pernah dialaminya.

Kita juga menyaksikan begitu tajamnya pertanyaan yang diajukan Marie saat melakukan wawancara kedua kalinya dengan Moammar Khadafi menjelang terbunuh oleh pemberontak tahun 2011.

Kalau di Indonesia, mirip kayak Najwa Shihab yang 'galak' ketika mengorek keterangan dari nara sumber.

Di akhir film kita bisa melihat Marie Colvin asli, lengkap dengan aksesoris eye patch. Dia mengatakan "Anda tidak akan pernah sampai ke tempat yang Anda tuju jika Anda mengakui rasa takut."

Pecandu rokok dan alkohol

Marie Colvin memang pahlawan bagi korban perang. Namun, sebetulnya dia mengidap gangguan stress pascatrauma (PTSD). Pikirannya selalu dibayang-bayangi mayat gadis terbujur kaku di atas ranjang. Itu yang bikin pikiran Marie tak pernah bisa tenang.

Marie jadi pecandu alkohol berat. Baginya, satu-satunya cara menghilangkan bayangan mayat gadis itu dengan menghabiskan sebotol vodka. Selama film juga kita bisa lihat Marie tak pernah lepas dari rokok.

Meskipun hidupnya lebih banyak melakukan meliput konflik, Marie juga berusaha keras untuk membentuk sebuah keluarga yang utuh.

Punya mimpi untuk hamil dan punya anak. Namun, pengalaman 2 kali keguguran membuat suami tak yakin bisa mendapat keturunan.

Marie juga memutuskan untuk berpisah dengan suaminya karena sudah berselingkuh.

Marie ingin hidup normal. Tapi dia tak tahu lagi bagaimana caranya. Terjun ke daerah-daerah konflik justru membuatnya merasa nyaman.

Berperan sebagai Marie Colvin, Rosamund Pike lagi-lagi mengumbar pesonanya sebagai aktor watak. Kita bisa melihat kemampuan Rosamund berakting betul-betul maksimal, sama halnya ketika Rosamund berakting sebagai wanita psikopat dalam Gone Girl.

Make up yang mendekati Marie Colvin asli, Rosamund juga bisa menampilkan suara yang agak berat. Wajar kalau aktris berusia 40 tahun itu masuk nominasi Golden Globe Awards dan Satellite Awards.

'A Private War' seperti ingin menunjukkan kalau profesi wartawan dekat dengan kematian. Meskipun tak mati karena peperangan, namun sang wartawan juga bisa sakit mentalnya setelah menghadapi peristiwa yang traumatis.

Kayak film biopic 'The Bang Bang Club' (2010), yang menceritakan foto jurnalis Kevin Carter, salah satu anggota Bang Bang Club berhasil meraih Pulitzer atas karya fotonya yang menggambarkan seorang anak kurus kering sedang jongkok di tanah tandus Sudan, sementara burung bangkai sedang menunggu kematiannya.

Kevin memutuskan bunuh diri karena dihantui oleh ingatan tentang pembunuhan, mayat, kemarahan dan rasa sakit. Anak-anak yang kelaparan atau terluka.

Untuk 'A Private War' karya sutradara Matthew Heineman dan penulis Arash Amel ini, gue kasih 4 bintang.

Biar gak ketinggalan informasi menarik lainnya, ikuti kami di channel Google News dan Whatsapp berikut ini.

Bantu kami agar dapat mengenal kalian lebih baik dengan mengisi survei di sini