icon-category Film

Resensi Film: Karya Meksiko ‘Roma’ Jadi Penutup Drama Terbaik 2018

  • 31 Dec 2018 WIB
Bagikan :

Spoiler-free.

Uzone.id -- Film satu ini dirilis di awal Desember di layanan streaming Netflix. Justru waktu tayang tersebut seakan sempurna untuk menutup tahun 2018 ini sebagai film drama terbaik.

‘Roma’ bisa jadi bukan tontonan untuk semua orang. Genre drama mungkin dianggap membosankan bagi sebagian orang. Apa yang disajikan ‘Roma’ sebetulnya seperti drama pada umumnya saja, yaitu tentang kehidupan. Hal yang membedakan terletak di karakter-karakternya yang kuat dan membekas dan bonusnya, film ini memiliki sinematografi dan pengambilan gambar yang begitu indah.

Kok indah? Padahal ‘kan hitam putih?

Baca dulu makanya.

alt-img

(dok. Netflix)

Murni berbahasa Meksiko, berlatar di Meksiko, diproduksi di Meksiko, dan disutradarai sineas asal Meksiko, AIfonso Cuaron, ‘Roma’ sejatinya adalah drama semi-autobiografi tentang masa kecil Cuaron di Colonia Roma, sebuah lingkungan kecil di Mexico City.

Berlatar di tahun 1970, ‘Roma’ mengisahkan seorang pembantu rumah tangga bernama Cleo (Yalitza Aparicio) yang bekerja untuk keluarga Sofia (Marina de Tavira) dan harus mengurus empat anaknya. Saking dekatnya dengan keluarga majikan, Cleo menyaksikan berbagai drama yang menghampiri keluarga Sofia.

Cleo digambarkan sebagai pribadi yang tulus, jujur, dan cekatan dalam bekerja. Hebatnya lagi, ini adalah akting perdana Aparicio. Berkat arahan Cuaron, Yalitza mampu melakoni karakter Cleo yang begitu membekas, muncul sebagai pribadi yang tidak menghakimi, dan semua ekspresi yang muncul dari parasnya, sanggup membuat gue bersimpati dan merasa dekat dengannya.

Pun begitu dengan akting Tavira sebagai Sofia. Ia digambarkan sebagai istri merangkap ibu yang rapuh, terkadang tampak tak berdaya, namun pada akhirnya punya kekuatan untuk bangkit.

alt-img

(dok. Netflix)

Film ini sebetulnya bukan ingin mengumbar tentang permasalahan rumah tangga saja, namun turut mengajak penonton ke situasi yang betul-betul real, tanpa ada adegan yang terkesan hiperbola. Percaya atau tidak, ‘Roma’ tidak menggunakan banyak musik untuk mempercantik tiap sekuens. Dengan pengambilan gambar wide-shot serta banyak momen yang terasa begitu personal dan alami, ‘Roma’ berhasil menjadi karya sinematik yang menghidupkan kehidupan.

Di berbagai kesempatan wawancara, sang sutradara Cuaron membeberkan ada sejumlah adegan krusial yang ditampilkan di film berasal hanya dari satu take saja. Kebayang nggak, sih? Cuaron yang menerima piala Oscar pada 2014 untuk kategori Sutradara Terbaik berkat ‘Gravity’ ini mengaku memang ingin hasil semuanya terasa otentik.

Wajar jika ‘Roma’ tidak jualan konflik lebay yang dapat memantik air mata penonton. Uniknya, melalui kekuatan chemistry tiap pemain (gesture dan chemistry aktris Aparicio dengan empat pemain anak-anak sangat natural), akting yang terasa “apa adanya saja” dalam konteks positif, dan masalah yang begitu manusiawi serta realistis, ‘Roma’ bisa saja menguras air mata tanpa ada unsur memaksa. Minimal, film ini menginspirasi tentang kebersamaan dan kesetiaan.

alt-img

(dok. Netflix)

Film ini memiliki elemen berbeda dari film-film drama pada umumnya. Semua terasa sederhana, detail, dan uniknya sangat indah untuk dinikmati. Jika tulisan ini mulai ngelantur, maka tandanya kamu perlu menonton sekarang juga. Sebab, seringkali sulit menjabarkan emosi dari kisah drama -- cara paling efektif untuk mengerti adalah merasakannya langsung.

‘Roma’ boleh berkonsep hitam-putih, namun ia sanggup memberi warna pada tiap karakternya.

Film ini bisa disaksikan di layanan streaming Netflix.

Biar gak ketinggalan informasi menarik lainnya, ikuti kami di channel Google News dan Whatsapp berikut ini.

Bantu kami agar dapat mengenal kalian lebih baik dengan mengisi survei di sini